Memilih Krueng Daroy sebagai 'Tiket' ke Aceh Selatan

Kondisi Krueng Daroy di depan Museum Aceh

Saya sangat bersemangat karena Sabtu malam akan berangkat ke Aceh Selatan untuk mengikuti serial workshop Perempuan Peduli Leuser yang kedua. Acaranya akan berlangsung selama lima hari sejak Senin, 13 November 2017.

Untuk bisa ikut serial yang kedua ini ada syaratnya. Seperti ungkapan yang sudah sering kita dengar, nggak ada makan siang gratis. Maka agar diikutkan kembali dalam workshop berikutnya, peserta harus menyediakan tiketnya sendiri. Nah, tiketnya itu dalam bentuk tulisan.

Masing-masing peserta diminta untuk menemukenali salah satu pengelolaan SDA di daerahnya, lalu menganalisis berdasarkan apa yang sudah kami pelajari di workshop pertama. Yaitu tentang lingkungan, gender, dan advokasi.

Saya sebagai peserta dari Banda Aceh awalnya sempat bingung, SDA apa yang mau saya angkat? Akhirnya saya pilih sungai, tepatnya Krueng Daroy. Sungai ini menarik perhatian saya karena latar belakang historisnya yang luar biasa. Namun kondisinya sekarang sangat memprihatinkan.

Kenapa saya bilang prihatin, karena jika menengok ke belakang, rupa Krueng Daroy sekarang jelas berbeda dengan wujudnya berabad-abad silam. Rafly Kande dalam lagunya berjudul Krueng Daroy menggambarkannya dengan sangat apik. Air sungai ini adalah sumber kehidupan di masanya.

Sekarang, cobalah kita tengok airnya. Di beberapa bagian hijau pekat, di bagian lain ada yang menghitam, di bagian lainnya dipenuhi sampah, ada yang ditumbuhi eceng gondok. Sehingga pergerakan air menjadi terganggu.

Dengan kondisi ini saya pikir ada baiknya memilih Krueng Daroy sebagai 'tiket' saya. Memikirkan itu saya jadi deg-degan sebab masing-masing tulisan peserta nanti akan dibedah. Aduh... !