Untukmu yang Patah Hati

Ini tentang kawan yang menabur angin menuai badai. Yang melenyapkan rindu, tapi menanggung rindu yang lebih besar. Ini tentang hati yang patah, tentang gelora yang luruh, seperti jatuhnya daun menguning di ranting kering. Tak ada lagi tunas untuk kembali hidup, karena hati yang kerontang.

Hanya hayal-hayal lanang yang saban malam jadi hiburan semu. Andai-andai yang tak mungkin digapai. Seandainya dahan itu tidak dipatahkan, mungkin cinta masih mekar. Kawan, jangan lagi mengenang luka itu. Cukup perban saja, agar perihnya tak kentara. Biar dia bahagia, setelah badai yang kau hembus menerbangkannya ke lain hati. Jangan lagi pilih aku untuk cerita luka yang itu-itu saja. Jangan bicara lagi bagaimana dia pergi, tapi ceritakan padaku bagaimana dulu cinta membawanya padamu. Dengan begitu kau bisa nikmati kenangan indahnya.

Tak perlu lagi kau ratapi kekalahan, terima saja itu sebagai hukuman, imbas dari jahilnya hati menyakiti tanpa henti. Andai dia bawa sakit itu kepadamu, mungkin kau butuh bahu yang lebih kekar untuk menahannya. Seperti leher jenjangnya yang lelah membawa luka. Seperti hatinya yang berdarah mengurai air mata.

Cinta bukan bunga plastik yang tak perlu disirami

Kini kawan, anggap saja dia telah hilang. Andai pun ia mati, tak perlu kau cari pusaranya. Karena kenangan pahit itu untuk dikubur, bukan disembur ke mukaku dalam ratapmu. Cukup bagiku untuk mengerti bahwa cintamu telah pergi.

Lukamu bukan untuk kita perdebatkan lagi. Tapi lukanya yang perlu kau sesali, karena abaimu dia tersakiti. Karena itu, tak perlu lagi kau memeluknya dalam mimpi. Ada tangan kekar lain merangkulnya di dingin malam.

Sekarang beri aku senyuman, yang telah lama jadi utang percakapan antara kita. Aku ingin kau sadar, kau sudah selesai dengannya. Mari kita hadau meja itu dengan segelas kopi, kita aduk pekatnya, lalu larutkan lukamu di sana. Jangan lagi permalukan dirimu atas nama cinta.

Mari jaga rindu dan cinta dalam seelok-eloknya perasaan. Hingga bunga tumbuh di lain hati. Lalu sirami dengan kasih, hingga rindu kembali dalam wujudnya. Hingga si patah hati kembali menemukan makna cintanya. Tak perlu lagi meratap dalam lubang luka yang kau gali sendiri.

Berapa puluh purnama sudah terabaikan tanpa cinta. Carilah hati lain tempat rindumu bersarang. Lalu hembus cinta itu hingga ke sum-sum paling dalam, agar bilik hatinya sesak hanya denganmu. Menyatulah di hati lain itu, agar rindumu dan rindunya sewarna. Rajutlah rasa dengan rasa yang lebih besar. Seperti Gibran mengabar rasa pada gadis yang tak pernah dikenalnya, setelah Salma jatuh dengan sayap-sayap patahnya.

Aku bukanlah Almitra ahli ramal yang diceritakan Gibran. Aku tak kuasa menghayal kembalinya hatimu ke cinta lama. Yang kutahu hanyalah kenyataan, bahwa antara kau dan dia bagai dua tebing terjal yang tak terjembatani. Kini bangunlah jembatan lain ke lain hati. Lelapkan dirimu di lembahnya, hingga kau sadar bahwa ada yang lebih indah, selain meratapi keangkuhanmu sendiri. Tak perlu lagi kau mengurung jiwa dalam pekat malam.

Oya, sebelum kututup goresan ini. Tutup jendela hatimu dari rindu padanya. Jangan lagi menggilai cinta dalam kesemuan. Bencinya akan tetap dialamatkan padamu, karena dia tak akan pernah lagi mengeja namamu, apa lagi meletakkannya dalam bait-bait syair kerinduan.

Badai yang dulu kau hembus telah kembali menyentuh hidungmu. Bergegaslah membangun bahtera, setidaknya kau bisa memainkan layar dalam arus kebencian, lalu melawan ombak mencari dermaga tempat untuk sekedar bersandar. Ketika kau sudah lelah, lihatlah ke belakang, ada aku di tepian yang akan melambai.

Kau sudah terlalu banyak tidur kawan. Bangunlah untuk sekedar menutup parut luka, bukan terus membasahinya dengan air garam. Bangunlah hingga kau sadar di luar mimpi ada tangan ayu lain yang lebih gemulai menyambutmu dengan kejelitaannya. Tarik dia dalam dekapan, lalu kabari aku tentang nikmatnya hati yang kembali mekar.[]