Acehnologi (Review) "SISTEM KEBUDAYAAN ACEH" [VolumeIII:Bab25]
Kebudayaan dalam setiap daerah merupakan sebuah hal yang berharga, dikarenakan budaya merupakan sebuah jembatan menuju peradaban dengan membangun suatu daerah lebih terlihat “mengenali” identitasnya sendiri. Pada bab ini, penulis memaparkan dalam studi ini mengupas kemampuan manusia Aceh menciptakan, merekayasa, dan memperthankan sistem kebudayaan. Dalam konteks ini, penulis memunculkan tiga konsep mengenai kemampuan manusia Aceh di dalam memunculkan kebudayaan yaitu, I (saya), being (keberadaan) dan action (aksi).
Orang Aceh selalu memfungsikan Islam di dalam kehidupan mereka, oleh sebab itu mereka menanggap untuk kenal diri, tahu diri, arah diri, posisi diri,, menampakkan diri, perlu pendalaman Islam, mulai dari syari’at, hakikat hingga makrifat. Setelah itu baru mereka berani menyebut diri lon (saya). Persoalan turi droe (kenal diri) merupakan hal yang sangat harus dilakukan oleh orang Aceh, Hamzah Fansuri pun menjelaskan tentang hal tersebut dengan berbagai aspek. Oleh karena itu, turi droe merupakan pra-syarat bagi orang Aceh membangun kebudayaan, sehingga orang Aceh mempunyai dasar untuk bertindak dengan falsafah yaitu, ingat, seimbang, dan syukur. Sehingga, banyak dalam kehidupan orang Aceh memiliki “haba peuingat” (kabar untuk mengingatkan) seperti hikayat, nadzam dan dakwah.
Dalam mengartikan makna seimbang, masyarakat Aceh selalu memiliki budaya untuk timang (sejajar) atas apapun yang akan dilakukannya, seperti tetap menyeimbangkan hubungan manusia dengan Tuhan dan alam, maka saat tidak dapat diseimbangkan orang Aceh kembali kepada haba peuingat hasil dari nasihat dan berisi advice dari endatu. Mangat merupakan istilah orang Aceh untuk sesuatu yang baik, jadi orang Aceh membiasakan diri bukan tergantung kepada nominal materi, namun tetap kepada beureukat (berkah/blessed) sehingga makna syukur sangat dijunjung tinggi
Pada bab ini, penulis juga memaparkan bagaimana orang barat juga mengenal istilah peuturi droe dengan kata “knowing self” atau “self consciousness”, dikaitkan dengan kajian Aceh karena peristiwa kebangkitan akal dan kebangunan very abstract system of ideas di Aceh terjadi pada era yang hampir sama yaitu abad ke-16 an ke-17 Masehi. Aceh seakan sangat berjasa dalam hal ini, karena mampu memberikan prngaruh kepada kekuatan identitas Melayu, sehingga ke pulau Jawa memberikan sistem berfikir dalam bidang Tasawuf. Namun, setelah pemikiran Aceh sudah terlalu diwakafkan kepada Asia Tenggara, orang Aceh seperti tidak memiliki lagi konsep very abstract system of ideas. Hal tersebutlah, yang menjadikan kekuasan peradaban telah hilang, sehingga dapat kita lihat sekarang, mungkin orang Aceh bisa saja bersantai santai di dalam, namun diluar orang-orang dari luar memiliki pergerakan yang sangat cepat untuk menguasai “harta” bumi Aceh.
Dalam Acehnologi ini membangun dan menyadarkan lagi nilai-nilai dan estetika akan membentuk pemikiran dengan ke-Aceh-an. Terlebih lagi dalam membangun kembali kebudayaan Aceh yang menjadi sistem bagi orang Aceh bukan hanya simbol semata, dalam akhir bab ini dikatakan kajian sejarah kebudayaan merupakan model yang mutlak dilakukan, dari kajian ini diharapkan akan terus membantu bagaimana kait kelindan kebudayaan Aceh yang telah disemai selama ratusan tahun, bisa dibangkitkan lagi pada era modern. Kontribusi Persia juga banyak mempengaruhi akar-akar kebudaayan Aceh itu sendiri.