Di balik layar JURNALIS 'Siapa Yang Sakit?'

in #indonesia7 years ago

Selayaknya pekerjaan seorang jurnalis pasti tak lekang dengan narasumber dan wawancara. Di antara seluruh liputan yang pernah saya jalani, kemarin, Minggu, 7 Januari 2018 memiliki kesan tersendiri. Cerita di balik layar kamera yang tidak akan pernah saya lupakan, begitu juga dengan rekan-rekan seprofesi (double Z,V dan I) yang ikut serta di hari yang indah itu.

Siang, pukul 14.00 WIB, kami berangkat ke Gampong (Desa) Lhok Pu’uk, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara. Kabarnya terjadi abrasi pantai di sana. Setiba di lokasi, ternyata hanya kabar bohong alias isu yang tidak jelas asal-usulnya. Tapi tak apalah, itung-itung menghabiskan akhir pekan bersama di pantai.

Pukul 15.30 WIB, cacing di dalam perut mulai bernyanyi, baru ingat, ternyata belum makan siang. Setelah bertemu rekan lainnya (J), akhirnya kami putuskan menuju Pantai Bantayan di kecamatan yang sama. Sebuah lokasi wisata Islami di bibir pantai Seunuddon. Di sini, kami menikmati seporsi mie goreng (mie Aceh) plus telur dan ditemani suguhan kelapa muda. Sebenarnya, rasa mie itu sedikit asin, tapi rasa lapar ternyata mampu menetralkan rasa asin.

Setelah perut terisi dan tenaga kembali pulih, kami putuskan beranjak meninggalkan pantai. Kami menuju Gampong Tanjong Geulumpang, Kecamatan Baktiya, Aceh Utara, karena di sinilah target liputan utama kami. Di desa ini, seorang pemuda dipasung dengan rantai. Fauzi Murtala namanya, usia masih 27 tahun. Secara keseluruhan, wajahnya cukup rupawan dengan kulit putih bersih, beralis tebal dan berhidung mancung.


pasung.JPG


“Anak saya sering mengamuk, memukul anggota keluarga, termasuk saya. Ia juga kerap merusak barang-barang rumah, memecahkan piring, membakar pakaian, kasur dan bantal. Maka dengan terpaksa kami rantai. Beberapa kali sudah pernah bawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh, sempat sembuh lalu kambuh lagi. Terakhir, tahun lalu ia kabur dari RSJ dan kembali ke rumah. Sejak saat itu kami rantai,” kata Ruhamah, ibu kandung Fauzi.

Saat tiba di lokasi, masing-masing sibuk mencari angle yang menarik. Saya lebih memilih mewawancara keluarga Fauzi, mulai dari ibunya, hingga adiknya. Namun tiga rekan dari media elektronik TV kesulitan mencari narasumber, ibu Fauzi tidak bisa berbahasa Indonesia.

Tak lama berselang, tiba seorang pria dengan usia sekitar 35 ke atas. Penampilannya tidak buruk, pria tinggi itu memakai kemeja, celana pendek selutut, sepatu semi kulit warna coklat, dan dilengkapi sebuah tas slempang di bahu. Ya, penampilan ala-ala turis lah.

Pria yang tidak saya ketahui namanya itu mendekati rekan-rekan saya. Pria itu mengaku teman seangkatan Fauzi, bahkan ia juga mengaku ikut mengurus Fauzi. Bagai mendapat durian runtuh, sang jurnalis pun beraksi mengeluarkan senjata utama (kamera). Saat wawancara berlangsung, Ruhamah, ibu Fauzi beberapa kali tersenyum simpul.


wawancara narasumber.jpg


Saya memilih berada di depan rumah Fauzi, berbincang dengan beberapa wanita tua yang ikut menyaksikan aksi sang jurnalis. Mereka, wanita-wanita tua yang ada di sana berbisik kepada saya, “Pria yang memakai sepatu dan menyandang tas itu juga nyaris sama dengan Fauzi, agak kurang waras. Hanya saja pria itu tidak suka mengamuk apalagi memukul”. Mendengar itu saya sedikit tertawa di dalam hati. Bukan menertawakan si pria asing itu, tapi rekan-rekan saya yang ternyata menjadikannya sebagai narasumber. “Ini luar biasa,” batin saya dalam hati.

Setelah proses wawancara berakhir, rekan-rekan saya kembali bergabung di halaman depan. Sambil berbisik kepada seorang di antaranya (Z). Saya katakan, “Narasumber tadi itu sedikit 'kurang', begitu kata warga”.

Mendengar itu, Z awalnya terdiam, kemudian ia tertawa terbahak-bahak. ‘Alahmak’... satu kata yang keluar dari mulutnya sambil tak henti tertawa. Ternyata setengah bisikan saya tadi didengar oleh V, ia hanya nyengir tanpa mengucap sepatah kata pun.

Setelah melewati beberapa adegan lanjutan dari sesi wawancara susulan, kami pun berpamitan kepada keluarga Fauzi. Dalam perjalanan, tawa kami pecah.

“Pantesan tadi saat wawancara pria itu, ibu Ruhamah senyum-senyum. Ternyata senyuman itu penuh makna. Tadi, pria itu katakan seletting (seangkatan) dengan Fauzi, ternyata angkatan itu?,” ucap Z yang membuat tawa kembali meledak.

Kisah ini akan menjadi cerita kita ‘sang jurnalis’. Jangan pernah lupakan, kita pernah berbagi tawa di sini... di kisah ini!!!
Salam sayang untuk adik2, Z,V dan I.