Ranub Aceh

in zzan2 years ago (edited)

Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai keanekaragaman budaya. Seperti tarian, kuliner, destinasi wisata, adat budaya, dan hukum yang berlaku di daerah tersebut. Pasca terjadinya konflik GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan bencana tsunami tahun 2004 silam, Aceh menjadi salah satu provinsi yang memiliki sejarah panjang dan cerita yang pelik untuk dikenang. Namun dengan kegigihan masyarakatnya, Aceh saat ini berkembang pesat menjadi provinsi yang dikenal nusantara.

Selain itu, provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang memiliki otonomi khusus untuk melaksanakan peraturan daerah berbasis syariat Islam. Tatanan sosial dan adat budaya di Aceh menjadikan masyarakat Aceh menjadi gigih, kuat, dan memiliki ciri khas tersendiri. Dengan segala hal tersebut, saat ini Aceh dikenal oleh dunia dan menjadikan provinsi Aceh menjadi salah satu destinasi wilayah yang menarik untuk dikunjungi.


IMG_20220104_225437.jpg


Salah satu ciri khas dari adat Aceh adalah penggunaan ranub (sirih) dalam berbagai prosesi penting di Aceh. Penggunaan ranub mempunyai makna yang dalam bagi masyarakat Aceh. Menjadi salah satu rempah yang tumbuh di Indonesia, ranub dipercaya memiliki khasiat di bidang kesehatan. Menurut KBBI, sirih (ranub) adalah tumbuhan yang merambat di pohon lain, daunnya terasa pedas, biasa dimakan bersama dengan pinang, kapur, gambir sebagai makanan yang mencandu, penguat gigi, dan sebagainya. Namun, dalam adat Aceh penggunaan ranub bukan hanya sekedar rempah yang menyehatkan bagi tubuh. Ranub bagi masyarakat mempunyai makna tersendiri.

Tradisi makan ranub dalam budaya Aceh merupakan warisan budaya masa silam, lebih dari 300 tahun lalu atau di zaman Neolitik. Pada zaman dahulu, para orang tua mempunyai tradisi “makan ranub” atau “menyirih”. Konon tradisi makan ranub ini dibawa oleh rumpun bangsa Melayu 500 SM ke beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Tradisi mengunyah ranub dengan biji pinang, gambir, dan sedikit kapur, diyakini mampu memperkuat cengkraman gusi terhadap gigi.

Penggunaan ranub di Aceh dapat ditelusuri dari kajian naskah kuno kitab Mujarabat. Dalam kitab Mujarabat yang telah dialihaksarakan, ranub dan pinang disebutkan secara bekali-kali sebagai bahan ramuan obat-obatan. Pada masa kesultanan Aceh, ranub memainkan peranan penting bukan hanya sebagai bahan konsumsi semata, tetapi juga digunakan dalam upacara-upacara besar sultan.


IMG_20220104_225427.jpg


Dalam perkembangannya, ranub juga memiliki peranan penting dalam sistem daur hidup (life cycle) masyarakat Aceh. Ranub seolah menjadi makanan atau hantaran wajib. Pemaknaan yang diberikan masyarakat Aceh terhadap ranub ternyata tidak tunggal. Ada banyak makna sosial dan kultural yang terkandung dalam ranub. Pemaknaan yang beragam tersebut terjadi karena ranub dalam kehidupan masyarakat Aceh digunakan dalam banyak cara dan aktivitas, sehingga makna yang terkandung akan menjadi berlainan. Makna ranub yang terkandung dalam beberapa prosesi ialah:

Pada saat upacara antar mengaji. Sudah menjadi suatu keharusan dalam masyarakat Aceh bahwa setiap anak yang akan diantar mengaji pertama kali, anak tersebut akan di-peusijuk dan dibekali bawaan yang akan dipersembahkan kepada teungku yang mengajarkannya, yaitu ranub seuseupuh (ranub seikat) dan beberapa barang lain seperti buleukat kuneng (nasi ketan kuning), manok panggang (ayamg panggang), hingga enam hasta ija puteh (kain putih).
Pada upacara pernikahan. Tepatnya pada saat kedua belah pihak keluarga mempelai menyepakati tanggal dilaksanakan pernikahan, pihak calon pengantin laki-laki akan mendatangi rumah pihak calon pengantin perempuan dengan membawa ranub kong haba (sirih penguat kata) sebagai lambang penjanjian kawin (bertunangan).
Pada saat menjelang persalinan, keluarga calon bayi akan mendatangi bidan yang nantinya akan menangani kelahiran sang bayi. Kedatangan ini disebut dengan peunulang yang artinya menyerahkan hidup dan mati sang ibu dan calon bayi kepada bidan. Peunulang dilaksanakan dengan membawa beberapa hantaran, diantaranya ranub setepak (bahan-bahan ranub), pakaian sesalin, dan uang ala kadarnya.
Ranub sebagai simbol pemuliaan tamu. Hal ini sangat jelas terlihat baik dalam kesenian (Tari Ranub Lam Puan) maupun berbagai jamuan ranub yang ditunjukan kepada tamu, besan dan juga orang-orang yang dihormati. Pemulia wareh ranub lampuan, memuliakan tamu dengan ranub. Demikian makna utama dari penyajian ranub kepada tamu.
Ranub sebagai simbol perdamaian dan kehangatan sosial. Hal ini tergambar ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, upacara peusijuk, meu-uroh, dan upacara lainnya.
Ranub melambangkan sifat dan watak para peserta musyawarah yang dijiwai oleh semangat setia kawan, setia sekata, hidup rukun dan damai, sapeu kheun ngon buet (satu kata dengan perbuatan).
Ranub sebagai media komunikasi sosial. Dalam hal ini ranub sering diungkapkan dengan istilah ranub sigapu yang berati sebagai pembuka komunikasi. Makna ranub secara simbolik adalah sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu pembicaraan. Ranub adalah lambang formalitas dalam interaksi masyarakat Aceh. Setiap acara dimulai dengan menghadirkan ranub dan kelengkapannya.


Footnote:

  1. https://detak-unsyiah.com/headline/ranub-dari-simbol-adat-hingga-makna-dalam-ilmu-psikologi

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.11
JST 0.031
BTC 68734.33
ETH 3745.98
USDT 1.00
SBD 3.72