Surat untuk Peminum Kopi Pahit

Tulisan ini terkhusus untuk menyerang atau katakanlah untuk melakukan provokasi pada para peminum kopi pahit. Siapa tahu setelah membaca ini mereka serang balik, kan asyik! Saling serang. Semoga kurator kopi ikut campur dalam persoalan yang sebenarnya gak masalah ini.

Sebenarnya saya bukan pembenci spesies kopi apalagi spesies peminumnya, bukan juga karena saya tidak suka kopi dan nongkrong hingga larut malam. Juga bukan karena saya tidak gaul dengan minuman, bukan. Justru karena saya lebih banyak bergaul dengan cairan, maka saya tahu lebih banyak rasa cairan daripada hanya pahit.

Mungkin bagi kamu yang baru-baru tahu tentang kopi, agak gank memang. Meminum kopi tanpa gula seakan bisa menaikkan level sosial kalian. Tapi begini ya, saya berharap kalian turunin sedikit volume suaranya ketika memesan kopi tanpa gula. Bukan apa-apa, saya merasa ada yang tidak beres dengan aliran darah saya, ia mendidih mendadak ketika kalian sedang memesan kopi tanpa gula dengan suara agak besar. Saya tahu, itu biar kalian dianggap keren oleh kami para pecinta manis asam asin ini kan?

Saya tahu, kalian pasti sedang mengikuti trend, dengan sok menjadi pecandu kopi tulen dan supaya dianggap anak muda yang paling pap sekerbau jagad. Cukup deh, mending minta diruqiah aja, biar sembuh itu gila. Ikeue kee bek peupungo-pungo droe, ilhap pungo kee, kupasoe glah-glah kupi lam abah keuh!

Baiknya selow aja, gak usah sok keren hidup pahit. Dari muka kalian itu sudah kelihatan kok, kalau sebenarnya kalian itu sudah lelah hidup pahit dan hancur. Ya, lihat muka kalian saja saya sudah tahu banyak. Cobalah ngaca sekali-sekali di tai kerbau, kalian pasti sadar bahwa muka kalian sudah hancur beserta dengan bibir-bibirnya. Hidup kita memang sudah pahit pap, untuk apa dipahit-pahitkan lagi, itu akan menambah penderitaan kita dan orang lain. Cukup Roma!

Kalian tahu gak, kalau sebenarnya kalian sedang membunuh harapan petani tebu dan peternak sapi peras, dengan hanya meminum kopi tanpa gula dan susu? Dan kalian tahu tidak kalau sebenarnya kalian sedang diguna-guna oleh yang punya warung kopi agar mereka lebih hemat dan lebih banyak untung? Kalian pasti goblok, gak mungkin paham, kan?!

Coba perhatikan pap, bukankah di mana-mana kopi minus gula itu lebih mahal daripada kopi pakai gula. Itu semua karena kalian, yang sok-sok pecandu yang pahit pap, padahal nelan pil aja muka kalian mengkerut kayak kulit bokong monyet. Lihatlah sekarang, para pebisnis itu menganggap kopi tanpa pakai apa-apa itu bisa dijual lebih mahal. Ini pap man!

Terus terang saya resah, dan terkadang merasa kasihan lihatnya, hingga sering bertanya; ada apa dengan mereka yang menganggap pahit itu adalah nikmat? Siapa yang telah ngerjain mereka habis-habisan kayak gitu? Apakah mereka sakit keras, sehingga harus banyak minum pahit sebagai pengganti obat yang dimasukkan lewat suntik? Mereka rata-rata memang takut disuntik, tapi jangan seekstrem itu juga kali, minum pahit berhari-hari tapi gak sembuh. Kasihan kan?

Oh ya, sebenarnya para penjual kopi tahu gak sih, kalau jual kopi tanpa kasih apa-apa itu adalah kekerasan terhadap pembeli? Lihatlah muka-muka para peminum kopi, yang seperti diinjak-injak lembu ketika sedang minum kopi pahit. Kalau umur aslinya sekitar dua puluh lima, ketika minum kopi pahit terlihat seperti sudah almarhum.

Kalau kamu membela dengan mengatakan kopi itu memang aslinya pahit, maka dari itu ingin merasakan orijinalnya. Original cocot lu! Wong yang pahit itu berasal dari antioksidannya kok. Jangan-jangan kamu memang pecandu antioksidan ya, pap! Ngakunya suka kopi pahit. Cieee.!

Intinya begini, pap, ika kamu memang ngaku peminum kopi sejati, maka kamu harus membunuh dahulu rasa yang ada dalam kopi itu dengan kreativitasmu, jangan kaku pada rasa itu-itu aja, dunia ini kaya rasa. Kalau mau rasa kopi yang enak, ya campurlah gula, cabe, garam, jeruk nipis, kaus kaki, soda, atau campuran apa kek, yang menurut selera dan mengikuti jiwa kreatifmu, jangan hanya pahit, yang pahit biar ditelan Dilan, kita manusia pap, bukan lembu.

Kopi itu pada dasarnya hidupnya memang berbaur dengan yang lainnya. Ia hidup di bumi yang sama. Maka dari itu, dimanapun bumi dipijak, di situ langit dijunjung, beradaptasi dengan bermacam rasa yang tumbuh subur di dunia ini.

Multiculturalisme coffee pap

Aleh pue hom ih!

---

Sumber foto: https://www.google.co.id