Menyoal Label Islami Di Tempat Yang Tak Islami
Di ujung utara pulau ruja ini, segalanya di beri label islami. Seolah tanpa hal itu, sesuatu tak boleh hukumnya untuk di dekati. Dan bagiku, itu membuat kata islami mengalami pendangkalan arti.
Contohnya pantai yang satu ini. Aku dan kawan-kawan datang ke sana untuk meninjau suasana dan hal-hal teknis lain di tempat yang akan kami jadikan sebagai lokasi shooting. Istilah kerennya adalah recce. Itu adalah istilah yang harus kau baca "reki" agar kau betulan terlihat keren dan filmaker abis.
Kami sampai di sana sekira pukul 11 siang. Pantai itu sepi. Tak ada perahu nelayan yang tertambat di sana sebab tak jauh dari situ, ada sebuah dermaga kecil. Hanya ada sebuah kapal setengah jadi yang terpacak di pantainya. Kalau dilihat dari ukurannya, kapal itu akan mampu berlayar berhari-hari jika nanti telah diturunkan ke laut.
Selain itu kapal, di pantai yang ditempeli label islami oleh masyarakat sekitar ini hanya ada pasir dan cemara belaka. Itu jika beberapa gubuk reot dan kursi lapuk di sana kita anggap tidak ada. Lagipula, gubuk dan kursi itu secara estetika tentu saja tidak masuk dalam rupa-rupa fasilitas wisata versi brosur destinasi wisata yang dibikin pemerintah. Konon lagi jika difungsikan. Salah-salah bisa makan korban jiwa.
Sudah. Itu saja. Apalagi fasilitas yang kau harapkan dari destinasi wisata islami ini? Berharap ada masjid super indah berjendela lebar yang menghantarkan angin laut sepoi-sepoi menerpa wajah jamaah ketika shalat dhuhur? Jangan mimpi. Hanya ada sebuah balai ditepi lapangan bola yang kutebak lebih sering digunakan pemuda setempat untuk berburu scatter berjamaah tinimbang untuk mendirikan shalat dengan tuma'ninah.
Soal air bersih lain lagi. Memang air laut itu bisa digunakan untuk bersuci. Tapi bukan berarti pengunjung tidak butuh tempat untuk bersih-bersih diri.
Pantai islami ini juga tidak dilengkapi dengan kamar mandi dan tempat pembuangan hajat. Baik hajat kecil-kecilan ataupun hajat besar-besaran. Sila bayangkan jika diantara sekumpulan pengunjung yang datang ke sana, lalu ada satu orang yang merasa sesuatu akan keluar dari liang duburnya. Maka solusinya ialah berlari ke rumah terdekat untuk menumpang berak. Itupun kalau jaraknya terjangkau. Solusi lain: pelorotkan celana setelah memastikan sekeliling tak ada orang dalam jangkauan mata dan jongkoklah di tepi pantai. Lalu itu feses boleh ditanam dengan pasir untuk kemudian menjadi serupa ranjau darat bagi orang-orang yang ada di sekitar situ.
Hal-hal mendasar yang kusebut di atas tadi barulah sebagian dari 'fitur islami' yang ada di sana. Dan yang menurutku paling mindblowing adalah soal keberadaan tongkang batubara yang parkir santuy tak jauh dari pantai. Padahal, area itu bersisian dengan zona inti konservasi laut yang ditetapkan pemerintah. Darimana aku tahu? sebab aku punya petanya.
Jika hanya parkir saja, kurasa tongkang itu tidak akan menjadi masalah. Namun celakanya, itu tongkang mengapung sambil menumpahkan muatan ketika ombak tipis-tipis menepuk bagian tepinya. Batu bara yang di tumpuk serampangan itu berjatuhan dan mengotori lautan. Lalu perlahan dibawa air dan berserak di tepian pantai.
Kau bisa saja berdalih batubara segitu tak mampu mencemari lautan yang luasnya tak terkira ini. Tapi bagiku adalah sebuah ironi ketika pemerintah mengajak rakyat kecil untuk menjaga laut dan tidak mencemarinya tapi saat bersamaan kapal milik perusahaan besar diberi izin melego jangkar selemparan batu dari zona inti konservasi sambil mengotori laut dengan muatannya.
Jadi apa sebenarnya maksud islami yang ditabalkan kepada pantai ini?
Setelah merenung dan bertapa selama sedetik, aku mendapatkan jawaban soal makna islami itu. Ternyata, maksudnya adalah pengunjung tidak boleh memadu kasih di sana. Masyarakat situ mungkin takut, pantai yang ada di daerahnya akan disalahgunakan sebagai tempat manusia-manusia yang han ek theun le (ga tahan lagi) sebagai lapak darurat untuk berkembang biak. Penduduk setempat mungkin merasa terganggu jika ada sepasang muda mudi yang mesra-mesraan di sana. Singkatnya, label "islami" itu berfungsi semacam larangan menjadikan pantai sebagai lokasi pacaran.
Aku sepakat jika pacaran itu tidak islami. Tapi apa cukup sampai di situ saja? Apakah itu tindakan yang islami jika kau tidak pacaran tapi berak sembarangan? Apakah menurutmu destinasi wisata itu islami jika semua pengunjung datang dengan mahramnya tapi ketika azan berkumandang, tak ada tempat yang layak untuk mendirikan shalat? Atau kau boleh buang sampah dan mencemari lingkungan sesukamu, karena dimata masyarakat kau adalah pemuda yang islami sebab kau tak pernah pacaran. Ya ga gitulah cara mainnya!
Masalahnya adalah kita terlalu senang dengan simbol-simbol. Terjebak dengan label tanpa mau tahu substansi masalah. Lama-lama, jika makna islami yang ditabalkan pada tiap-tiap tempat wisata hanya sebatas itu saja, percayalah, masyarakat kita akan jadi sasaran empuk Komunitas Indonesia Tanpa Pacaran.
Itu komunitas apaan?
Jangan banyak tanya. Pokoknya putusin sekarang dan segera beli kaos juga marchendise lainnya. Insya Allah berkah.
Geupap.
Eehh bidet ada yg lucu juga di sini 🤣 kamu keren bisa ngomel syantik begini👍👍 jempol buat kamu dah!
Aku punya persepsi berbeda sedikit, bisa jadi penabalan kata "islami" yg dimaksudkan pengelola (biasanya pemuda Dan warga setempat) memang utk larangan berkasih-mesra bagi pasangan bukan muhrim atau segala aktifitas non-islami lainnya, naming belum sampai kepada pelayanan yg "islami" Dan manusiawi.
Bagaimana bila kita serahkan penerjemahan pantai wisata islami pada pengunjung (nanti setelah musim covid berakhir) seperti tidal nyampah, tidak pacaran di pantai, tidak meremehkan pengelola, mengutamakan konfirmasi ketimbang asumsi...dll.
Tantangan di negeri berlabel "islami" adalah flexibility of interpretation. Good job bro... Lanjut ngomelnya Dan thanks untuk "recce" aku bacanya reke 😭😂🤣
terima kasih teh cici... kalo lucu mah alhamdulillah udah dari bayi 🤭
masalahnya teh, label "islami" itu seringkali asal di tabalkan tanpa mempertimbangkan citra "islami" itu sendiri. dan jika begitu rupa, apa kata pengunjung yang berasal dari daerah yang tak islami melihat lokasi wisata yang justru lebih islami di negerinya. Dalam arti, islami secara komperhensif ya.
Kalau hanya ingin tak ada yang memadu kasih atau berkembang biak di sana, kenapa tak diberi himbauan "dilarang berduaan bagi pasangan non muhrim". Walau himbauan begitu juga kerap dijalankan dengan standar ganda. Buktinya kalo pengunjungnya bule tidak dilarang berduaan dengan pasangan non muhrimnya.
btw kalo mereka nanya ke aku gimana solusinya, aku juga bakal jawab "teuing ah, lieur. Kumaha dinya weh lah"
soalnya itu tugas dinas pariwisata buat nyari solusinya. sebab udah digaji buat itu hehehe
salam kenal teh cici
Hahahaha... Makanya diwawancarai dulu itu pengelolanya, apa maksud islami... Jangan2 cuma biar trendi aja... Kan atraktif kalau Ada "islami"nya
Kalo ada pengelolanya mah, saya ga bakalan merenung dan bertapa buat cari tau maksudnya.
🤣🤣🤣 biasanya warga setempat... Kelompok pemuda atau pengurus lingkungan Desa... Btw, repot bener, Kan tema videonya bukan soal "wisata islami"