Kontribusi Keilmuwan Alumni Luar Negeri di Aceh (Book Review Acehnologi Vol 3)
Mengawali review bab Kontribusi Keilmuwan Alumni Luar Negeri di Aceh. Pada bab ini penulis sendiri membahas mengenai bagaimana peran alumni luar negeri di dalam masyarakat. Tidak hanya sampai disitu, menelaah juga apa yang terjadi dalam fase sejarah hingga persoalan ini bukan hanya menanggapi fenomena yang terjadi sekarang. Tradisi menuntut ilmu keluar negeri di Aceh memang sudah mentradisi. Masyarakat sangat antusias jika anaknya bisa berkelana mencari ilmu di luar negeri, khususnya timur tengah. Dari sejarah inteletual bisa dirasakan hubungan Aceh dengan timur tengah, terutama Haramayn.
Alumni dari luar negeri ini pun akan berkiprah di dalam masyarakat setelah pulang kembali ke Aceh. Putra Aceh bukan yang telah menempuh pendidikan di dayah pun kerap melanjutkan ke luar negeri untuk kemantapan ilmunya. Dalam fase sejarah ketika Belanda datang, ulama disibukkan dengan berperang melawan penjajah. Begitu juga ketika Aceh gabung dengan Indonesia. Akibatnya, tradisi mengirim putra terbaik Aceh ke Timur Tengah mulai meredup. Baru kemudian mencuat kembali setelah era Orde Baru.
Lantas bagaimana dengan belajr di luar negeri yang non-studi islam. Penulis menerangkan disini bahwa hal ini hanya dikhususkan oleh penjajah bagi bangsawan Jawa. Mereka di kirim ke Belanda untuk mempelajari hukum Belanda serta ke Amerika untuk mendalami bidang ekonomi. Setelahnya akan di tempatkan pada jabatan-jabatan yang telah disediakan yang mengakibatkan penularan cara berpikir secara umum bagi masyarakat Indonesia. Dari aspek ini pula tradisi pengiriman orang Aceh ke Eropa tidak mencuat dalam masyarakat Aceh. Sehingga peran orang Aceh dalam pentas Nasional lebih banyak dihiasi oleh alumni dayah.
Penulis juga memaparkan adanya pemikir Aceh seperti Hasbi Ash-Shiddieqi tidak pernah mengenyam pendidikan di luar negeri namun berhasil mengeluarkan karya yang luar biasa. Karya yang bahkan sampai saat ini masih digunakan baik bagi sarjana dalam maupun luar negeri. Nama lain yang dicuatkan penulis ialah Ali Hasyimi, beliau juga tidak pernah menempuh pendidikan di luar negeri. Kendati demikian peran yang diberikan dengan karyanya masih bisa dirasakan. Disini di tegaskan kisaran tahun 1970-an para sarjana yang sangat produktif di Aceh bukanlah alumni Timur Tengah atau pun Eropa dan Amerika.
Pada era 1970-an dan 1980-an alumni luar negeri di Aceh memainkan peran yang sangat besar. Bukan hanya dari luar negeri, mereka yang tidak menempuh pendidikan di luar negeri pun banyak menghasilkan karya yang fenomenal. Sehingga pada masa ini Aceh masih mampu memberikan pengaruh bagi dunia akademik di Indonesia. Kemudian era tahun 1990-an dan 2000-an menjadi masa suram bagi dunia akademik Aceh karena pereteruan dengan pemerintah pusat. Kendati demikian, minat untuk menempuh pendidikan di luar negeri masih sangat kuat pada kalangan anak-anak Aceh.
Kemudian pembahasan yang diberikan oleh penulis mulai masuk kepada inti permasalahan. Berbagai sudut pandang diberikan penulis, apa yang dilakukan dari beasiswa dan peran alumni disini jelas disinggung. Upaya pengiriman anak Aceh melalui beasiswa yang diberikan pemerintah dengan tujuan menciptakan sumber daya manusia yang bisa mengisi proses pembangunan Aceh pasca-Tsunami. Diharapkan dari mereka kemudian bisa menciptakab Aceh Baru. Dan pada bagian ini permasalahan yang dimunculkan kemudian mulai dijabarkan. Salah satunya persoalan bagaimana mengubah cara pandang masyarakat jika cara pandang sendiri belum bisa dirubah.
Akhirnya pada bagian penutup bab ini penulis menyajikan bahwa sangat tidak mungkin membangun Aceh tanpa berhijrah ke luar negeri. Dilanjutkan dengan penekanan bahwa mereka alumni luar negeri harus bisa melakukan transfer of knowledge. Keberadaan Acehologi sendiri untuk menyambung silaturrahmi keilmuwan bagi mereka yang telah menempuh pendidikan di luar negeri sehingga bisa lebih memahami kehidupan rakyat Aceh dengan lebih mendalam.