Titik Pertemuan

in #indonesia6 years ago (edited)
Kuintip halaman apartemen dari balkon lantai 15. Suasana Taiwan kini cerah terik menumbuhkan keengganan untuk keluar. pandanganku menelusuri sudut-sudut tanah lapang di bawah apartemen. Pepohonan nampak bagaikan rerimbunan semak dengan pucuknya yang selalu bergoyang. Ku lihat beberapa pasang sejoli berjalan beriring menelusuri jalan-jalan kecil yang membelah gedung-gedung. Tentu ini hari indah bagi mereka tapi membosankan bagiku. Bagiku masa itu telah usai. Aku membutuhkan tantangan baru setelah sekian lama berkutat dengan tulisan-tulisan dengan ide-ide rumit. Ide yang ditulis bertahun-tahun tetapi membuat pusing pembacanya.
Tiba-tiba pandanganku menangkap dua sosok yang muncul dari himpitan gedung. Seseorang yang berkerudung sembari mendorong sosok tua yang duduk di kursi roda. Nampaknya keduanya sedang tergesa, terlihat dari sosok berkerudung yang melangkah cepat dengan wajah lurus tegap tanpa tolah toleh, sementara entah pak atau ibu tua itu terpekur di kursinya. Itu adalah pemandangan biasa yang mudah dijumpai di setiap sudut kota. Tetapi cerahnya nuansa membuatku teringat ke banyak sosok sejenis saat kumpul-kumpul beberapa waktu. Perkumpulan sebuah organisasi yang berusaha peduli dengan nasib PMI. Waktu berlalu dan dua sosok itu telah menghilang di balik gedung, entah mau kemana.
Tapi aku masih enggan beranjak. Ingatanku masih melekat ke banyak sosok lain. Banyak teman-teman yang sama dengan keseharian menjaga lansia, hampir 24 jam, tetapi masih bersemangat menimba ilmu. Mereka ikut pendidikan kesetaraan yang ada di Taiwan, dengan harapan menuntaskan jenjang sarjana sembari bekerja. Jika aku di posisi mereka, mungkin mimpiku hanya satu; pulang. Tapi keinginan mereka menggebu, ada yang ingin jadi ahli matematika, lurah, pengacara. Sungguh harapan yang memerlukan daya juang besar dan dayaku tidak sebesar mereka.
Sesaat aku memaksakan diri membuka laptop untuk mencari ide-ide segar sebagai penyemangat diri sendiri. Rasanya aku tidak ingin kalah semangat oleh banyak sosok yang sedang aku bayangkan. Membaca status-status media social yang melintas di dindingku hanya membuat mataku sakit. Ku buka halaman kosong dan kupejamkan mata sembari menikmati semilir udara ruangan yang terasa dingin. Cuitan-cuitan angin yang menerobos celah-celah jendela lantai 15 seperti celotehan yang menyuruhku segera pulang Indonesia. Jangan kau usir aku, wahai angin. Jika waktunya tiba, engkau pun kutinggalkan tanpa ku pamiti, geramku. Tapi celotehan itu tidak mau berhenti dan membuatku kesal. Ku tutup laptop dan kuputuskan pergi, entah kemana, yang penting pergi.
Kukayuh sepedaku tanpa arah. Sepeda pun serasa enggan bergerak, terdengar dari suaranya, krekeettt..krekeettt..! Ah sungguh malas engkau sepeda. Tapi aku tidak peduli, pokoknya ku genjot. Beruntung, jalanan di Taipei tidak sama dengan lalu lalang di Tanah Abang Jakarta. Meskpun bersepeda dengan otak riuh tetapi kita tidak perlu khawatir disamber orang. Hal tersebut sulit terjadi di Tanah Abang yang setiap detik suara klakson memekakan telinga, entah klakson-klakson itu untuk siapa. Dan saat bersepeda, aku senang menelusup di antara gang-gang sempit. Tapi saat ini aku harus berhenti di pinggir jalan besar karena pahaku terasa gatal. Bukan gatal karena belum mandi, tetapi karena getaran hape di saku celana yang sedari tadi aku acuhkan. Ku tengok layar hape. Bererot miscall dan sebuah pesan, “Bang, dimana? Aku ingin ketemu..” dari sebuah nama yang belum lama ku kenal. Dengan singkat kujawab, “nyepeda”, dan kulupakan untuk menggenjot sepedaku lagi.
Jalanan yang kususuri menuntunku ke rumah makan vegetarian. Jenis makanan ini banyak tersebar di kota Taipei dan hanya buka pada jam-jam tertentu. Yang membuatku terangankan adalah tiruan ikan dan daging yang terbuat dari adonan jamur. Ingat makanan, genjotanku terasa ringan. Tapi getaran hape yang berturut-turut mampu menghentikan langkahku. “Yaaaa…ada apa,” sapaku tanpa basa basi setelah ku geser tanda terima panggilan. “Assalamu’alaikum, bang,” suara dari seberang, “wa’alaikumsalam..”, jawabku. Aku merasa agak malu karena membuka percakapan tanpa salam. “Dimana bang, aku ingin ketemu sebentar..”, nada suaranya memohon. Aku tidak dapat menduga apa maunya karena sesungguhnya aku tidak terlalu kenal. Agak ragu aku menjawab, “Aku sedang nyepeda di Taipower”. “Oke bang, aku di Wanlong, aku sebentar ke situ pakai taksi, tolong tunggu. Wassalamu’alaikum,” ujarnya sambil menutup telpon tanpa menunggu balasan salamku. Pfuh! Angkuh nian nih orang, memerintah orang seenaknya, bagitu aku protes dalam hati. Mengetahui gelagatnya yang serius, aku seperti tidak tega untuk mengabaikan. Terlebih karena belum terlalu kenal membuatku penasaran. Rasa penasaran ini mengalihkan perhatianku dari menu vegetarian menuju gedung yang sudah ku sebut. Dan aku masih memerlukan waktu 5 menit bersepeda ke tempat itu. Baiklah, aku mengalah.
Sejurus aku sampai di Gedung Taipower. Kulirik arloji, lima menit pas aku nyepeda. Biarlah ku tunggu barang 10 menit. Jika dia tidak datang, ku tinggal pergi. Anggap saja dia yang sial, begitulah egoku mulai meninggi. Tak lama ada taksi menepi 10 meter di depanku. Keluarlah seorang mbak-mbak berpakaian dan berkerudung putih-putih. Dia bergegas mendekatiku sambil melambaikan tangan, sementara taksi masih njogrok di tempatnya. Aneh, batinku. Sambil mengucap salam dia meneriakan namaku. Kujawab salam sambil tetap tersenyum untuk menghangatkan suasana. “Bagaimana kabar, ada apa mbak,” dua pertanyaan sekaligus kuajukan sambil nangkring di sepeda. “Iya Bang, terimakasih kemarin aku diajak berkumpul di musyawara besar itu,” jawabnya dengan nafas masih menderu. “Oh ya sama-sama, itu kan kewajiban kita bersama,” jawabku. “Iya bang, aku senang bertemu saudara-saudara di acara itu. Selama ini, tiga tahun aku belum pernah kumpul-kumpul dengan teman-teman seide,” lanjutnya. “Oh..kok bisa?” aku penasaran. “Iya bang, aku tidak kenal siapa pun disini. Tolong aku diajak lagi untuk acara ke depan ya,” lanjutnya. “Oh tentu..” jawabku. “Aku juga ingin maju seperti teman-teman kemarin bang, ingin sekolah lagi,” lanjutnya. “Oh ya bang, ini tadi ada diskon di mall, buat abang,” sembari meletakkan sesuatu di bagasi sepedaku,”aku pamit bang, taksi sudah menungguku. Wassalamualaikum.” Tanpa menunggu responku, dia langsung balik badan berlari menuju taksi yang kemudian bergerak larut dalam kerimunan kendaraan jalanan. Aku masih termangu. Semua terjadi serba cepat. Barusan kubayangkan nama-nama yang penuh juang, dan sekarang bertambah deretan nama-nama itu. Andaikan lebih banyak nama-nama lain yang belum muncul yang memiliki semangat juang, rasanya sebagai PMI bukan hanya akan dikenal sebagai pahlawan devisa, tetapi juga menjadi kawah candradimuka untuk menjadi sumber daya manusia yang siap bersaing, kembali ke Indonesia dengan kamampuan mandiri secara ekonomi. Aku tersenyum sendiri membayangkan teman-teman PMI yang saat ini berjuang, akan mampu bersaing dengan lulusan universitas top dalam negeri. Bagaimanapun, kami menjadi PMI lebih karena ekonomi, terlepas dari kecerdasan sebagai bawaan lahir. Perasaanku saat ini nano-nano, bayangan menu vegetarian yang serba hambar hilang tergantikan menu bakso Uni Stasiun Taipei yang berasa meriah. Arah sepedaku kini menuju ke sana.
catatan: PMI = Pekerja Migran Indonesia, sebutan untuk warga negara Indonesia yang bekerja di Taiwan.
*********

Cerpen ini dibuat khusus untuk mengikuti CONTES MENULIS 15 SBD (SEMANGAT MU MASA DEPAN MU CERITAKAN TENTANG MU), tapi ternyata telat. Yo wes lah..Ide cerita diilhami dari pengalaman nyata penulis.
Taipei, 1 April 2018, pukul 10 am
Sort:  

Saya jadi penasaran, siapa perempuan di dalam taksi itu Pak @manoegra?😅😅😅

Orangnya sudah tinggal cerita @ettydiallova. Saat ini beliau mengemban tugas yg lbh mulia. Kita doakan hidupnya penuh berkah, selamat dunia akhirat. Begitu juga kita. Ammiin

Masyaallah..
Hadir telat nyimak Pak Mawan.. 😂
Isinya Masyaallah.. Keren Pak,, 👍👍👍🙏

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 58171.46
ETH 2472.55
USDT 1.00
SBD 2.42