Kala Perang, Dimanakah Dirimu?
Pejuang Aceh melawan Marsose
Aceh itu gila, tulis Zentgraaff sersan penulis Belanda dalam Perang Aceh. Dikisahnya bagaimana perempuan tua itu terluka berat masih saja mengayun rencong. Tak menyerah di zaman old, justru aneh di zaman now "Rencong kiri kanan dompet hilang terus".
Ada saja peukateun di nanggroe kita, dulu pasca damai saya sempat ditegur seseorang. Awalnya seorang warga menanyakan pendapat saya tentang perdamaian dan masa depan Aceh, sebuah soal yang tidak sulit maka mengalirlah jawaban sambil diselingi candaan. Rupanya seseorang memperhatikan dari jauh, (mungkin) eks petempur. Mendekati kami dan menanyakan siapa saya dan dari gampong mana. Selepas saya perkenalkan diri, bapak yang terlihat kekar ini melanjutkan sebuah tanya, dimana saya kemudian tidak lagi menjawab, bukan apa-apa karena saya diberi isyarat diam oleh seorang kawan.
Apa yang beliau tanya, mungkin sering ditanya pada yang lain. "Watee karu pat gata?"
Pertanyaan ini sebenarnya tidak perlu analisa dan tinggal menjawab dimana posisi kala itu. Tapi sesungguhnya makna dibalik soalan itu bukan untuk sebutan sebuah kota tapi lebih pada apa peranmu dimasa perang hingga merasa diri layak mengambil peran dimasa damai.
Perang tak pernah menenangkan
Belajar dari sejarah, itulah bibit yang memecah belah janin kedepan. Kalau dulu kita mudah mengkambinghitamkan politik devide et impera warisan Belanda, tapi setelah hampir satu abad masihkah itu kambing hitam lama.
Ya, itulah yang menghambat kemajuan karena merasa diri terdepan hingga tak layak yang lain mendahului. Kalau Zentgraaff masih ada, dia mungkin akan katakan bahwa gila sekarang sudah gila beneran.
Jangan-jangan orang gila menganggap kita lebih gila darinya!😀