The Rare Sight in Coffee Shops in Aceh

in #indonesia6 years ago

The young man sank with reading a thick book at a coffee shop in Lhokseumawe, Aceh. Around him, there was the sound of people frenzied talking while sipping coffee. Usually, the atmosphere in the coffee shop is never quiet. Vehicles passing by on the road add to the boisterous atmosphere around it.

However, the young man seemed uninterrupted. His head did not move from the sheet when someone shouted for a drink or called the waiter. The concentration of the youth was also not disturbed by the sound of horns or occasional motorbikes with exhaust modifications passing. His voice was about to break the eardrum, but the young man was not disturbed at all.

Cities in Aceh, including Banda Aceh, are indeed not designed to provide comfort for people who like reading in public spaces. This condition is exacerbated by people's low awareness of the comfort of others. However, we are not criticizing the government or criticizing citizens whose civilizations are increasingly backward. We are talking about a rare sight in a coffee shop in Aceh. Young people read thick books, really enjoy it too.

Because it's rarely seen such a scene, at least in Lhokseumawe, it feels strange and rare. Reading books in public spaces seems odd in Aceh. In fact, it is a positive activity that should inspire other young people to do the same. Positive actions and many benefits should be copied and become habits and even needs.

Reading books can be done at any time and at any time, it should not be a strange or rare sight. In developed countries like Japan, people use the time to read anytime anywhere such as on a train, while in line, or provide special time to read.

Reading activities should be a daily necessity, just like eating and drinking. Oral traditions that have developed in the community do not need to be lost, because there are other social values from the tradition. But reading culture needs to continue to be developed as part of modern civilization. 

***** 

Image source: 1, 2, 3

*INDONESIA*

Pemandangan Langka di Warung Kopi Aceh

Seorang pemuda tenggelam dengan bacaan sebuah buku tebal di sebuah warung kopi di Lhokseumawe, Aceh. Di sekelilingnya, terdengar suara orang hiruk-pikuk berbicara sambil menyeruput kopi. Biasalah, suasana di warung kopi yang tidak pernah senyap. Kendaraan yang berlalu-lalang di jalan menambah suasana riuh di sekitarnya.

Namun, pemuda itu seperti tidak terganggu. Kepalanya sama sekali tidak bergerak dari lembaran buku ketika ada orang yang berteriak meminta minuman atau memanggil pelayan. Konsentrasi pemuda itu juga tidak terganggu dengan suara klakson atau sesekali sepeda motor dengan knalpot modifikasi melintas. Suaranya seperti hendak memecahkan gendang telinga, tapi pemuda itu sama sekali tidak terganggu.

Kota-kota di Aceh, termasuk Banda Aceh, memang tidak didesain untuk memberikan kenyamanan bagi orang yang hobi membaca di ruang publik. Kondisi itu diperparah dengan kesadaran warga yang masih rendah terhadap kenyamanan orang lain. Namun, kita bukan sedang mengkritisi pemerintah atau mengkritisi warga yang peradabannya semakin mundur. Kita sedang membicarakan pemandangan langka di warung kopi di Aceh. Anak muda membaca buku tebal, sangat menikmatinya pula.

Karena jarang menyaksikan pemandangan seperti itu, setidaknya di Lhokseumawe, jadi terasa aneh dan langka.  Membaca buku di ruang publik seolah terlihat ganjil di Aceh. Padahal, itu kegiatan positif yang seharusnya menginspirasi anak muda lain untuk melakukan hal sama. Perbuatan positif dan memberi banyak manfaat seharusnya ditiru dan menjadi kebiasaan bahkan kebutuhan.

Membaca buku bisa dilakukan di masa saja dan kapan saja, seharusnya itu bukan pemandangan aneh atau langka. Di negara maju seperti Jepang, masyarakatnya memanfaatkan waktu untuk membaca kapan saja di mana saja seperti di kereta api, ketika sedang mengantre, atau menyediakan waktu khusus untuk membaca.

Kegiatan membaca seharusnya menjadi kebutuhan sehari-hari, sama seperti makan dan minum. Tradisi lisan yang sudah berkembang di tengah masyarakat tidak perlu hilang, sebab ada nilai sosial lain dari tradisi tersebut. Tapi budaya baca perlu terus dikembangkan sebagai bagian dari peradaban modern.

*****

Sort:  

Biasanya kalau di Aceh, orang-orang justru akan keberatan bila koneksi jaringan internet tidak bagus. Barangkali mereka membaca melalui smartphone masing-masing. Namun fakta yang demikian justru sangat sedikit. Justru memanfaatkan koneksi internet lebih kepada hal-hal yang bersifat hiburan semata, seperti bermain game. :D

Susah mentradisikan budaya membaca ini bang.. apalagi ketika gadget sudah di tangan. Butuh pergerakan dari kita yang memiliki tujuan mengembangkan minat baca kepada anak2 agar kelak dia terbiasa dengan membaca.

Hebat ya bisa tetep pokus... mampu mengatur daya serap dan pendengarannya...

Posted using Partiko Android

@mukhtariltas, mudah-mudahan ada cafe yang mendesain ruang khusus Literasi bang @aiqabrago, jadi gerakan literasi harus didukung oleh semua komponen. Saya salut pada pemuda tersebut konsentrasinya ok.

Buku adalah jendela dunia, dengan sering membaca wawasan kita semakin bertambah, ilmu pun jadi luas. Cerita bang @aiqabarago sangat menginspirasi saya, dan semua sahabat Steemian, tulisan bang @aiqabrago mewah dan berkelas, saya banyak belajar dari tulisan bang @aiqabrago.

Salam sukses selalu😊

Membaca memang membuat seseorang fokus tanpa peduli dengan suasana alam sekitarnya.

hal ini sudah menjadi kebiasaan para pembaca.

Di dunia sekolah, lebih detailnya di ruang kelas, pengadaan 'Reading Corner' yang didesain se-apik, senyaman, dan sekreatif mungkin di setiap sudut ruang kelas adalah salah satu upaya untuk mendukung program literasi guna meningkatkan minat baca anak didik kita sejak dini.

andaikan banyak yang seperti ini, generasi Aceh akan tambah maju dan cerdas bang @aiqabrago.

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63643.10
ETH 2582.85
USDT 1.00
SBD 2.75