Ramadan Bercerita: #1 Di Rumah Saja, Menghabiskan Waktu dengan Membaca dan Menyunting

in Indonesia3 years ago (edited)

Ramadan Bercerita.jpeg

Alhamdulillah, puasa hari pertama sudah berlalu. Di hari pertama Ramadan ini seluruh aktivitas saya hanya di rumah. Selain karena tidak ada agenda yang mengharuskan saya untuk ke luar rumah, cuaca juga tampaknya menginginkan saya untuk tetap di rumah saja. Setengah hari pagi cuaca sangat cerah, matahari tampak garang dan menyilaukan. Namun, setelah siang menjadi kebalikannya. Hujan mengguyur bumi dengan deras hingga sepanjang sore. Rahmat Allah di hari pertama puasa.

Saya menghabiskan hari pertama ini dengan aktivitas rutin seperti biasa: menyunting berita, membaca buku, dan menyunting naskah memoar kisah para perempuan yang berhadapan dengan hukum. Saat ini mereka terpaksa menjalani hukuman fisik sebagai konsekuensi atas perbuatan melanggar hukum yang telah mereka lakukan. Kapan-kapan saya akan menceritakan lebih banyak tentang kisah-kisah mereka, sekarang belum bisa bercerita banyak karena baru naskah yang selesai saya sunting. :-)

Adapun buku yang sedang saya baca ialah The Unknown Errors of Our Lives atau Kesalahan-Kesalahan yang Tidak Diketahui dalam Hidup Kita karya penulis India Chitra Banerjee Divakaruni. Ini pertama kalinya saya membaca karya Banerjee. Buku ini berisikan sembilan cerita pendek (yang tak benar-benar pendek) dengan judul-judul di antaranya Nyonya Dutta Menulis Surat; Cinta Seorang Pria Baik; Masa Kaktus Berbunga; dan Apa yang Diketahui Tubuh.

Buku ini adalah hadiah dari salah satu teman baik saya. Fardelin Hacky namanya. Dia seorang steemian dan juga dosen di salah satu perguruan tinggi di Banda Aceh. Saya baru membaca lima judul pertama di dalam buku ini dan saya menjadi terpikat karenanya. Selain karena terjemahannya yang enak dibaca, cerita-cerita di dalam buku ini seolah menggambarkan realitas yang sebenarnya di dalam kehidupan kita di Aceh. Dalam hal budaya dan kebiasaan, sepertinya ada kemiripan antara masyarakat India dengan di Aceh.

Orang-orang dengan karakter yang sama seperti saya, senang sekali membaca buku secara berurutan. Itulah sebabnya saya membaca cerpen-cerpen di buku ini berdasarkan urutan judulnya. Nyonya Dutta Menulis Surat adalah cerita pembuka yang sangat apik. Bercerita tentang seorang lansia India yang terpaksa pindah ke Amerika untuk menyusul anak semata wayangnya. Setelah suaminya meninggal dunia, hidup sebatang kara--meskipun dengan rumah yang nyaman--di India tentunya sangat riskan. Bagaimana kalau Ny Dutta sakit? Bagaimana kalau dia kengen anaknya? Bagaimana kalau dia kangen cucunya? Bagaimana-bagaimana yang lain membuat Ny Dutta akhirnya bersedia menuruti keinginan anaknya yang ingin agar Ny Dutta tinggal bersama mereka di Amerika.

Ihan Eky Divakaruni.jpeg
Saya bersama Aini (kiri) dan Eky (tengah) dengan buku tersebut saat perjumpaan terakhir menjelang Ramadan pada Sabtu lalu

Namun, laiknya seorang lansia yang sudah terbiasa hidup di tengah-tengah suasana India yang kental, tinggal di Amerika membuatnya merasa tersiksa. Selain karena dia tidak bisa mengobrol dengan sesama tetangga karena kehidupan di sana yang sangat individualistik, kehidupan di dalam rumah juga mengusik perasaannya sebagai orang tua. Sikap cucu dan menantu perempuannya yang acuh tak acuh, inisiatif-inisiatifnya yang sering kali malah memicu perdebatan antara menantu dan anaknya, merupakan drama yang menjadi kekuatan dalam cerpen ini. Setidaknya, inilah yang sering sekali kita lihat di sekeliling kita; kecanggungan para orang tua saat tinggal di rumah anaknya. Untuk menghibur hatinya, Ny Dutta menuliskan surat untuk teman-temannya di India. Namun, seperti apa isi suratnya, biarlah itu menjadi kejutan saat membaca buku ini.

Cerpen berjudul Apa yang Diketahui Tubuh juga menarik. Ini bercerita tentang seorang pasien yang nyaris habis keinginannya untuk hidup lalu muncul kembali percikan-percikan semangat hidupnya setelah dia merasakan getar geletar perasaan yang hangat pada dokter Amerika yang mengoperasinya. Cerpen ini diwarnai dengan, mungkin kondisi semacam baby blues pasien tersebut yang sempat menolak bayi yang telah dilahirkannya. Dia hanya terfokus pada dirinya sendiri. Namun, berkat kontaknya dengan sang dokter dia merasa seperti punya alasan lain untuk kembali sehat. Perasaan itu memaksnya untuk tidak begitu terlihat pucat saat di rumah sakit; dia memulas bibirnya dengan lipstik, menyisir rambutnya, dan sekali waktu perasaan itu mendorongnya untuk menyentuh wajah sang dokter.

Ahay, apakah teman-teman pernah merasakan hal-hal semacam itu? Dokter-dokter atau tenaga medis yang perhatian pada pasiennya memang didambakan, tetapi perhatiannya itu hendaknya tidak dimaknai berlebih. Walau bagaimanapun, dukungan moril tetap diperlukan antara dokter dengan pasiennya untuk memaksimalkan ikhtiar penyembuhan. Jika ini diabaikan, saya khawatir nanti malah akan terjadi seperti yang dialami Aparna--tokoh kita di dalam cerpen ini. Di ujung cerita, si tokoh yang sudah kembali sehat bertemu kembali dengan sang dokter di sebuah swalayan. Sang dokter, yang tampaknya juga memili perasaan yang sama menawarkan Aparna untuk berlibur ke luar negeri. Dokter itu menawarkan nomor ponselnya agar sewaktu-waktu Aparna bisa menghubunginya. Namun, Aparna tampaknya mengambil keputusan yang terbaik untuknya.

Secara utuh tentang buku ini barangkali akan saya ceritakan lebih lengkap setelah saya membaca semua isinya. Tetapi sejauh ini, cerita-ceritanya menarik dan membuat saya ingin menuntaskan segera. Itulah aktivitas saya di hari pertama ini, selain, tentu saja, ditambah dengan rutinitas yang lain seperti memasak. Kalau kamu, apa ceritamu?

Sayur.jpeg
Olahan sayur untuk menu berbuka puasa. Rasanya mirip kuah bakso, jadi terasa segar dengan sayuran kentang, wortel, dan sawi.

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 59236.61
ETH 2600.94
USDT 1.00
SBD 2.42