Sayembara Menulis Cerpen KSI: Demi Selembar Baju Lebaran

in Indonesia3 years ago (edited)

Screenshot_20210511-040557~2.jpg

BARDAN berdiri di seberang jalan menatap toko baju yang sedang dikeroyok pembeli. Lebaran hanya tersisa satu hari lagi, pikiran lelaki itu kalut, ia tidak punya uang sepeser pun, belum lagi membeli baju baru untuk anaknya, padahal lebaran sudah di depan mata. Bardan hanyanlah seorang pemulung yang tinggal di sudut kota, tinggal di rumah kecil dan kumuh dengan penghasilan serba kekurangan.

Bardan bingung harus mendapatkan uang di mana untuk beli baju baru putrinya, Aini. Sedangkan saat ini pendapatannya tidak pernah berubah, berkerja menjadi pemulung itu lebih mirip penganggur ketimbang per kerja. Bardan berdiri kebingungan di pinggir jalan, mulutnya terasa kering, jakungnya yang menonjol naik-turun tak karuan. Suara klakson mobil membuatnya terperanjat dengan terburu-buru lelaki itu minggir ke sisi jalan. Lelaki kurus, berkulit gelap itu menengadah ke langit, dipicingkan matanya karena tak tahan panasnya matahari siang.

Cahaya matahari makin terik saja rasanya, orang-orang kian berjubel memenuhi pasar, ada yang menggunakan mobil, sepeda motor atau berjalan kaki. Bardan melangkah gontai menyusuri jalan pasar yang sibuk. Pikirannya telah dipenuhi beribu masalah. Sebelum berangkat, pada istrinya Bardan berkata, ia akan keluar mencari uang. Meskipun sebenarnya Bardan tidak tahu harus mencari uang di mana, apalagi di tengah ekonomi sulit begini. Istrinya pun tidak terlalu berharap apa yang dikatakan Bardan, kalimat itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Hampir bisa dipastikan Bardan bakal pulang dengan raut memelas dan putus asa.

Bardan terus menyeret langkahnya ke mana hati membawanya. Sampai dia tiba di mulut gang kecil, gang yang agak sempit dan sepi. Bardan melambatkan langkahnya, di depannya seorang perempuan tua berjalan lambat. Perempuan itu bejalan sedikit bungkuk tertatih-tatih, persis seperti langkah orang malas yang bosan pada kehidupan. Nenek itu berjalan pelan bukan karena putus asa melainkan karena usianya yang sudah renta. Perempuan tua berkulit putih itu terlihat memakai gelang emas, gelang itu saling bergesekan ketika dia mengayunkan lengannya, sepertinya nenek itu baru pulang berbelanja, tampak dia menyampir tas kecil warna merah di bahu kiri, dan menjinjing belanjaan dengan tangan kanannya.

Tiba-tiba saja niat kotor melintas di benak Bardan. Bardan manyapu pandangan ke sekelilingnya. Sepertinya, Tuhan memang telah mengantar rezeki untuknya hari ini, rezeki yang tiba di depan mata, akan mubazir bila disia-siakan, pikir Bardan. Seketika itu, sebuah senyum picik mengembangkan di mulut Bardan yang kering. Dia membayangkan putrinya yang berdiri menunggunya di depan pintu, melihat ayahnya pulang menenteng segudang belanjaan.

Hari ini, istrinya pasti akan berhenti merepet, dan bakal memujinya habis-habisan jika berhasil membawa pulang uang banyak, baju baru, dan makanan enak untuk berbuka. Bardan menajamkan langkahnya mendekati perempuan tua itu. Sampai Bardan sudah sangat dekat dengan calon korbannya itu, hanya tinggal menarik tas atau memukul kepala wanita itu, atau menendang pantatnya saja perempuan tua itu pasti terjungkal. Sedang perempuan itu berjalan dengan santai tanpa sedikitpun menyangka maut sedang mengintainya.

Sejurus kemudian, sebelum Bardan melaksanakan niat busuknya, tiba-tiba dia seolah melihat wajah polos putrinya yang masih berumur tujuh tahun, menatapnya dengan tatapan pilu. Bardan menghentikan langkahnya, kakinya seperti terkunci, dia bahkan tidak mampu melayangkan satu langkah pun, kecuali hanya memandang perempuan tua itu terus berjalan meninggalkanya dengan tenang. Tidak tega rasanya membawa pulang baju dan makanan untuk putrinya dari uang haram hasil rampokan. Di ujung gang itu lelaki itu tersungkur dan menangis tersedu-sedu.

Setelah puas menangis Bardan bangkit dari duduknya, menyapu air mata dengan ujung baju lalu melangkah ke arah semula, keluar dari gang. Bardan berdiri sejenak di sisi jalan, tampak kebingungan harus melangkah ke mana, matanya terlihat sebap. Tidak lama kemudian, Bardan mendengar teriakan keriuhan dari jauh.

"Jambret..Tangkap.. Kejar!"

Bardan sangat terkejut oleh teriakan itu, seketika wajahnya berubah pucat. Dari belakang dia melihat seorang lelaki sedang dikejar banyak orang. Lelaki berpakaian lesuh itu berlari sekuat tenaga, mata lelaki itu melotot, seraya mencengkram sebuah tas, ia berlari sekuat tenaga menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang.

"Tahan Jambret itu, Pak!" teriak salah seorang warga kepada Bardan. Bardan hanya melongo.

Tapi apa lacur, jambret nahas itu terjatuh dan langsung menjadi bulan-bulanan masa. Bagaikan kambing yang diterkam kawanan serigala, maling itu langsung jadi amukan. Bardan hanya menatap tragedi itu di depan matanya, tanpa bisa berbuat banyak. Orang-orang yang marah itu memukul, menendang, mengeroyok maling tak berdaya itu tanpa ampun. Tubuh Bardan bergetar ketika melihat jambret malang itu berlumur darah, dia merinding ketika membayangkan jika saja maling itu adalah dirinya.

"Ampun., ampun!" teriak jambret itu.

"Bunuh, bakar, musnahkan!" terdengar teriakan orang-orang.

Karena tak tahan Bardan melompat ke tengah kerumunan dan berteriak,

"Cukup!"

"Tapi, dia itu maling," ucap salah satu warga yang tidak terima.

"Kita harus memberi dia pelajaran biar tidak terbiasa," sahut yang lain.

"Lihat, dia sudah tidak berdaya lagi, tidak ada yang boleh memukul lagi," ujar Bardan seraya memeluk tubuh jambret itu yang terkulai lemah. Pelipis copet itu sobek, mengeluarkan darah segar.

"Apa ada di antara kalian, yang membawa minum?" tanya Bardan ke khalayak ramai.

Orang-orang tidak menjawab, mereka hanya menatap was-was kepada copet yang sekarat itu. Dan siap-siap memukul kembali jika berani berkutik, laksana ular kecil yang sedang sekarat oleh keroyokan anak-anak. Entah berapa pukulan dan tendangan sudah mendarat ke wajahnya. Orang-orang mulai merenggang dan tidak terlalu buas ketika menyadari korban mereka yang sudah lunglai bak sayuran busuk di pasar.

Beberapa kali lelaki malang itu terbatuk dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya sedang wajahnya sudah membengkak.

Warga yang berada di pasar semakin banyak berdatangan, semua ingin melihat copet nahas itu. Beberapa orang yang berdiri di belakang berusaha berjingkrak karena penasaran ingin tahu apa yang terjadi.

"Ada yang membawa minuman?" teriak Bardan kembali seraya memangku copet itu dalam pangkuannya.

Dari kerumunan salah seorang warga menyodorkan sebotol minuman mineral yang masih bersegel plastik. Bardan lekas-lekas membuka tutup botol seraya berucap pada copet yang sekarat itu,

"Kamu minum dulu."

"Tidak. Aku sedang berpuasa," jawab copet itu angkuh.

"Lalu kenapa kamu mencopet jika kamu sedang berpuasa?" bentak Bardan kesal.

"Besok-besok jika ingin mencopet lagi tidak usah sok berpuasa, biar larimu lebih kencang!" sambung Bardan.

Dua orang polisi tiba di tempat kejadian, dengan cekatan polisi itu mengambil alih maling dari tangan Bardan, memborgolnya serta menyeretnya ke kantor polisi. Bardan dan warga yang berada di situ hanya memandang tanpa mampu berbuat apa-apa. Bardan merasa aneh, mengapa mereka yang sudah susah-payah menangkap copet tadi tapi dua orang itu yang berlagak pahlawan.

Orang-orang yang semula berkerumun, menikmati tontonan gratis itu, satu persatu beranjak meninggalkan tempat itu. Yang tersisa hanya Bardan yang masih berdiri bingung di tengah jalan dengan baju yang masih berlumur darah.

Matahari sore mulai redup, tidak lagi garang seperti tadi siang. Hanya jalanan pasar yang belum berubah, semakin ramai dan sembraut. Setiap orang sibuk dengan keperluan masing-masing. Bardan menatap jenak ke langit, terlihat semburat awan merah membentuk warna yang indah. Selanjutnya, sebelum meninggalkan tempat itu, Bardan kembali menatap ke toko baju di seberang jalan. Di situ dia melihat beberapa anak kecil melompat kegirangan saat ayahnya memperlihatkan selembar baju baru padanya. Bardan hanya menatap toko baju itu dengan pandangan kosong, seraya menunduk, lelaki kurus itu pergi meninggalkan pasar.

Malam mulai turun perlahan, Bardan pulang dengan tangan kosong menuju rumahnya. Dari jauh takbir lebaran mulai terdengar berkumandang, bersahut-sahutan.[]

Penulis: Nasrullah Thaleb
(@nasrol)

Sort:  

Hidup sungguh tak mudah, tapi manusia tak boleh menyerah.

Good job bung @nasrol... 👍👍

Semestinya memang begitu.
Makasi kak @cicisaja

Coin Marketplace

STEEM 0.27
TRX 0.12
JST 0.032
BTC 67184.38
ETH 3107.00
USDT 1.00
SBD 3.67