Fanatisme Heroik Dibalas Drama

in #indonesia6 years ago

image

"Kita adalah bangsa yang besar dengan Sepakbola yang kerdil". Begitu penggalan kalimat dalam catatan Mata Najwa. Hanya kalimat tersebut, menurut saya memiliki gaung yang menohok. Selain itu, hanya indah pada tataran mengantukkan rima.

Tiga minggu terakhir, talk show Mata Najwa menggemparkan Indonesia, kali ini datang dari sengkarut sepakbola Indonesia. Najwa dan tim, mengangkat tema: "PSSI Bisa Apa!?" Tak tanggung-tanggung, dua jilid episode.

Yang didatangkan adalah mantan mafia yang menjadi tangan kanan perjudian internasional. Orang-orang yang bisa mengatur skor sepakbola. Di saat yang sama, hadir pula pelatih maupun bagian dari manajemen klub di Indonesia. Hingga semalam, turut hadir Kemenpora dan Kapolri.

image

Ada satu fakta terungkap, bahwa kekalahan 3-0 Indonesia dari Malaysia di final piala AFF tahun 2010. Sebenarnya, bagi penggiat sepakbola sudah tahu isu tersebut. Kali ini kembali panas sebab dibicarakan oleh mantan orang elit di PSSI berinisial ADS. Menurutnya, Indonesia kalah karena sudah diatur oleh bandar. Dengan 'membeli' pemain Indonesia.

Nama-nama top pun disebutkan, kapten saat itu, Firman Utina yang juga arsitek lapangan tengah. Maman Abdurahman, palang pintu di barisan bawah, hingga penjaga gawang, Markus Horison. Sontak orang-orang yang belum tahu, terperanjat. Bagaimana mungkin (seakan tak percaya) bahwa laga vital itu ternyata hanyalah drama.

Seiring bertambahnya usia, sejauh ingatan saya, AFF yang paling menyita amino masyarakat itulah tahun 2010. Alfred Riedl sang juru latih berhasil menoleh timnas dengan bakat muda, sebut saja Okto Maniani, M Nasuha, dsb. Kecepatan sayap dan determinasi menjadi ciri khas. Hal itulah yang kemudian membuat masyarakat menaruh harapan lebih.

image

Jersey Timnas laku keras. Orang-orang berbondong-bondong melakukan nonton bersama (nobar). Apalah daya, takdir sebagai runner-up sejalan pakem untuk sang Garuda. Tiba-tiba, berselang tahun fakta mencuat, bahwa laga itu sudah dibeli dan diatur oknum tak bertanggungjawab. Mengetahui hal tersebut, hati rakyat mana yang tak tergores?

Rasa-rasanya, pengalaman itu akan menjadi lubang menganga dan berbuntut panjang. Kelak, di setiap pertandingan, kita akan akrab dengan spanduk bertuliskan "Jangan Ada Mafia di Antara Kita". Tetapi, Indonesia terkenal pemaaaf. Orang yang gampang tersulut lagi baper, namun di waktu yang lain gampang lupa.

Saya sedari awal menerapkan pada diri juga mengingatkan teman-teman, bahwa di Indonesia jangan pernah baper untuk dua hal; 1. Politik dan 2. Sepakbola. Karena akan capek jadinya. Dan, bilang mau, jangan terlalu banyak tahu untuk itu. Kenapa? Dipastikan saudara/i akan kehilangan ngairah untuk itu.

image

Indonesia dikenal dengan fanatisme yang luar biasa. Segala hal. Terutama sepakbola. Rakyat sibuk mengimani sepakbola ini dan itu, ketulusan dan segala narasi heroisme didengungkan. Hanya saja, tanpa sadar ketulusan yang seolah keran itu, tak ada harganya di mata orang berpengaruh.

Fanatisme kerap dimanfaatkan dan dikapitalisasikan menjadi materi. Minimal, tiket pertandingan. Jangankan timnas, setingkat Persija Jakarta saja, sekali main mendatangkan uang sebanyak 5M. Tetapi intrik yang anyir, menjadi biasa saja bagi mereka yang suka main belakang. Dan itu sudah semacam budaya.

Ketika kebanggaan diletupkan, kala asa membumbung tinggi, saat prestasi hanya seujung kuku lagi jaraknya, selalu ada yang menikung tanpa tendeng aling-aling. Maka sedari sekarang, berhentilah berharap banyak. Mencintai sepakbola Indonesia, agaknya tak perlulah berjihad sedemikian rupa.

image

Bukankah kita sama-sama maklum, bahwa cinta sering dan sudah terlalu banyak berakhir tragis. Tanpa terkecuali nasionalisme dari lapangan hijau.

Sort:  

Jangan terlalu berharap brader @lontuanisme mending nonton liga luar negeri saja. he he he.

Haha. Dari dulu saya juga sudah tidak berharap. Karena endingnya hanyalah "nyaris".

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.12
JST 0.028
BTC 61841.74
ETH 3420.69
USDT 1.00
SBD 2.47