Mesjid Agung Martapura, Banjar Kalimantan Selatan.

Mesjid Agung Martapura, Banjar Kalimantan Selatan.

Imam Besar Masjid ini adalah KH.Khalilurrahman. Beliau adalah Bupati Banjar sampai sekarang dan Ketua MUI Kab.Banjar. Beliau adalah Ulama sekaligus Umara. Tidak ada pemisahan seperti hasrat kaum sekuler yang memisahkan kepemimpinan agama dan kepemimpinan negara.

Bupati Banjar juga adalah pimpinan Pesantren terbesar di Kalimantan yaitu Pesantren Darussalam. Santrinya mencapai Ribuan, saking banyaknya sehingga tak ada bilik untuk menampung seluruh santri yang mondok. Terpaksa santri-santri disini harus menyewa kost-kosan di Kota Martapura layaknya para mahasiswa di kota-kota besar.

Kabupaten Banjar bukanlah seperti Aceh yang mendapat hak istimewa untuk menjalankan syariat Islam.Tetapi pun begitu masyarakat disini dikenal taat menjalankan syariat Islam.

Maret 2015 kami pernah kesana menyaksikan di hari Jumat suasana Jumat nya benar-benar begitu nyata. Di jalanan sebelum waktu Jumat tiba, hanya ada lalu lalang kaum muslimin dengan pakaian putih bergegas ke Masjid ini.
Tidak ada sepeda motor yang ngebut-ngebutan, dan suara klakson bagaikan telah di silentkan semuanya.

Menurut keterangan Bupati Banjar bapak KH.Khalilirrahman, memang Banjar bukanlah daerah yang mempunyai hak menjalankan syariat Islam seperti Aceh, tetapi harus diketahui bahwa Islam lebih dahulu hadir di Banjar daripada hukum nasional, sehingga kami telah mengeluarkan Perda-perda yang berlandaskan Syariah seperti Perda Jumat Tertib, Perda Busana Muslim dan sebagainya. Memang mula-mula pemerintah pusat sedikit keberatan dengan perda-perda tersebut, tetapi kami menjelaskan bahwa syariat di Banjar adalah memang kebutuhan warga Banjar sehingga pantas dan layak warga Banjar hidup dengan aturan-aturan syariah. Mungkin hal ini agak berbeda dengan kita, saat kita mempunyai hak untuk menerapkan syariat Islam, tetapi kita seperti tidak begitu butuh dengan Syariat Islam.

Di sekitar Masjid adalah pusat perdagangan Kota Martapura. Permata dan batu-batu mulia merupakan produk khas Martapura. Dalam setiap transaksi jual beli walaupun nilainya sedikit, proses ijab kabul tetap dilakukan. Saya pernah mengalaminya saat itu padahal saya hanya membeli beberapa biji batu mulia disini. Saat itu saya tersenyum berpikir ke Aceh, saat saya beli sepeda motor dengan harga belasan juta saja, tidak ada ijap kabul seperti kebiasaan disini di Martapura.

Waktu itu saat kami mula-mula mendarat di Bandara Antasari, terlihat jalanan begitu macet dengan kendaraan yang dikendarai para jamaah berbaju putih. Jamaah itu rupanya warga Kalimantan yang hendak menghadiri Haul Tuan Guru Sekumpul seorang ulama besar tanah Banjar.
Saya teringat saat ngaji dulu di Dayah Gampong kami Nurul Huda pada sebuah kitab kuning dengan judul Jawakit Jawahid. Tertulis disana nama ujung pengarangnya bernama Al Banjari.

Ternyata memang masyarakat disini adalah masyarakat begitu menghargai ulama. Ulama juga sekaligus umara. Tidak ada pemisahan kepemimpinan agama dan negara persis yang dipraktekkan Rasulullah dan para Sahabat terdahulu.

Semoga Aceh akan berusaha untuk itu minimal walaupun bukan ulama tetapi dari orang-orang yang hidup dan peduli bersama Ulama. Semoga...!