Moral dan Pragmatisme dalam Penderitaan
Pertanyaan tentang penderitaan—sebuah diksi yang sarat makna—muncul sebagai bahan diskusi yang tak pernah lekang jaman. Merasa tercolek dengan postingan @el-nailul yang mengajukan pertanyaan klasik "Mengapa kita memilih untuk menderita?", aku merasa terpanggil untuk menggurat tulisan ini. Pertanyaan yang bersangkutan biasa dianggap sebagai bualan retoris yang diabaikan, atau sekadar dijawab dengan penjelasan superfisial.
Postingan yang bersangkutan bisa dibaca di sini.
Sebelumnya aku mohon izin kepada empunya lapak Freewriters @freewritehouse dan @wakeupkitty. Dalam beberapa bulan ini aku aktif sebagai silent reader di sini dan, ya, kurasa ini sudah waktunya aku mengeluarkan unek-unek yang sudah bersarang di kepalaku.
Aku sebagai entitas yang terkadang lebih suka terjun ke dalam derita seolah menikmati setiap nuansa kesedihan yang ditawarkan oleh kehidupan. Mengapa? Padahal untuk mencari kesenangan, menolak penderitaan, merangkul kenikmatan itu jauh lebih mudah.
Aku punya argumen yang 360 derajat berkebalikan dengan itu semua. Bagiku, makna sejati hanya dapat ditemukan dalam penderitaan. Kesenangan bersifat sementara. Ia datang dan pergi sebagaimana angin berlalu. Hal inilah yang menunjukkan ketidaksetujuanku dengan inti dari filsafat hedonisme yang menyatakan bahwa mengecap kenikmatan peradaban ialah tujuan hidup manusia.
Kenikmatan adalah ilusi yang menyesatkan. Bagaimana bisa kita mengatakan sekumpulan reaksi neurotransmiter yang ada di otak sebagai suatu realitas. Meski aku tak sepenuhnya menolak semua aspek dari hedonisme. Dalam beberapa alirannya, seperti utilitarianisme, aku menemukan nilai yang dapat diterima. Utilitarianisme sebagai konsep utilitas yang dimanfaatkan untuk memaksimalkan kebahagiaan individu setidaknya menjadi kerangka yang lebih pragmatis untuk mencapai tujuan.
Merupakan sebuah kebetulan yang tidak disengaja ketika aku berdiskusi soal makna dan penderitaan dengan kawan-kawan tongkronganku. Sebuah pencerahan baru muncul terkait konsepsi ini. Ada sesuatu yang intrinsik dalam hubungan antara kebahagiaan dan tanggung jawab (yang tentu saja tak dapat diabaikan).
Immanuel Kant, dengan imperatif kategorisnya berpendapat bahwa moralitas adalah sesuatu yang absolut, bukan relatif. Bahwa sesuatu yang baik harus dilakukan bukan karena hasil yang diharapkan, melainkan karena tindakan itu sendiri adalah baik.
Imperatif kategoris (categorical imperative) Kant mendefinisikan kewajiban sebagai sesuatu yang harus dijalankan tanpa harus repot-repot memikirkan konsekuensinya. Kutemukan bahwa makna yang lebih dalam sering kali lahir dari penderitaan. Dihasilkan dari kesadaran akan tanggung jawab moral.
Kontras dengan Kant, Machiavelli punya pandangan berbeda. The end justify the means. Baginya nilai moral dari sebuah tindakan bukanlah sesuatu yang inheren dalam tindakan itu sendiri, melainkan terletak pada hasil akhirnya. Penderitaan dilihat sebagai sesuatu yang harus dilalui demi mencapai tujuan yang lebih besar. Konsep “The end justify the means” yang digaungkan Machiavelli sarat akan pragmatisme yang berlebihan, dan aku sendiri tidak terlalu menykainya.
Lalu, ada cinta—sebuah tema yang tak pernah habis dibahas dalam filsafat dan sastra. Di satu sisi, ia adalah sumber kebahagiaan yang tak terbatas, sementara di sisi lain, ia adalah akar dari penderitaan yang paling menghujam. Cinta adalah kewajiban moral yang harus dijalani, bahkan jika itu berarti menanggung penderitaan. Setidaknya demikianlah pemaknaanku terhadap imperatif kategoris-nya Kant dalam konteks cinta—perbantahan terbesar yang ada.
Aku cukup sejalan dengan gagasan @el-nailul bahwa penderitaan bukanlah sesuatu yang datang dengan mentah-mentah. Ia adalah konsekuensi dari keputusan yang dibuat serta serangkaian pilihan-pilihan yang kita ambil dalam hidup ini. Jangan dinafikan pula fakta bahwa esensi dari kemanusiaan kita adalah ini: kemampuan untuk menemukan makna dalam penderitaan serta mengonversikan rasa sakit menjadi pengalaman.
Tanpa penderitaan, mungkin kita akan kehilangan makna, kehilangan rasa tanggung jawab, kehilangan kemampuan untuk mencintai dengan sepenuh hati.
Maka biarlah ketika aku merenungkan pertanyaan @el-nailul—mengapa kita memilih untuk menderita?—jawaban yang muncul mungkin bukanlah jawaban yang sederhana atau jawaban yang bikin nyaman. Dalam penderitaan, aku menemukan diriku sendiri. Dalam penderitaan, aku menemukan cinta yang paling murni, cinta yang siap untuk mengambil risiko, cinta yang siap untuk hancur demi sesuatu yang lebih besar.
Congratulations, your post has been successfully curated by Team 7 via @𝐢𝐫𝐚𝐰𝐚𝐧𝐝𝐞𝐝𝐲
We encourage you to publish creative, educational and innovative content so that you have a chance to get valuable upvotes. Be the best to be nominated at the 7 best posts at the end of the week.
Membaca tulisan ini "tutup apotiknya", hehehe. Jiwa dan semangat mahasiswanya muncul serta cukup kental. Selebihnya tak bisa berimprovisasi lagi... salute
Terima kasih untuk feedbacknya, sir. Sebenarnya saya kurang suka pakai diksi-diksi “langit” selain karena terkesan sok intelek, ceruk pembacanya juga jadi berkurang. Biarlah anak saya di masa depan yang akan jadi penikmat tulisan-tulisan saya, mweheheh.
Oh ya, bagaimana dengan rencana mini meet-upnya, kalau memang belum bisa semuanya, mungkin beberapa saja dulu, sebelum sibuk dengan PON, mungkin bisa kita diskusikan segera.. dimana dan kapan, tinggal tentukan, lalu kami meluncur segera...
Terimakasih telah mentag saya dan membaca cerita saya
Saya tidak sekadar membaca cerita anda, tetapi sudah sampai di tahap kontemplasi dan tenggelam dalam renungan jiwa, hingga akhirnya sampai pada keputusan untuk menggurat tulisan ini dan menyatakan kesetujuan saya dengan pandangan anda soal penderitaan.
I read this before and did not come to answering. In this community we are free writers and there's no need to ask for permission.
Our aim is to help people write daily and preferable with a prompt for 10 minutes without a break.
Of course other topics and content are welcome, so are thoughts.
You could use the hashtag #comment for posts like these (it's a pitty to leave them as a comment).
I understand what you mean but after a long period of abusement I don't go for misery. Daily I feel relieved I left that time behind and escaped.
To me only a person with a dirty behaviour not able to behave "enjoys" the suffering like we see in Monks. But no matter how hard or long they fast, pray or what they pay their essence and behaviour doesn't change meaning they stay in the same circle. To me it's a crooked idea to make pleople believe that only by suffering forgiveness and the paradise can be achieved.
Thank you so much @wakeupkitty for taking the time to leave a comment on my post. It means a lot to me.
First of all, I am sorry for what you have experienced. My perspective comes from reading and reflection, nothing more. Most likely what I write is against the customs of people who have experienced it before—the pain. My views may change in 10 years or 30 years (if only I can still see the morning sun by then).
Okay, next time I will try to write in as short a time as possible without any breaks. It seems like an interesting challenge.
It was a pleasure interacting with you XOXO.
You can always see a 10 minute freewrite as a draft all knowledge is in your head