Bidak Catur di Pagar Surau [Sebuah Cerpen]

in Indonesia4 years ago

chess-316658_1280.jpg


Setelah shalat magrib, Fadli sudah menunggu tepat di depan pintu meunasah. Tempat dimana bidak catur digantung kemarin sore di setiap tiang pagar. Batalion Siliwangi murka dengan pemblokiran jalan Sigli-Garot yang dilakukan oleh GAM. Mereka menyisir setiap kampung untuk mencari jika ada anggota GAM yang bersembunyi. Sebuah alasan yang sudah sangat dipahami oleh masyarakat sebagai bagian dari penjarahan binatang ternak atau bahkan emas simpanan warga, tetapi tidak seorangpun berani melawan.

"Ada bawa KTP?" tanya Fadli setengah bercanda, sesaat sesudah saya memberhentikan sepeda di pintu meunasah. "Mana ada KTP, saya masih SMA" jawabku. "Jangan main-main, kita akan pulang besok pagi. Bola baru akan habis pukul 5 pagi" Lanjut Fadli. Malam ini adalah malam yang kami tunggu-tunggu, Inter Milan akan berhadapan dengan AC Milan di final Liga Champion. Sebuah pertandigan yang ditunggu-tunggu oleh semua penggila bola diseantero dunia. Kami harus sudah berada di warung kopi sebelum pukul 21.00 WIB, karena setelah itu batalion Siliwangi akan berkeliaran di jalan dan mereka akan menembak siapa saja yang lewat. Setelah shalat isya selesai, warga biasanya sudah berada di rumah.

Salah satu warung kopi yang buka adalah warung milik Apacut Bakri. Warung itu adalah teras rumahnya yang bisa ditutup layaknya kedai. Pukul 20.00 WIB biasanya Apacut Bakri sudah menutup warungnya, jadi yang datang setelah itu tidak akan bisa masuk lagi. Pertandingan baru akan dimulai pukul 03.00 dini hari. Kami tidur di warung itu, di atas tikar yang disediakan oleh Kak Nurma, istri Apacut Bakri. Seperti pada beberapa pertandingan sebelumnya, televisi akan dihidupkan tanpa suara dan lampu dimatikan. Penonton dilarang untuk merayakan setiap gol dengan berteriak atau sekedar mengatakan yes sambil mengepalkan tangan. Semuanya harus diam, karena jika tiba-tiba batalion Siliwangi kebetulan lewat, akan jadi masalah besar. Semuanya bisa diangkut ke dalam truk-truk mereka dan entah kemana akan dibawa. Seperti biasa, alasan yang dituduhkan adalah rapat rahasia GAM.

Saya dan Fadli sudah bersepakat untuk bilang ke ibu bahwa kami akan menginap di Dayah. Walaupun khawatir, biasanya ibu akan mengizinkan kami untuk menginap di sana. Ini satu-satunya cara agar kami tetap bisa menyaksikan final liga Champion. Kami sudah mendiskusikan resiko jika saja pasukan Siliwangi murka dan mengetuk pintu warung Apacut Bakri dan kami ikut dibawa ke dalam truk. Biasanya anak-anak tidak akan ditembak atau dipukul, paling cuma diinjak jempol kaki sambil ditanyai "Dimana GAM?" Fadli meniru cara pasukan batalion Siliwangi. Fadli lebih tua dariku, dia pernah diangkut ke dalam truk oleh batalion Siliwangi saat menonton bola. Kepalanya ditutup pakai karung dan jempol kakinya diinjak sepanjang perjalanan dengan truk. Saat itu dia tidak bisa menangis karena moncong M-16 ditelankan ke dalam mulutnya. Setiap 10 menit sekali tentara itu pasti bertanya, "Dimana GAM?". Dia dengan bagus meniru intonasinya. Saya sedikit tenang setelah mendengar cerita Fadli tersebut. "Asal tidak mati, tidak apa-apa" pikirku saat itu.


Setelah menonton final liga Champion itu, Fadli sudah seminggu tidak tampak di meunasah. Biasanya dia menghabiskan sebatang rokok sebelum dan setelah shalat magrib di gerbang masuk meunasah. Tapi tempat biasanya dia duduk, kosong. Kabarnya malam setelah menonton Liga Champion itu dia berangkat ke Medan dengan Bang Li Makundo. Seharusnya dia sudah berangkat bersama Bang Jun dengan bus PMTOH dua malam sebelum final Liga Champion itu. Bang Li Makundo adalah supir bus Kurnia lintas Banda Aceh - Medan. Menjadi supir bus adalah pilihan pekerjaan banyak suami-suami di kampung kami. Supir bus tidak dicurigai sebagai GAM, walaupun di lintas jalan Banda Aceh - Medan mereka kerap ditendang pakai sepatu PDL dengan tuduhan menyembunyikan GAM dalam bus.

Fadli sudah tamat SMA satu tahun yang lalu. Ibunya memutuskan untuk menyelamatkannya ke luar Aceh agar ia punya masa depan, dari pada tetap di kampung menunggu giliran ajal tiba. Bagi anak yang sudah tamat Sekolah Menengah Atas, tidak ada jaminan baginya untuk bisa bertahan hidup di kampung kecuali punya pekerjaan yang jelas. Bukan karena tidak bisa bertahan hidup karena tidak punya mata pencaharian, pemuda yang tidak bekerja kerap dituduh sebagai GAM dan ditangkap. Tidak ada kejelasan setelah itu, juga tidak ada pengadilan maupun banding. Pilihan Ibu Fadli adalah yang paling masuk akal, keputusan yang selalu kubayangkan akan menimpaku suatu saat nanti, setelah tamat SMA.

Saat itu saya baru berada di kelas dua. Setahun itu kujalani hari dalam kesepian. Saya tidak pernah menonton bola lagi. Kehidupan hanya dimulai pukul 8.00 pagi dan berakhir pukul 06.00 sore, setelah itu hanya kehampaan. Tidak ada gunanya juga belajar dengan giat. "Mau jadi apa memangnya setelah lulus?" pikirku selalu.

Saya hanya membaca novel-novel yang disewa kakak di kamar karena ingin membunuh kesepian, dan menjaga pikiran tetap waras. Kehidupanku hanya di rumah, sekolah, dayah, dan meunasah untuk shalat magrib. Saya tidak tau apa yang terjadi di belahan dunia lain. Malam dipenuhi suara desingan peluru, sesekali bom yang berasal dari granat lempar atau pelontar GLM. Siang menunggu berita ada warga yang meninggal kena tembak, yang di berita televisi pasti diklaim sebagai GAM, atau jika sudah terlanjur dikonfirmasi sebagai warga biasa, ya kena peluru nyasar.

Bersambung


story - Copy.jpg

Sort:  

Bereh that....

hehe, mantong na sambungan bang

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 65676.04
ETH 2615.45
USDT 1.00
SBD 2.65