Tentang Sahur Yang Tinggal 2 Edisi Lagi

in Indonesia3 years ago

IMG_20210505_010014.jpg

SATU MOMEN yang tak pernah alpa kulakukan selama bulan Ramadhan ini adalah makan sahur. Ini ritual wajib bagi tubuhku. Setidaknya dengan makan sahur aku yakin puasaku siang harinya akan benar-benar sempurna. Tanpa cacat, tanpa cela, tanpa merasa cekung perut tengah hari, yang tentu saja tak perlu cemilan apa pun untuk mengembungkannya.

Karenanya urusan makan selama bulan Ramadhan, bagiku, waktu sahur lebih sakral ketimbang waktu berbuka. Berbuka boleh ala kadarnya saja. Asal ada barang tiga, empat potong juadah, entah itu boh rom-rom, timphan, bakwan atau yang lainnya, tambah minuman dingin segelas, lalu kopi, lalu sebatang rokok, beres urusan. Takat nasi bisa belakangan, atau kerap juga tidak sama sekali hingga sahur tiba.

Begitulah. Saking sakralnya sahur pada bulan penuh rahmat yang lajunya terasa gegas betul, tiap malam aku begadang. Ini tidak lain demi memastikan ritual sahur tidak ditelikung oleh suara Ketua DPRA, Bupati Aceh Besar dan Direktur Bank Aceh Syariah yang tiap hari melantangkan suara memakai toa masjid akan sudah masuknya waktu imsak.

IMG_20210505_005951.jpg

IMG_20210505_005903.jpg

Syukur alhamdulillah, istri tercinta punya pemahaman sama denganku. Sahur itu sakral. Dan ia dengan antusias bangun lebih awal satu jam dari teriakan penanda imsak tiga pejabat itu, demi menyiapkan rupa-rupa masakan untuk bisa kami santap bersama. Nasi, lauk dan sayur adalah menu wajib. Namun, betapa pun wajibnya ia, menu-menu yang disuguhkan istri adalah yang sederhana saja. Menu-menu yang ketika kau lihat penampakannya, apalagi ketika kau santap, akan membuatmu terkenang pada segala suasana kampung halaman.

Seperti sahur tadi misalnya. Istriku menghidangkan sayur gambas, pepes dencis, dan kareng lado di meja makan. Air putih. Segelas kopi. Ini menu yang membuatku lahap-selahapnya. Aku menyantapnya layaknya ketika mengisi perut tengah hari.

Kau tahu, salah satu cara membahagiakan istri adalah menyantap hingga tumpas masakannya. Tak perlu komentar; ini enak, itu lezat, itu juga nikmat. Sawiet saja semua yang ada. Habis perkara.

Dan, sebagaimana sahur-sahur sebelumnya, aku menunaikan cara membahagiakan istri ini dengan antusiasnya. Ia bahagia. Setidaknya ia langsung merancang daftar menu untuk sahur esok hari, tepat ketika melihat aku tengah menjilat sisa keulimeh asam pepes dencis yang kusawiet dari bungkus daun pisang.

IMG_20210505_005830.jpg

Segala rancangan menu istri kuiyakan sambil menyeruput kopi. Lantas kutanya padanya, "Kira-kira para pejabat yang berani mangkas anggaran rumah dhuafa, tapi dengan ikhlasnya kasih anggaran buat polisi, jaksa, teuntra bikin lapangan tenis, lapangan tembak, dan lain sebagainya itu, menu sahur hari-hari mereka apa ya?" "Kamu yakin para pejabat itu rutin sahur?" Istriku tanya balik sambil menyeringai.

Aku sedikit terkejut dengan respon istri. Tak kusangka ia bisa bersyak-wasangka begitu rupa, satu hal yang sangat-sangat jarang kutemui dalam kesehariannya. "Siapa pun yang masih punya hati nurani, pasti emosi lihat kebijakan pemerintah seperti yang kamu bagikan di medsos itu. Apa pentingnya uang jatah Aceh dikasih ke lembaga yang sudah dijamin ditanggung pemerintah pusat, coba?Mana anggaran rumah dhuafa kena pangkas lagi. Bikin emosi," kata istri menambahkan.

Aku manggut-manggut. Tak lama, suara Dahlan membahana dari corong toa meunasah. "Nah itu, pimpinan para tukang ketok palu pengesahan anggaran udah keluar bunyi. Imsak sudah. Malam besok kita lanjut ghibah," kataku. Istri mengangguk setuju. Ia tuangkan air putih dalan gelasku. Kami minum barengan. Sahur tahun ini tinggal dua kali lagi.

IMG_20210505_005708.jpg

Sort:  

Ngeri kali ""ghibah" kelen ... Membuyarkan bayanganku tentang romantisnya sahur kalian 🤦

Keadaan nanggroe ihwal segala kengerian itu, kak. Saleum uroe raya. Lahee baten peu meu'ah desya.

Hawa Kareng sambai...

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 61956.82
ETH 2417.96
USDT 1.00
SBD 2.62