You are viewing a single comment's thread from:
RE: Mengabaikan
Fiksi sangat membantu kreativitas dan meningkatkan imajinasi siswa. Hanya masalahnya berapa banyak siswa yang baca buku fiksi di pustaka dan jam berkunjung ke pustaka sekolah juga terbatas karena diisi jam pembelajaran.
Sebenarnya pustaka sangat mungkin sebagai fasilitas belajar, hanya saja sekolah belum mengoptimalkan itu dan para guru juga belum mendorong hal tersebut.
Mungkin di sana letak perbedaannya, dalam sistem pendidikan barat (setidaknya apa yang bisa saya tangkap dari serial-serial yang saya tonton), membaca dan menyimpulkan fiksi (terpilih dan ditentukan oleh sekolah) masuk ke dalam kurikulum.
Saya tertarik dengan salah satu komentar @wakeupkitty.pal tadi, "Mungkinkah karena anak-anak yang bodoh berguna bagi masa depan? Orang-orang bodoh mudah dikendalikan." Saya sudah lama menyimpan kecurigaan semacam ini, bahwa -disengaja atau tidak- kebodohan memang dilestarikan secara sistematis justru melalui lembaga pendidikan, salah satunya dengan memberikan peserta didik begitu banyak beban yang sebenarnya justru tidak perlu, sehingga energi tersedot ke sana dan kreatifitas menjadi mati, dan mereka akhirnya hanya menjadi robot-robot yang seragam yang kalau disuruh bikin pertanyaan, ya tinggal contek pertanyaan di buku.
Saya tidak bilang bahwa hal tersebut dilakukan oleh pendidik semisalnya Pak Guru @fadthalib. Saya justru melihat Pak Guru @fadthalib memiliki semangat yang sangat berbeda. Saya melihat bahwa Pak Guru fadthalib menyadari ada masalah itu. Tapi tetap Pak Guru dan para guru lain yang memiliki idealisme serupa, juga -maaf- hanya lah instrumen di dalam sebuah sistem pendidikan yang sangat besar, di mana masalah sangat mungkin bermula dari mana saja. Dan saya juga menyimpan keyakinan mendalam, bahwa Pak Guru fadthalib akan melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk sedikit mengobati masalah ini. Doa saya Anda mendapat kekuatan dan ketetapan hati yang luar biasa.
Saya bahkan melihat keanehan dimulai dari kewajiban memakai baju yang sama, seakan setiap peserta didik harus menjadi pribadi-pribadi yang seragam, yang keseragamannya ditentukan oleh sistem pendidikan itu sendiri, mereka tidak boleh lagi menjadi diri mereka dan menunjukkannya. "Perbedaan adalah terlarang".
Beberapa tahun lalu saya pernah baca artikel, di Israel, peserta didik didorong untuk bisa menghasilkan duit dengan kreatifitasnya. Jadi dalam suatu periode pendidikan tertentu mereka harus membuat laporan tentang usaha mereka dan berapa yang berhasil mereka kumpulkan. Mereka bisa jadi pelukis dan menjual lukisan jika mereka belajar seni lukis, misalnya. Atau jika mereka mempelajari komputer mereka bisa menciptakan aplikasi komputer sederhana semisal Elon Musk yang sudah berhasil menjual game pertamanya dan menjadi kaya sejak masih bocah. Mereka bisa berkelompok. Ini bukan sekedar mendapatkan nilai baik dan uang, tetapi juga banyakj aspek: kemampuan berorganisasi, kemampuan melakukan perencanaan dan mengeksekusinya, kreatifitas berbisnis, merencanakan pengeluaran dan pendapatan, dan sebagainya. Bagaimana ini bisa dilakukan? Ya jika saja beban yang tidak perlu tadi dihapus sehingga mereka punya waktu untuk hal-hal semacam ini.
Contoh lain, saya pernah baca artikel juga, bahwa di Finlandia, sekolah cuma 3 jam dan tanpa PR, dan menjadi salah satu negara dengan mutu siswa terbaik. Artikel menarik: https://bangka.tribunnews.com/2017/06/15/di-negara-ini-waktu-belajar-hanya-3-jam-tak-ada-pr-dan-ujian-tapi-terbaik-di-dunia?page=all
Sebenarnya di SMK juga seperti itu konsepnya karena salah satu tujuan utamanya adalah wirausaha, bukan melanjutkan kuliah. Kesuksesan SMK itu dilihat dari serapan alumni di dunia kerja. Hanya saja pengelolaan SMK yang belum banyak inovasi. Pemerintah pusat sudah banyak memberikan bantuan peralatan yang harganya sampai ratusan juta.
Namun itu semua belum bisa membuat siswa SMK mempunyai penghasilan selama dia sekolah. Finlandia itu menjadi no. 1 dibidang pendidikan selain faktor beban tugas dan mata pelajaran yang sedikit juga karena rasio guru dan murid itu 1:12. Sehingga sang guru paham betul karakter dan kompetensi siswa nya.
Saya tidak percaya seorang guru dengan 8 atau 12 murid akan mengenal murid-muridnya dengan lebih baik. Saya pernah berada di kelas dengan 40 murid dan para guru mengenal semua murid dengan sangat baik. Kekacauan, kekacauan, dan kurangnya konsentrasi itu tidak ada. Fokusnya adalah pada pembelajaran, tetapi ada juga metode kreatif, permainan papan/mainan di sore hari, olahraga, berkemah bersama kelas, perjalanan sekolah, dan pelajaran di luar di alam atau di halaman sekolah jika cuacanya bagus. Kami memiliki 3 kali istirahat selama pelajaran/hari sekolah dan para guru termotivasi.
Sebagai contoh, guru sejarah adalah seorang pendongeng yang hebat dan juga menunjukkan benda-benda dari periode yang harus kami pelajari.
Guru agama tahu bahwa mempelajari segala sesuatu itu membosankan. Jadi, satu pelajaran adalah tes menulis dan pelajaran lainnya ia baca dari buku. Dia sangat pandai membaca.
Perpustakaan sekolah meminjamkan buku sehingga tidak perlu duduk di sana.
Untuk bahasa sendiri, 35 buku harus dibaca, dan untuk bahasa asing 25 buku. Semua literatur kecuali 2 pilihan bebas. Lima dibaca di kelas bersama guru. Kalau bahasa Belanda, 5 buku ini adalah bahasa Belanda kuno yang ditulis ratusan tahun yang lalu.
Semua guru bahasa mengizinkan kami membaca beberapa buku dan setelah selesai, kami menonton film dan mendiskusikan perbedaannya! Hal ini juga penting karena siswa yang malas yang merasa pintar dan menonton film alih-alih membaca buku, sekarang belajar bahwa hal itu tidak akan berhasil.
Dua anak bungsu saya harus mengenakan pakaian hitam dan putih di sekolah. Celana atau rok hitam dan blus putih serta jaket plus dasi untuk anak laki-laki. Pilihannya bebas jika menyangkut penampilan, asalkan hitam dan putih. Masih ada identitas dan tidak perlu khawatir tidak memakai pakaian terbaru atau terlalu miskin untuk membelinya. Menurut saya ini adalah ide yang bagus. Dulu dan sampai sekarang mereka hanya mengenakan pakaian hitam dan putih pada hari-hari resmi. Semua anak laki-laki mengenakan jas dan anak perempuan mengenakan gaun atau rok tanpa celana panjang.
Hanya pakaian senam di semua sekolah yang sama. Beberapa sekolah menjualnya, yang lain mengirim Anda ke toko yang mahal. Saya hanya mencoba untuk berpikir ke depan karena anak perempuan saya memakai legging panjang dan hanya dijual setahun sekali karena dianggap sebagai pakaian musim dingin.
Jika buku atau cerita tidak didiskusikan, maka tidak akan membantu untuk memahami apa yang dimaksud dengan sebuah teks. Hal yang sama juga berlaku untuk sebuah film. Saya masih berdiskusi dengan anak-anak saya tentang apa yang telah kami tonton. Bagaimana rasanya, apa yang kami pikirkan dan juga bagaimana film itu diarahkan. Bagian negatif, positif, baik, dan buruk serta alasannya. Jika guru dan orang tua tidak melakukan hal tersebut, bagaimana seorang anak bisa belajar mendengar, melihat dan merasakan, mengalami dan mendeskripsikannya?
Sebelum saya membalas komentar kamu, terima kasih sudah mendeskripsikan situasi dan kondisi pembelajaran yang IDEAL. Banyak hal yang saya akan sampaikan sebagai data pembanding, sehingga kita akan menemukan banyak keanehan dalam proses pembelajaran di negara berkembang. Sebentar lagi saya akan mengikuti TOT yang disponsori Bank Indonesia, setelah itu akan saya lanjutkan diskursus ini.
👍