Hidup Bertoleransi, Pentingkah?

in #indonesia7 years ago

Ibu guru yang cantik ini namanya Lisbet Simanjuntak, 26. Dia mengajar mata pelajaran ekonomi di sekolah kami. Dari caranya berpakaian mungkin kita bisa menebak, dia bukan muslim. Pada foto di atas, Ibu Lisbet tampak sedang berkonsentrasi menjelaskan materi ajar. Dia tidak keberatan meskipun dia mengajar siswi yang berhijab.

Saya juga pernah melakukan hal yang sama, 4 tahun lalu mengajar di SMA Negeri 8 Medan, sebagai guru pengganti. Di sana, agama siswanya tidak hanya islam, kristen pun ada. Saya harus memposisikan diri sebagai guru yang netral, memenuhi kebutuhan belajar siswa tidak peduli agamanya apa.

Di Komunitas juga, KSI (Komunitas Steemit Indonesia) Chapter Medan khususnya, tidak semua member memiliki keyakinan yang sama. Sejauh tujuan kita sama, bekerja sama memajukan komunitas dan meninggikan eksistensinya, perbedaan yang lain hanya akan menjadi faktor yang diabaikan.


(Foto ini disusun oleh @auliausu)

Suka atau tidak, kita harus mau menerima kenyataan bahwa kita ditakdirkan hidup berdampingan dengan manusia lain. Manusia yang sepenuhnya berbeda dengan kita, mulai dari jenis kelamin, bentuk tubuh maupun rupa. Ada lagi yang tidak sama, seperti cara berpikir, cara berbuat, hingga keyakinan.

Di saat kita memahami bahwa setiap manusia itu punya hak hidup, maka kita sudah menjadi manusia. Tanpa mengabaikan tindak kejahatan yang telah dilakukan tentunya. Kita hanya perlu belajar menambah pengertian bahwa dunia ini bukan milik sendiri, tapi milik sang Kholik sebagai tempat hidup bersama.

Suatu kondisi dimana hati kita tergerak untuk menerima manusia berbeda lainnya, Itulah yang disebut __Toleransi__.

Merekrut guru nonmuslim merupakan salah satu langkah sekolah untuk mendidik siswa tentang cara bertoleransi. Toleransi ini bisa dicapai dengan mengatur situasi dan kondisi lingkungan sekolah seolah-olah seperti miniatur kehidupan bermasyarakat.

Para peserta didik dihindarkan dari rasa asing melihat hal berbeda dari hidup mereka selama ini. Sudah terbiasa berdekatan dengan perempuan yang menggunakan jilbab, atau diajari oleh laki-laki yang sering menjadi imam shalat berjamaah di sekolah, sehingga merasa janggal bila bergaul dengan orang yang tidak seagama.

Kebetulan, sekolah kami berada di provinsi yang mewakili kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam berdasarkan suku, agama serta adat dan bahasanya, propinsi Sumatera Utara.

Sampai hari ini, sekolah tidak pernah memaksa Ibu Lisbet untuk ikut dalam ibadah agama islam. Demikian juga sebaliknya. Jadi, relasi yang terjalin antara guru dengan murid ini diharapkan dapat mewujudkan toleransi melalui lembaga pendidikan. Tentu saja, tidak tertutup kemungkinan pelajaran ini menjadi bekal para peserta didik dalam bersikap di dalam kehidulan masyarakat yang majemuk.

Di sini, kita berusaha untuk saling menghormati dan menghargai. Sangat penting mencegah terjadinya konflik yang bisa memecah belah persatuan negeri melalui Toleransi. Meskipun terkadang suasana PEMILU selalu menjadi senjata oknum tertentu untuk mengambil keuntungan.

Kita pasti sepakat bahwa pendidikan punya posisi yang strategis dalam meramu perdamaian. Pendidikan juga akan selalu menjadi kiblat dalam menakar sejauh apa kemajuan suatu negeri. Oleh karena itu, marilah kita pastikan anak cucu kita bisa menempuh pendidikan yang berkecukupan demi menyulam masa depan cerah. Apalagi bila usaha mencapai tujuan pribadi tersebut juga ikut menyumbang bagi kemajuan bangsa sendiri. "Sekali dayung, dua atau tiga pulau terlampau". Penting bukan?

Mari kita jaga Toleransi antarmanusia yang sejatinya berbeda, tanpa harus saling bergesekan memaksakan keseragaman.

Terima kasih sudah membaca.
Salam pendidik.

Sort:  

Setujuu.. pentiiing.. Titiik..

Iya harus penting la kak Ra...
Hehehe...

Thank you for the contribution. It has been reviewed.
[steemit.medan]

Screen Shot 2018-05-02 at 14.31.56.png

Bah aku dulu sekolah di SMA Negri 8 Medan.. 😂😂

Ouw iya?
Tamat thn brp rupanya?
Ni pengalaman thn 2012...

Akh, terharu jadinya. Jadi ingat dengan cerita nenek. Yang dulunya kakek seorang non-muslim Relus Sihombing, memilih untuk menikah dengan nenek yang berbeda keyakinan. Alhasil, demi cinta ia belajar agama Islam dan menjadi seorang mualaf. Dari sebagian keluarga kakek ada yang setuju dan sebeliknya.

Sikap toleransi sangat...dibutuhkan dalam suatu komunitas, apalagi negara kita Indonesia.

Akh, di ingat dengan cerita nenek. Yang dulunya kakek seorang non-muslim (Relus Sihombing) ingin menikahi nenek yang seorang muslim. Alhasil, kakek mulai belajar agama Islam dan menjadi seorang mualaf. Dari pihak kakek banyak yang tidak menyetujui keputusan tersebut, namun ada juga sebaliknya.

Sikap toleransi sangat dibutuhkan di suatu komunitas dan negara, apalagi di negara kita INDONESIA. Beragam bentuknya, setuju!!!

Coin Marketplace

STEEM 0.15
TRX 0.17
JST 0.028
BTC 69106.80
ETH 2468.44
USDT 1.00
SBD 2.43