Peraturan KPU (in)Konstitusional?
Oleh Hesphynosa Risfa, S.H., M.H.
Pemilu 2019 sudah di depan mata, namun masih banyak pekerjaan rumah yang belum tuntas diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Baik pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional. Misalnya polemik pemilu pada tingkat lokal, sampai saat ini belum menemukan jalan keluar yaitu masalah masa jabatan anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP). Apakah perlu diperpanjang atau Gubernur harus segera meresmikan anggota KIP Aceh yang baru. Belum habis satu masalah timbul masalah baru di mana KPU menerbitkan Surat Nomor 608/PL.01.4-SD/06/KPU/VI/2018, tanggal 25 Juni 2018, yang menyebutkan syarat calon anggota DPRA dan DPRK memuat paling banyak 100% (seratus persen) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan. Hal ini berbeda dengan pengaturan di dalam qanun yang menyebutkan 125% (seratus dua puluh lima persen).
Pada tingkat nasionalpun polemik pemilu sampai saat ini tidak kalah serunya. Niat baik KPU untuk melarang mantan terpidana korupsi untuk mengikuti pemilu legislatif ditentang beberapa kalangan. Akan tetapi adapula sebagian kalangan yang mendukungnya. Persoalan tersebut dapat kita kihat latar belakangnya dengan merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini tertuang dalam putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015. Yang pada pokoknya MK menegaskan bahwa pencabutan hak pilih sesorang hanya dapat dicabut berdasarkan putusan pengadilan (yang merupakan hukuman tambahan).
UU tidak dapat mencabut hak pilih sesorang, UU hanya boleh memberikan “batasan" terhadap hak seseorang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau mantan terpidana korupsi tidak dibolehkan untuk mengikuti pemilu legislatif itu artinya pembentuk UU telah memberikan hukuman tambahan kepada seseorang. Kesimpulannya adalah pencabutan hak politik seseorang boleh dilakukan hanya dengan dua cara yaitu: pertama, melalui putusan hakim sebagai hukuman tambahan; dan kedua, pembentuk UU dapat merumuskan kembali pembatasannya sesuai dengan nalar UUD 1945 “sepanjang” untuk melindungi hak asasi orang lain (derogable rights).
Selengkapnya MK telah menetapkan beberapa pedoman apabila pembentuk UU ingin membatasi hak politik sesorang sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yaitu: pertama, diatur dengan UU; kedua, didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional, serta tidak berkelebihan; ketiga, dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain; keempat, untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis; kelima, tidak diskriminatif; keenam, tidak menghambat atau menghilangkan secara tidak sah hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan; dan ketujuh, berkait dengan hak pilih, pembatasan didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan, misalnya faktor usia dan keadaan jiwa, dan ketidakmungkinan, misalnya karena dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif.
Putusan MK tersebut juga bertalian dengan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP membagi hukuman pidana menjadi dua jenis, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Selanjutnya hakim dapat pula memberikan pidana tambahan, yang terdiri dari pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Dari ketentuan inilah kita dapat menyimpulkan bahwa hanya hakimlah yang dapat mencabut hak politik seseorang sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang telah dilakukan.
Dari uraian tersebut kemudian lahirlah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. UU Pemilu tidak melarang calon legislatif mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Pasal 240 ayat (1) huruf g menyebutkan bahwa, bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Inti dari pasal ini adalah mantan koruptor diperbolehkan menjadi calon legislatif, sepanjang yang bersangkutan telah “mengumumkan kepada publik” bahwa dirinya adalah mantan terpidana korupsi yang telah selesai menjalani hukuman.
Isu ini kemudian menjadi polemik, karena KPU menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang mantan koruptor untuk menjadi calon legislatif. Hal ini cukup kontroversial karena setelah PKPU ini selesai dibahas ternyata Menteri Hukum dan HAM menolak untuk mengundangkannya. Yasonna Laoly enggan menandatangani PKPU tersebut karena dianggap bertentangan dengan putusan MK dan UU Pemilu. Sebelumnya KPU tetap berpegang pada prinsipnya. Hal ini bertujuan agar masyarakat pemilih mendapatkan calon yang baik, jujur, dan berintergitas, demi terciptanya pesta demokrasi yang berkualitas. Bahkan tidak hanya itu KPU pun mempersilahkan bagi siapa saja yang keberatan dengan beleid tersebut untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).
Kedudukan Peraturan KPU
Menilik persoalan tersebut kita akan dihadapakan pada beberapa pertanyaan, di antaranya berwenangkah KPU menerbitkan peraturan tersebut? Karena pembatasan hak politik seseorang hanya boleh ditetapkan melalui putusan pengadilan atau dalam bentuk UU. Sementara dari perspektif kewenangan KPU bukanlah lembaga pembentuk UU dan juga bukanlah lembaga peradilan. Artinya patut diduga KPU tidak memiliki kewenangan untuk itu. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa paraturan yang ada dibawah tidak boleh mereduksi peraturan yang berada diatasnya.
Dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa: setiap peraturan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk “berdasarkan kewenangan”. Nah di sinilah persoalan pokoknya. Kewenangan KPU hanyalah sebagai lembaga yang bertugas untuk menjalankan UU Pemilu, bukan malah mengatur hal berada diluar kewengannya. KPU tidak boleh menafsirkan UU melampaui kewenangannya. Walupun sama-sama kita ketahui niat tersebut sangatlah baik dan mulia guna mendapatkan calon yang berkualitas. Namun rambu-rambu konstitusi tetaplah harus diindahkan. Jangan sampai terkesan KPU telah mengambil alih fungsi dari pembentuk UU. Karena bukan tidak mungkin akan menimbulkan sengketa kewenangan antara KPU dan DPR.
Selain itu masih ada dampak ikutan lainnya dari PKPU tersebut, jika memang nantinya dilakukan uji materi ke MA. Dalam tinjuan hukum tata negara permasalahan ini bukanlah hal yang sederhana, karena bukan tidak mungkin akan menimbulkan permasalahan baru. Pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana seandainya jika MA menolak uji materi tersebut? Artinya pelarangan mantan koruptor untuk menjadi anggota legislatif sudah tepat, dan ini bermakna PKPU tersebut sah menurut hukum. Sekaligus akan menimbulkan permasalahan baru yaitu akan terjadi disparitas putusan pengadilan antara putusan MK dan MA. Jika ini terjadi juga dapat menimbulkan sengketa kewenangan antara MK dan MA. Kemudian akan menimbulkan pertanyaan lagi, siapa yang akan menyelesaikanya? Yang menyelesaikannya sudah pasti MK. Akan tetapi mungkinkah MK mengadili perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Hal ini berpotensi melanggar asas hukum nemo judex ideoneus in propria causa. Di mana hakim dilarang untuk mengadili perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Dan lebih jauh lagi akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat. Padahal pesta demokrasi 2019 sudah di depan mata.
Niat KPU sangatlah mulia
Dari uraian di atas sangatlah pantas kita memberikan apresiasi terhadap sikap KPU yang dengan berani telah menerbitkan PKPU tersebut. Karena korupsi adalah kejahatan luar biasa yang menjadi musuh kita bersama (extra ordinary crime). Akan tetapi niat baik tersebut haruslah diwujudkan dalam bingkai rule of law yang benar, bahwa kedaulatan rakyat harus diimbangi dengan kedaulatan hukum secara proporsional. Selanjutnya perlu dicarikan alternatif lain dengan membangun kesadaran masyarakat, agar tidak memilih calon legislatif yang berstatus mantan terpidana korupsi. Juga semua komponen bangsa harus terus mendorong DPR untuk segera merumuskan UU yang sesuai dengan semangat putusan MK dengan pembatasan tertentu (derogable rights). Jangan sampai DPR enggan merumuskan UU tersebut. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak anggota DPR yang telah divonis melakukan tindak pidana korupsi.
Kemudian partai politikpun harus memiliki komitmen yang kuat dalam perang melawan korupsi. Proses rekrutmen yang selektif ditambah rekam jejak yang baik menjadi suatu keniscayaan untuk menghasilkan pejabat publik yang berkualitas. Yang nantinya benar-benar akan mewakili kepentingan rakyat. Mengutip syair lagu “wakil rakyat” milik Iwan Fals, di kantong safarimu kami titipkan masa depan kami dan negeri ini. Masyarakat menaruh pengharapan yang besar kepada wakil-wakilnya, yang nantinya akan duduk di lembaga perlemen untuk menyuarakan aspirasi mereka. Semoga momentum pemilu 2019 kita semua dapat berdemokrasi dengan benar dalam bingkai negara hukum dan konstitusi.
*)Hesphynosa Risfa, S.H., M.H., Advokat dan Praktisi Hukum, (Email : [email protected])
Posted from my blog with SteemPress : https://www.acehtrend.co/peraturan-kpu-inkonstitusional/