Membincangkan Moralitas
Kajiann tentang moral merupakan pekerjaan penting di masa yang akan datang yang menyentuh aspek terdalam dalam penyusunan tata pikir kemanusiaan (al-fikrah al-insāniyyah), yaitu kajian tentang moralitas. Studi ini banyak dilakukan oleh para sarjana di dalam menghubungkan antara jiwa-batin-akal yang terwujud dalam perilaku. Ada juga studi yang dilakukan oleh para sarjana menghubungkan kajian moralitas dengan bangunan epistemologi kehidupan manusia di era modern. Dalam studi Islam, kajian-kajian model ini banyak ditemukan dalam studi tasawuf. Karena itu, studi sufisme begitu penting di dalam Islam, karena kajian ini berhubungan dengan kontruksi bangunan jiwa yang dekat dengan Allah, yang kemudian memiliki perilaku yang sahih.
Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia sedang diwacanakan untuk menggali karakter bangsa. Bahkan muncul juga wacana tentang revolusi mental yang dijadikan sebagai bahan kampanye pilpres oleh Jokowi. Namun, ricuh atau huru hara yang selalu muncul di dalam kancah politik di negara ini selalu melibatkan Islam dan isu komunisme. Hal ini mengindikasikan bahwa ada yang belum selesai di dalam pencarian karakter bangsa di Indonesia, khususnya ketika Order Reformasi lahir pada tahun 1998. Karena itu, proses pencarian karakter bangsa masih memberikan ruang yang amat lebar bagi siapapun yang ingin mengisinya. Ruang ini sebenarnya tidaklah begitu hampa, melainkan telah muncul kontestasi di kalangan anak bangsa di dalam menggali pemahaman yang cukup fundamental bagi peneguhan karakter bangsa. Proses konflik antara idealitas dan realitas merupakan satu agenda yang perlu dijelaskan oleh para akademisi.
Moral sebagai landasan perilaku bagi setiap bangsa. Aspek ini menjadi penting penting, sebab dalam Islam, apapun bentuk ilmu pengetahuan yang dihasilkan, di atasnya selalu berada pada konsep adab, yang berisi tentang bagaimana perilaku atau moralitas sebagai payung ilmu pengetahuan. Aspek akhlak ini mulai dari kurikulum pendidikan, akulturasi di dalam dunia pendidikan dayah, fenomena sosial, dan yang terakhir ini penulis telah membangun suatu konstruksi pemikiran tentang karakter. Terdapat suatu penjabaran konsep spirit Islam dalam ranah etika, nilai, moral. Dalam Islam, tiga konsep ini banyak ditemui dalam ranah studi tasawuf, dimana manusia mampu menghasilkan relasi positif dengan dirinya sendiri, Allah, dan alam semesta.
Sebagai contoh, dalam literatur spiritualisme Islam muncul karya-karya tentang bagaimana membangun karakter di dalam diri manusia, seperti karya Syeikh ‘Abd. Al-Qādir al-Jaylani al-Hasani yang berjudul al-Ġunyyah liṭālib ṭarīq al-Ḥaqq ‘aza wajalla fī al-Akhlāq wa Taṣawūf wa al-Adab al-Islāmī. Karya ini menjelaskan menemukan diri yang paripurna di dalam ajaran Islam, yang kemudian terjewantah dalam akhlak, tasawuf, dan adab. Bangunan kedirian yang dikupas di dalam karya ini memiliki berbagai dimensi kehidupan manusia, baik hubungan sesamanya, hubungan dengan dirinya sendiri, dan hubungan dengan Allah. Penekanan para ‘ulama pada diri, juga dapat dilihat dalam karya Imam al-Ghazzali yang berjudul Mukāsyafah al-Qulūb. Karya ini juga ingin membuka mata hati manusia, supaya dapat menempuh kehidupan yang hak melalui berbagai proses penyucian hati. Di sini diuraikan berbagai tahapan yang kemudan menciptakan manusia yang berakhlak. Selain dua karya tersebut, masih banyak sekali karya-karya tentang spiritualisme Islam yang ingin menghasilkan manusia yang paripurna.
Persoalan moral turun dari nilai dan etika yang kemudian membentuk tingkah laku seseorang. Di sini, moral memegang peran penting di dalam mewujudkan sistem basis metafisika seseorang di dalam memandang kediriannya di alam semesta ini. Ruh Islam di dalam memberikan fondasi metafisikan moral selalu menawarkan kesadaran diri terlebih dahulu, ketimbang hal ini. Kesadaran diri ini menyebabkan seseorang memikirkan tentang aspek kosmologis di dalam kediriannya sebagai manusia. Maksudnya, diri (nafs) manusia merupakan bagian penting dari alam semesta. Diri merupakan tempat bersemayam batin yang kemudian membuat suatu wadah sebagai samudera yang amat luas (great ocean), di dalam mencerap sekian input dari alam semesta. Semakin bersih batin seseorang, semakin dalam pula input yang diterimanya dari makro-kosmos. Ini kemudian yang mengantarkan seseorang, selain menjadi sebagai ‘alim, juga sebagai ‘abid. Pada akhirnya, fungsi kekhalifan manusia dapat dijalankan di muka bumi ini.
Jika kondisi di atas sudah paripurna, maka akal pikiran seseorang akan dikendalikan oleh batinnya sendiri. Di sinilah muncul akhlak atau moral yang paling hakiki. Bagi mereka yang memiliki ilmu, pesona batin akan muncul dari citra wajahnya yang selalu memiliki kekuatan positif dan mampu memberikan pengaruh pada orang lain. Kedalaman dan keparipurnaan akhlak seseorang tercerming di dalam pengejewantahan bahasa batin di dalam diri dan wujud di dalam bahasa akal sebagai seseorang yang memiliki karakter. Karena itu, di dalam Islam semua bermula dari hati atau batin. Dengan demikian, fondasi karakter manusia dalam Islam bermula dari persoalan bagaimana menata hati. Ini tugas manusia yang cukup berat, sebab dia harus mengenali konsep kedirian yang ada di dalam dirinya sendiri.
K. Bustamam-Ahmad