Tradisi Berguru di Aceh (Book Review Acehnologi Vol 3)
Bab kedua dari bagian Tradisi Intelektual Acehnologi ini mengulas mengenai Tradisi Berguru di Aceh. Review ini menyajikan lanjutan dari review bab sebelumnya. Di dalam bab ini akan didapati ulasan mengenai tradisi meugure(berguru) di Aceh. Dimana orang yang telah terdidik nantinya akan berkiprah di dalam masyarakat. Istilah yang digunakan bagi orang yang mencari ilmun ialah jak meudagang(pergi berdagang). Dari isi ini melihat kepada keadaan santri di dayah. Istilah yang disematkan ini sepintas terasa sangat unik, mengingat dalam bahasa Indonesia istilah ini kait eratnya dengan perekonomian. Kemudian dijelaskan istilah bagi orang berdang di Aceh. Kemudian sistemnya yang terdapat uroe ganto yaitu satu hari dalam seminggu yang di khususkan hanya untuk kegiatan jual beli. Pada hari inilah santri akan keluar dari dayah untuk memenuhi keperluannya. Proses uroe ganto ini sendiri pun berlangsung di sekitaran pasar yang ada masjid dan dayah.
Dan disini dijelaskan bahwa ureng meudagang tidak dibenani pungutan apapun atau SPP, kebiasaannya hanya uang lampu atau sumbangan untuk keperluan bersama. Selebihnya untuk keperluan sehari-hari para santri memenuhi kebutuhannya sendir atau dengan menggunakan kiriman uang dari orang tuanya. Nah, terdapat juga dari para santri yang mengamdikan diri bagi masyarakat, tentunya nanti mereka akan mendapatkan imbalan sepantas. Penulis dalam ulasan bahwa dayah merupakan pusat dari ilmu pengetahuan.(h.858) sistem pendidikan yang saling berhubungan dengan masyarakat menjadikan hal ini saling terkait anatara dunia pendidikan dengan keperluan masyarakat. Sehingga alumni dari dayah sangat dirasakan oleh masyarakat. Mereka berkiprah dalam masyarakat dan terlebih lagi dengan adanya kitab-kitab karangan ulama yang dijadikan pedoman.
Dari hal ini terlihat bagaimana peran yang sangat fital. Tradisi meugure inilah mempertagas bagaimana ilmu pengetahuan di kembangkan di Aceh. Kendati demikian, penulis mengulas bahwa dayah hanya bisa menciptakan intelektual, bukan untuk proses tranfer sistem pendidikan. Sistem pendidikan dayah tidak mampu diwariskan keluar dayah. Akibatnya, sistem yang begitu otentik ini semakin menghilang kekuatan aura ilmu pengetahuan. Terlebih lagi orang yang tidak tertarik lagi menuntut ilmu dengan sistem ini dan juga beberapa gure dari dayah yang berkiprah di luar dayah dengan tidak mempertahankan sistem ini.
Penegasan penulis dari sistem meugure sebagai usaha untuk mendapatkan jati diri sebagai manusia. Dari hal ini menjadikan orang Aceh mampu memahami keberadaanya sebagai manusia. Kemudian penulis menyajikanbagaimana tingkat pemikiran ulama Aceh. Disini penulis menyajikan pemikiran Hamzah Fansuri. Fase-fase pencarian spirit inteletual terus dilakukan.(h.862) kendati demikian keadaan ini tidak lagi berorientasi pada pembahasan persoalan peradaban. Hal ini juga dampak dari peradaban luar, baik dari Barat atau peradaban Jawa. Saya akan mengutip penggalan dari uraian ini :
Dari Peradaban Barat, Aceh kehilangan sistem berpikir, sistem pemerintahan dan sistem reproduksi inteletual yang mampu menjadi seorang pemikir. Dari Peradaban Jawa, Aceh kehilangan sistem kosmologi.(h.863)
Uraian akhir yang diberikan menciptakan dua hal yang amat penting dari uraian bab ini. Pertama mengenai uraian akar sejarah tersendiri mengenai dunia intelektual. Kemudian kedua mendasarkan pada spirit inteletual di Aceh yang kini telah kehilangan bentuknya. Bahkan penulis memberi penegasan dunia pendidkan Aceh sama sekali tidak diperhitungkan, baik itu di tingkat Nasional ataupun Internasional.