## Karena Mulut Kita Tidak Dirental ##
Karena Mulut Kita Tidak Dirental
Soal senang ketika dipuji sebenarnya kita tidak berbeda dengan banyak makhluk Allah lainnya. Misalnya, lembu, kerbau atau bunga. Ketika dipuji secara sering otomatisi kita suka hati, sebaliknya, ketika dikritik kita secara metik langsung tidak enak hati.
Sebagai anak petani yang dulu sehari hari menggembala lembu dan kerbau, saya punya pengalaman personal dengan dua binatang ini. Biasanya ketika membajak sawah kedua makhluk Allah ini sering bertingkah, lambat Bergerak atau mengamuk.
Selain memukul dengan seunut (cemeti), binatang ini kembali menjadi patuh bila dipuji dengan baik. Misalnya, kita memujinya, “Hai meutuwah, kajak beubagah”. Seketika lembu/kerbau yang sedang menarik bajak itu kembali baik. Apalagi bila kita tambah dengan mengusap ngusap kepalanya.
Senang ketika di puji juga dirasakan bunga-bunga. Sejumlah penelitian membuktikan, bunga yang setiap pagi-sore disiram dengan muka masam sambil merepet akan berbeda pertumbuhannya dibandingkan dengan bunga yang selalu disiram dengan muka manis sambil memuji muji. Bunga yang disiram dengan model kedua Akan lebih mekar dan harum.
“Jika hatimu adalah sebuah gunung api, bagaimana kamu mengharapkan bunga untuk mekar?”, kata Khalil Gibran.
Jadi, karena kebanyakan kita senang ketika dipuji, maka jangan lah pelit memuji. Bukankah, mulut dan lidah kita tidak perlu dirental?.
Bukankah lebih baik memuji dengan takaran terukur seperti dilakukan dua politisi ini, ketimbang melempar cacian yang jauh dari fakta, misalnya dengan enteng berkata, “99 % orang Aceh pemakai ganja”, atau seorang Ustadz Afwaja yang merasa dekat dengan Tuhan lalu berkata, “Allah menimpakan tsunami kepada Orang Aceh karena orang Aceh melakukan dosa berketerusan karena dalam setiap masakannya dimasukkan daun ganja sebagai bumbu “.