Sejarah Aceh
Pada kesempatan kali ini saya akan sedikit menulis dari hasil bacaan buku Acehnologi Volume 2 Karya Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, PH.D bab 14 tentang Sejarah Aceh. Sejarah Aceh lebih dikenal dikalangan orang-orang pegunungan atau orang-orang yang tidak dekat dengan kawasan pesisir. contohnya beberapa masyarakat Gayo, walaupun mereka kerap melakukan eksklusi dari identitas Aceh, cenderung lebih menguasai sejarah tanah leluhur mereka sendiri, ketimbang generasi muda yang ada di kawasan pesisir.
Dikalangan akademisi, sejarah Aceh cenderung dipandang sebagai romantisme sejarah. Tetapi kenyataannya, sejarah Aceh bukanlah suatu romantisme melainkan sebagai sebuah subjek ilmu pengetahuan yang telah dipraktikkan oleh para sarjana. Misalnya penelusuran sejarah Aceh yang dilakukan oleh Ibrahim Alfin dilakukan melalui Sejarah Perang dan Sejarah Samudera Pasai. Dari Sejarah Pasai, melihat bagaimana perkembangan Sejarah Melaka, dimana keberimanan rakyat Melaka adalah berkat dari usaha dan kontribusi Kerajaan Samudera Pasai. Dari Sejarah perang Aceh, tidak hanya dijadikan rujukan bagaimana sikap dan karakter nasionalisme orang Aceh di dalam mempertahankan negerinya dari penjajahan kafir, melalui spirit agama ( jihad fi sabilillah ). Dari sejarah Samudera Pasai kemudian juga diketahui kontribusi Aceh di dalam menyamai bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa persatuan di Indonesia.
Pengkajian Sejarah Aceh memang tidak masuk di dalam literature kurikulum pendidikan Sejarah di Indonesia. Sehingga literature Sejarah Aceh jarang sekali dikenali atau dipahami secara mendalam oleh generasi muda Aceh. Terlebih lagi, literature yang berwujud hakikat-hakikat yang lahir di Tanah Aceh.
Mengkaji Sejarah Aceh pada prinsipnya adalah mengkaji tentang masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang di Aceh. Adakalanya posisi Sejarah Aceh adalah Sejarah Kebudayaan Islam di Nusantara. Terkadang juga, Sejarah Aceh dikaitkan dengan Sejarah Melayu. Adapun relasi Sejarah Aceh dengan Sejarah Indonesia ibarat dua mata koin yaitu kontribusi terhadap Sejarah Nasional dan sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap dominasi Indonesia terhadap Negeri Aceh.
Dilema menulis Sejarah Aceh dihadapan Sejarah Nasional adalah ketika Aceh diposisikan sebagai “ local “, bukan “ pusat “, sebagaimana dampak dari penulisan Sejarah Jawa di Indonesia. Hamper seluruh negeri-negeri Aceh memiliki sejarah tersendiri, baik sebelum bergabung sebagai Aceh Darussalam, maupun setelah bergabung dengan Indonesia. Penopang Sejarah Aceh sesungguhnya tidak dapat mengesampingkan Sejarah Kerajaan Peureulak, Sejarah Samudera Pasai, Sejarah Tamiang, Sejarah Gayo, Sejarah Pidie, Sejarah Aceh di Pantai Barat ( Meulaboh, Nagan Raya, Blang Pidie, Labuhan Haji ), Sejarah Lamno, Sejarah Singkil dan Sejarah Barus.
Harus diakui, bahwa dalam kajian sejarah, Aceh merupakan tempat pertama kali islam bertapak di Nusantara. Untuk itu, pengetahuan Sejarah Aceh mutlak untuk dilakukan. Kesadaran bagi setiap orang untuk tidak melupakan sejarah harus dibarengi dengan niat yang kuat untuk meneliti dan mengurangi pernik-pernik gagasan, data, informasi, metafora, dan bahasa yang pernah ada di masa lalu.
Sejarah Aceh pada abad ke-17 M memang telah menampakkan bagaimana kejayaan Aceh pada masa tersebut hingga pertengahan abad ke-18 M. karena Aceh pada abad ke-17 M adalah sebuah Negara atau kerajaan yang berdaulat di atas sistem pemikiran yang berbeda dengan apa yang ditampilkan di dalam Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Pulau Jawa dan Bali. Setelah berdiri Kerajaan Aceh Darussalam, maka prosen penulisan Sejarah di Aceh cenderung didominasi oleh Sejarah di Lembah Aceh, ketika Sejarah “ Negeri di Bawah Angin “.
Selanjutnya, Sejarah Aceh pada abad ke-18 M dan 19 M lebih banyak diisi dengan kajian mengenai peperangan melawan Belanda. Kondisi Sejarah yang melawan Belanda ternyata mewarisi Sejarah konflik yang berkesudahan hingga abad ke-21 ini. Literature Sejarah mengenai perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda, Jepang, Revolusi Sosial, DI/TII, GAM menghiasi lembaran penulisan Sejarah Aceh pasca-bergabung dengan Republik Indonesia. Duka nestapa ini kemudian diakhiri dengan MoU Helsingki 2005 setelah Tsunami 2004. Bagaimana pun, kajian akan Sejarah Aceh tidak pernah dapat dipadamkan, kendati berbagai sindiran dan cemoohan bahwa orang Aceh sudah menginget sejarah mereka.