Aceh, Pilkada, dan Kawin Lari
Bagi beberapa orang, menikah memang bukan prioritas. Tapi bagi sebahagian besarnya, menikah adalah impian terbesar mereka. Membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera adalah salah satu capaian paripurna dalam hidup seorang manusia.
Menikahi orang yang kau cintai merupakan salah satu kebahagian terbesar dalam hidup. Sebab bagaimanapun, cinta itu indah adanya. Jika bagimu tidak, mungkin kau salah pilih pasangan. Begitu kata Pidibaiq suatu ketika.
Namun di Indonesia, tidak sedikit orang yang mengalami kendala ketika ingin menikah. Baik kendala soal agama dan budaya yang berbeda maupun kendala karena punya kelamin yang sama. Juga masalah karena tak punya cukup biaya untuk menjalankan ritual adat yang menyertainya.
Masalah lain yang kerap muncul kepada pasangan yang akan menikah adalah restu orang tua. Ketika dua insan sudah mantap lahir dan batin untuk meniti tangga pernikahan, persetujuan orang tua adalah kunci terakhirnya. Perkara ini dalam kasus yang berat bahkan bisa berakhir dengan bunuh diri.
Dalam kehidupan bernegara, pernikahan mungkin sama halnya dengan pemilihan kepala daerah. Jikapun tak sama, kau iyakan saja sudah. Sebab ketika pilkada, rakyat menentukan pilihan kepada siapa nasibnya akan disandarkan selama lima tahun kedepan. Sama dengan saat kau harus mengambil keputusan memilih siapa teman hidupmu nanti.
Di Aceh, salah satu masalah yang hari ini mencuat adalah restu orang tua (baca: pusat) untuk kita bisa melaksanakan pernikahan. Alasannya, Pusat telah punya rencana sendiri kapan pernikahan itu akan dihelat. Dan itu akan terlaksana pada tahun dua ribu dua puluh empat. Sedang hasrat melawan kehendak pusat untuk melaksanakan 'pernikahan' dengan biaya sendiri, kita tak punya anggarannya.
Jika dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin masalah ini akan berujung kepada hal-hal yang tidak kita inginkan. Para mantan kombatan sudah pernah memberikan pendapatnya soal ini. Ajakan untuk "perang lagi" muncul ketika elit politik merasa ini adalah pengkhianatan atas kesepakatan bersama yang tertuang dalam UUPA. Bagi mereka, ini adalah penghinaan terhadap marwah bangsa. Dan penghinaan ini telah merendahkan martabat kita yang telah bersedia untuk menghentikan perjuangan bersenjata.
Bukan hal yang mustahil konflik bisa terjadi lagi. Sebab kita tidak boleh lupa, ada generasi tueng bila yang bisa dengan mudah disusupi dan diprovokasi oleh mereka yang berkepentingan - namun hidupnya sudah terlalu nyaman jika harus naik gunung lagi. Mereka, generasi tueng bila ini mudah saja digerakkan untuk membalas kematian orangtuanya dalam perang silam.
Bagiku, ajakan perang itu serupa ancaman kawin lari bagi pasangan muda yang tak kunjung mendapat restu orang tua.
Mari kita ibaratkan elit politik sebagai calon mempelai pria dan rakyat adalah calon mempelai wanita. Dimana dalam praktik, idealnyan wanita dapat menentukan pinangan dari lelaki mana yang akan diterimanya.
Buat kau yang tidak tahu, kawin lari maksudnya bukan berhubungan badan sambil berlari. Itu merupakan tindakan melarikan wanita tanpa izin orang tua yang bertujuan untuk menikah dan hidup bersama. Tentu hal ini butuh kesepakatan dari kedua calon mempelai agar bisa tercapai.
Masalahnya, bagaimana jika calon mempelai wanita ternyata sudah muak dengan sikap dan prilaku calon teman hidupnya? Bagaimana jika si wanita masih menyimpan cinta namun sudah tak kuasa melihat segenap kepesongan calon suaminya?
Tak bisa dipungkiri, jika begitu adanya niat untuk kawin - bahkan kawin lari sekalipun - sulit rasanya untuk terwujud. Apalagi, janji manis soal kesejahteraan di masa hadapan kalau dirasa-rasa jauh panggang daripada api. Bagaimana ceritanya kita hidup sejahtera sedangkan para elit hanya peduli soal berebut kuasa? Hampir 3 periode sudah kita hidup dalam damai dengan limpahan dana otonomi dari 'orang tua' tapi faktanya keluarga kita termiskin di dusun sumatera.
Jika sudah begini, akankah si mempelai wanita terpaksa patuh pada keinginan orang tua? termasuk jika nantinya akan dijodohkan dengan lelaki pilihan mereka? Kita tunggu saja.
Kalau mau bebas menikah, mandiri dulu... Nggak banyak urusan dgn keluarga Dan baek-baek sama penghulu
hehe... masalahnya subsidi dari orang tua rasanya enak sekali.
belah tengah kawantu wak??