Cara Mempraktikkan Budaya Antri

in #indonesia7 years ago (edited)

Ada 1 kebiasaan masyarakat kita yang membuat Indonesia masih akan masuk dalam kategori negara yang susah maju, yakni tidak mau antri. Kalau kebiasaan jelek ini dibiarkan, maka semua aktivitas yang bersifat umum dan melibatkan orang banyak akan menjadi kacau. Kerapkali kita dapati beberapa orang terlibat cekcok mulut karena antrian diserobot. Syukur-syukur kalau masalahnya langsung reda dengan menghasilkan perdamaian di antara pihak yang bertikai, kalau enggak?

Saya berani jamin, salah 1 faktor penyebab jalanan kota Medan masih macet dengan arus lalu lintas yang semrawut juga dipengaruhi oleh kebiasaan tidak mau antri ini.

Kalian bisa lihat kan? Betapa ngototnya pengendara tersebut menerobos lampu Merah. Itu masih 1 contoh, apalagi kalau setiap hari saya mendokumentasikan keadaan setiap perempatan jalan di sini. Payah bilanglah. Tidak ada pengendara yang mau mengalah, semua pengguna jalan merasa perlu untuk didahulukan kepentingannya.

Berdasarkan problem di atas, kali ini saya akan menceritakan bagaimana cara sekolah kami mengajarkan budaya antri. Kenapa disebut budaya? Karena kita tentu saja berharap bahwa kebiasaan antri ini akan mendarah-daging sehingga menjadi karakter yang dilakukan secara turun-temurun hingga generasi berikutnya.


Di sekolah, kami mempraktikkannya saat para peserta didik makan siang di dapur. Dengan jumlah peserta didik > 250, tidak mudah melayani keseluruhan peserta didik pada waktu yang sama. Jadi, mereka harus masuk dalam baris antrian.

Kelihatannya sih sepele, tapi manfaatnya banyak. Para peserta didik diajak untuk melatih kesabaran, menyadari kesamaan hak dengan yang lain, menghargai waktu, dan menjaga kedisiplinan. Melalui kegiatan makan siang ini, sesungguhnya tujuan yang paling penting lagi adalah mengingatkan keutamaan meredam rasa egois. Para peserta didik harus belajar mengalah dan mampu memposisikan diri saat berada di ranah publik.

Sebagai insan pendidik, saya tidak pernah berhenti berharap agar ketertiban jalanan Ibu kota Sumatera Utara ini bisa mengadaptasi jalanan di kota Yogyakarta. Bagi kalian yang sudah pernah ke sana pasti paham betul maksud saya. Di sana, tidak ada saya temui pengendara yang melintas sembarangan saat lampu Merah. Meskipun tidak ada polisi dan suasana jalan masih sepi.

Negara yang maju akan berisi penduduk yang bisa mendisiplinkan dirinya dengan kesadaran penuh, walaupun tanpa ada pengawasan.

Bagaimana dengan teman-teman Steemian, punya cara lain?

Terima kasih sudah membaca.
Salam pendidik.

Sort:  

Setuju sob,.... Tambah satu lagi budaya malu,..

Iya, mungkin tentang malu ini akan saya tulis di postingan berikutnya, makasi udah mampir dan salam kenal :)

setuju saya dengan artikelnya @jamanfahmi

hehehe...
Ya ini juga diangkat dari fakta yang ada di lapangan.
Makasi udah mampir.

Coin Marketplace

STEEM 0.26
TRX 0.20
JST 0.038
BTC 96336.30
ETH 3643.01
USDT 1.00
SBD 3.81