Berkunjung ke Rumah Cut Meutia yuuk!

in #indonesia7 years ago (edited)

Ketika pertama kali uang rupiah model terbaru diluncurkan, terjadi kontroversi pada lembaran uang seribu rupiah. Kontroversi terjadi khususnya di Aceh. Sebagian masyarakat Aceh tidak setuju mengenai gambar Cut Meutia yang ada di lembaran uang seribu rupiah karena pada gambar tersebut, Cut Meutia, salah satu pahlawan wanita dari Aceh dan kebanggaan bagi masyarakat Aceh, digambarkan tidak memakai jilbab. Hingga 2 minggu lalu kasus tersebut masih bergulir di pengadilan. Jujur, saya tidak terlalu mengikuti berita-berita itu. Jadi saya tidak tahu sudah sejauh mana perkembangan kasusnya sekarang.

Mengingat saya bukan sejarahwan atau pun akademisi sejarah, maka saya tidak akan mengomentari perihal kontroversi jilbab tersebut lebih jauh. Tapi karena sudah terlanjur membaca-baca dan mengikuti berita tentang hal tersebut ya jadilah saya penasaran juga, apakah semasa hidup dahulu Cut Meutia memakai jilbab dalam kesehariannya atau tidak ya? Wah saya mesti ke rumahnya langsung nih, barangkali di sana ada foto-foto asli (bukan lukisan) Cut Meutia semasa hidup dulu, mungkin ada jawaban.

Rumah Adat Cut Meutia terletak di kawasan Pirak Timu, tepatnya di Desa Mesjid Pirak, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara. Lokasinya tidak jauh dari rumah saya, cuma perlu waktu 30 menitan untuk menuju ke sana. Tapi walau jaraknya sangat bisa saya jangkau, kenyataannya saya belum pernah berkunjung ke sana. Padahal saya sudah sangat sering wara-wiri di seputaran lokasi rumah Cut Meutia itu, tapi tak pernah sekali pun masuk ke kompleks rumah adat tersebut. Duh, miris.
Tanggal 24 September lalu (Hari minggu) saya berkesempatan untuk berkunjung ke Rumah Adat tersebut. Saya berkunjung hanya untuk melihat-lihat sekaligus rekreasi semata. Yuk, ikuti perjalanan saya.

Saya berangkat bersama seorang teman pada jam 11.30 siang. Lokasi rumah adat tersebut tergolong “nyelip” alias masuk ke dalam pedalaman. Namun begitu, jalan menuju kesana sudah beraspal, sehingga memudahkan perjalanan. Pergi jalan-jalan tanpa berfoto ria? di era digital begini? Hmph..Jangan bercanda. Kemanapun saya pergi jalan-jalan, benda bernama kamera jadul plus tripod selalu ikut hadir. Oke, kembali ke cerita, saat sudah memasuki wilayah persawahan yang dekat dengan lokasi rumah adat Cut Meutia itu, saya terkesan dengan nuansa hijau pedesaan yang khas sekali, bagus deh. Langsung saja kami jeprat jepret disitu. Hi hi hi. Lokasi rumah cut meutia sudah terlihat dari sini. Usai berfoto-foto, kami lanjut perjalanan dan tiba di lokasi tujuan pada jam 12-an siang.

DSC01123a.jpg
[Pemandangannya tidak bikin bosan]

DSC01119a.JPG
[Efek kebanyakan bergaya, mata jadi merem deh]

DSC01127.JPG
[Tiba di lokasi, suasananya adem kan?]

Sudah tahu suasana kehidupan masyarakat Aceh di pedesaan? Hm…Santai. Iya, santai sekali suasananya. Kami tiba di lokasi rumah adat Cut Meutia dan langsung memarkirkan kendaraan di depan beberapa kedai kecil disana. Lokasi rumah adat tersebut sangat asri dan rindang, di depan kompleks Rumah terhampar persawahan yang padinya sedang hijau-hijaunya, areal persawahan tersebut terhubung sampai ke lokasi kami berfoto-foto tadi. Suasananya sangat tenang, santai, dan damai. Saking santai dan damainya, pintu gerbang kompleks rumah adat tersebut pun ikut bersantai alias tertutup rapat, tidak buka. Tak ada aktivitas apa pun di dalam. Hanya ada sekelompok remaja tanggung dan pemilik kios di luar kompleks rumah yang sedang duduk santai di kursi, sebagian remaja tanggung lainnya berasyik masyuk dengan sepeda masing-masing sambil berswafoto di pinggir pagar, di jalan dan juga dipinggiran sawah. Sepertinya para remaja tanggung itu juga pengunjung yang “tertahan di luar”.

DSC01133.JPG
[Gerbang yang tertutup]

DSC01130.JPG
[Beberapa kedai kecil yang berlokasi tepat di depan gerbang kompleks]

Usut punya usut, ternyata penjaga yang biasa bertugas disitu sudah pergi ke acara kenduri pesta perkawinan di desa tersebut. Kata pemilik kedai, penjaganya akan kembali setelah Dzuhur. Sangat santai kan? Kami memutuskan untuk menunggu, sudah terlanjur datang sih.

Sambil menunggu waktu Dzuhur, kami mencoba berkeliling di sekitaran kompleks rumah sambil berfoto-foto (pastinya) dan juga jengak jenguk ke dalam. Lama kelamaan kok rasanya jenuh juga menunggu, sempat terbersit pikiran untuk memanjat pagar agar bisa masuk ke dalam tapi malu ah, sudah tuwir masih panjat-memanjat kayak monyet alay. Tak elok deh. Kami memutuskan untuk istirahat di mesjid yang letaknya berdekatan dengan kompleks rumah Cut Meutia, sekalian shalat Dzuhur.

DSC01137.JPG
[Dijepret dari luar pagar]

DSC01142.JPG
[Jepret sekali :D ]

Usai shalat, jam di mesjid menunjukkan pukul 13. 20. Kami mendiskusikan hal berikut : Pulang ke rumah atau lanjut lagi ke Rumah Cut Meutia? Setelah dipikir-pikir, jika kami pulang maka sia-sialah menunggu dari tadi. Maka kami memutuskan untuk menjenguk sekali lagi ke rumah Cut Meutia, siapa tahu gerbangnya sudah buka, jika masih belum buka juga baru lanjut pulang. Kami pun berangkat sekali lagi dan sesampai disana ternyata gerbangnya memang sudah buka. Horee!!

Kami dipersilahkan masuk dengan ramah oleh penjaga kompleks, beliau mempersilahkan kami untuk memasukkan kendaraan juga dan memarkirkannya di tempat yang telah tersedia di dalam kompleks.

Setelah chit chat singkat dengan penjaga, kami langsung mengambil kamera untuk berfoto-foto. Seraya kami berfoto, penjaga membuka pintu rumah Cut Meutia dan mempersilahkan kami masuk ke rumah berkontruksi kayu itu. Di bagian dalam rumah, tepat di sebelah pintu disediakan kotak sumbangan. Saya salut dengan rumah ini, walau sudah berusia sangat tua, keseluruhan rumah masih sangat layak disebut bagus dan masih sangat layak huni. Kondisi di dalam rumah sangat lega, lapang dan bersih. Model rumah seperti inilah yang termasuk rumah tradisional Aceh. Dahulu, sebagian besar rumah di Aceh modelnya seperti rumah Cut Meutia ini. Namun seiring perkembangan zaman, gaya rumah seperti ini makin tak populer dan keberadaannya semakin langka. Desain interior rumah tergolong unik, berlantai-lantai (Jangan bayangkan seperti lantai apartemen yaa). Total ada tiga lantai, lantai pertama terdiri dari sekitar 6 anak tangga, lantai ke dua memiliki 3 anak tangga, lantai ke tiga memiliki 2 anak tangga. Saya tidak pandai menjelaskannya, lihat saja di foto ya.

DSC01147.JPG
[Tampak depan rumah Cut Meutia]

Ada apa saja di dalam rumah? Kosong. Iya, kosong melompong, hanya ada beberapa foto jadul terpajang di dinding rumah. Di bagian dalam kamar terdapat beberapa lemari yang hanya berisi rebana.

DSC01149.JPG
[Pintu masuk utama]

DSC01151.JPG
[Di dalam rumah, unik kan desain interiornya?]

DSC01152.JPG
[Masih di lantai yang sama, foto diambil dari sudut lain]

DSC01154.JPG
{Lantai 2, lihat lantainya masih kinclong, padahal sudah tua]

DSC01156.JPG
[Difoto pakai mode panorama agar muat seluruh ruangan]

DSC01160.JPG
[Di dalam kamar yang terletak di lantai 3]

DSC01166.JPG
[Dijepret dari jendela kamar]

Saya mencari-cari foto asli Cut Meutia di seluruh penjuru dinding dan menemukan fotonya. Yaaa…ternyata fotonya berbentuk lukisan juga. Gagal memenuhi rasa penasaran deh.
DSC01163.JPGDSC01165.JPG
[Lukisan wajah Cut Meutia]

Puas keliling-keliling dan berfoto-foto di dalam rumah. Kami pun keluar dan menjelajah ke bawah. Halamannya cantik, asri dan hijau. Di halaman rumah terdapat jeungki, yaitu alat penumbuk beras untuk dijadikan tepung. Waktu saya kecil dulu, kalau sudah dekat hari raya, beramai-ramai ibu-ibu menumbuk beras menggunakan jeungki. Sekarang ibu-ibu lebih suka beli tepung dipasar daripada menumbuk sendiri pakai jeungki. Alasannya, capek! Jelas, karena butuh tenaga kuat untuk menumbuknya.

DSC01174.JPG
[Halaman Rumah Cut Meutia]

DSC01197.JPG
[Swafoto di bawah Rumah Cut Meutia]

DSC01177.JPG
[Jeungki]

DSC01192.JPG
[Swafoto dulu di Jeungki]

Selain jeungki, di halaman juga ada balai-balai yang memiliki fungsi yang berbeda. Balai pertama berfungsi sebagai tempat pengajian di zaman Cut Meutia, dan balai lainnya kok aneh ya? Ada dinding bundar di tengahnya. Didalam dinding itu ada apa ya? Saya pun mencoba memotret. Eh kok isinya kosong? Setelah bertanya-tanya, ternyata dinding-dinding tersebut berfungsi sebagai tempat menyimpan padi, Krong (karung) namanya.

DSC01184.JPG
[Balai pengajian]

karong.JPG [Krong]

di dalam karoeng.JPG
(Di dalam krong)

DSC01190.JPG
[Swafoto lagi]

Puas berkelililing kompleks dan berfoto ria, kami pun pamit kepada penjaga kompleks serta membayar uang parkir motor sebesar Rp. 3. 000. Kami pun bergegas pulang tanpa menyadari bahwa perut sudah keroncongan berjoget joget. Duh..terlalu asik ambil foto sih, sampai lupa mengisi perut.

Di perjalanan pulang, kami singgah di warung Mie langganan saya yang citarasanya sudah terjamin enak dan harga yang bersahabat. Sambil menikmati Mie kuah pedas kami ngobrol santai dan menyeruput minuman dingin. Nikmat sekali. Alhamdulillah, kesederhanaaan yang sangat menyenangkan hati. Usai menyantap Mie Kuah, kami bergegas pulang.

2017-09-20-382.jpg
[Mie Kuah Pedas]

KSISTEE.gif

Indonesia Steemit.jpg

Jika anda suka dengan postingan ini, silahkan re-steem

UPVOTE AND FOLLOW @kayya.muleeya

Sort:  

Janganlah meninggalkan sejarah, karena sejarah memberikan hikmah sehingga menjadi pembelajaran untuk masa depan.🤗

Benar sekali.
Bahkan bisa saja hal-hal yang sedang terjadi di masa kini sudah pernah terjadi di masa lampau.
Sehingga dengan berkaca pada sejarah lampau itu, kita bisa mengambil sikap untuk menghadapi hal yang terjadi di masa kini.

Thanks sudah berkomentar :)

Pahlawan besar, sepantasnya kita bangga dan hormat.Dan alangkah baiknya selalu meneladani jasa- jasanya dalam kehidupan kita, mantap

Betul.

Terima kasih telah meramaikan postingan ini yaa :D

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 58919.17
ETH 2647.00
USDT 1.00
SBD 2.43