Kisah Sepotong Es Potong

in Indonesia3 years ago

Tadi siang saya ngobrol singkat dengan tukang jualan es potong. Ini seharusnya "rutinitas" anak saya paling kecil. Tapi tadi dia entah sedang apa, sehingga saya yang "bersemangat" untuk beli. Es potong itu dijual seharga sekali parkir sepeda motor di Alfamart atau Indomaret, yakni Rp. 2.000.

es potong.jpg

Foto repro: Idntimes

Tak hanya anak kecil, kadang "anak besar" seperti saya suka nitip beli pada anak kecil. Ini semacam merayakan masa kanak-kanak. Saya ingat dulu di kampung, tukang es potong suka lewar depan rumah saya, di jalan kabupaten yang menghubungkan Trienggadeng dengan Meureudu, #PidieJaya, #Aceh.

Kala itu, jalan tersebut belum beraspal, masih tanah yang disiram pasir. Di sisinya, teronggok rel kereta api, yang ketika masa jayanya sering kami jadikan untuk melindas paku sebagai material mata gasing. Tapi pada suatu masa, kereta api mati, namun rel hingga beberapa tahun lalu belum dicabut.

Nah, tukang es potong itu -- saya duga -- memulai perjalannya dari Meureudu (kini jadi ibu kota Kabupaten Pidie Jaya), sekitar 6-7 kilometer dari rumah saya atau 7-8 km dari kota kecamatan Trienggadeng. Ia tidak masuk pelosok kampung, hanya menyusuri jalan besar dan "ngetem" di kota kecamatan.

Saya tak sempat tanya, berapa kilometer perjalanan berkeling abang penjual es potong yang tiap hari melintas di gang kami itu. Yang pasti, rumahnya berjarak sekitar 5 kilomter dari rumah kami. "Saya tinggal di arah ke Pamulang 2," katanya.

Ia berangkat pukul sembilan atau sepuluh pagi dan pulang sekitar puku lima sore. Tak beda jauh dengan jam kerja pegawai kantoran. "Sehari rara-rata sekitar Rp 250 ribu," ujarnya ketika saya tanya berapa nilai penjualannya.

"Ini punya sendiri atau juragan mas?"
"Punya sendiri."
Artinya semua penjualan masuk ke kantongnya sendiri, bukan disetorkan kepada juragan. Beda dengan beberapa penjual makanan keliling, yang harus setoran ke juragan. Mereka harus setoran sejumlah tertentu ke juragan, berapa pun penjualannya.

Saya pernah ngobrol dengan seorang pejual bakso malang yang juragannya punya sampai 30 anak buah dan masing-masing harus setoran Rp 100 ribu sehari. Jadi tiap hari sang juragan, mungkin sambil sarungan, mendapat pendapatan bersih Rp 3 juta sehari.

Saya pun sebetulnya pernah pula punya pendapatan segitu dari jualan cilok -- bedanya tak punya anak buah dan hanya bermodalkan komputer dan/atau telepon genggam serta jaringan internet. Tapi pendapatan dari cilok tidak stabil, tergantung pasar. Bahkan ketika pasar lagi "merah menyala" justru aset jadi minus.

Kembali ke tukang es potong tadi, dengan penjualan Rp 250 ribu sehari, artinya ia mengantongi sekitar Rp 7,5 juta sebulan. Taruhlah tiap hari ia mengeluarkan biaya produksi sekitar Rp 100 ribu, maka sebulan Rp 3 juta. Jika penjualan dikurangi biaya produksi maka pendapatan bersihnya sekitar Rp 4,5 juta sebulan.

Angka itu memang kecil, tapi itu di atas UMR DKI Jakarta yakni Rp 4,4 juta. Saya membayangkan jika isterinya juga juaan es potong depan rumah, tentu jumlah pendapatan dia akan makin mencukupkan kebutuhannya. Apalagi jika ia kepikiran untuk mencari anak buah menjual es potong hasil bikinannya.

Ini memperlihatkan bahwa sektor informal, yang terkesan kecil dan biasa saja, bisa menghidupi banyak orang. NIlainya akan berlipat-lipat jika mereka diakumulasikan. Satu lagi terpenting: pintu-pintu rezeki selalu terbuka bagi mereka yang berusaha.

MI 240621

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.16
JST 0.032
BTC 59615.63
ETH 2524.32
USDT 1.00
SBD 2.44