Ruh Abu MUDI Fikih, Tak Perlu Mendikte
koleksi pribadi
Fikih bukanlah dogma kaku yang berdiri sendiri. Karena faktor yang mempengaruhinya, jasad fikih menempel langgam elastis serta dinamis yang tak tersungkur oleh waktu. Demikian kesaksian dalam catatan tumpukan kitab saat menggambarkan ruh fikih.
Dalam mewujudkan ruhnya, fikih selalu menyungguhkan catatan ketat; dharurah, hajat adalah diantaranya. Fikih akan berubah seiring dengan wujud salah satu itu. Melupakan dharurat atau hajat misalnya, berarti membiarkan fikih ditelan zaman.
Tapi bukan itu intinya. Orang-orang yang hidup dengan ruh fikih, sikap dan suaranya tak bisa dibeli oleh dikte yang membludak bahkan hujatan tanpa ilmu. Terserah seberapa banyak atau dari kalangan apa suara itu bermuara. Saya melihat itu pada sosok Abu MUDI (tanpa mengecualikan ulama lain menurut pandangan pembaca).
Sebagaimana fikih hanya bisa didikte oleh dharurah atau hajat dengan porsi yang telah ditakar, bagitu halnya Abu MUDI, Syekh H. Hasanoel Basri nama namanya. Sikap dan statementnya hanya bisa diubah jika wujud catatan darurat atau hajat sesuai dengan ukurannya masing-masing.
Inovasi pendidikan pesantren dengan mendirikan kampus, tidak boleh membangun polisi tidur dan mengaji malam Ramadhan dengan mikrofon adalah diantara hal besar yang Abu sampaikan. Semua itu mengundang banyak tanya bahkan kritikan hingga hujatan dari berbagai kalangan.
foto dari via WhattApp dewan guru dayah MUDI
Sebelumnya, kalangan persantren alergi dengan perguruan tinggi, tapi Abu memandang itu sebuah hajat yang sudah cukup porsinya.
Membangun polisi tidur dinggap hal biasa bahkan bermanfaat untuk melindungi sebagian kalangan, tapi Abu memandang itu dapat membahayakan masayarakat umum. Sedangkan keuntungan hanya untuk sebagian kecil.
Mengaji dengan mikrofon malam Ramadhan dianggap syiar agama, tapi Abu memandang itu dapat mengganggu masyarakat pada umumnya. Terserah ada sebagian kecil yang merasa tak terganggu. Lagian itu juga bukan bagian dari syiar. Semua itu adalah jati diri fikih. Silakan dikulik!
Bersikap atau berpendapat sebaliknya tentu saja Abu MUDI tahu, beliau akan dikritik bahkan dihujat. Tapi Abu tidak lentur atau terjebak dalam alur yang salah karena dikte tanpa dasar ilmu.
Abu tetap bersikap dan bersuara layaknya fikih yang beliau imani, walau itu bukan keinginan masyarakat pada masanya. Tapi seiring kecerdasan dan referensi masyarakat bertambah, hari ini mereka sudah mengikuti apa yang beliau katakan. Bahkan sebagian besar mengaku menyesal, "mengapa tidak dari dulu".
Tak berlebihan saya mengatakan ruh Abu adalah fikih. Tak lentur karena membludak dikte atau hujatan tanpa ilmu. Sebagaimana fikih hanya mapan didikte oleh dharurah atau hajat untuk berubah, demikian halnya Abu MUDI; hanya didikte oleh catatan yang sama. Pernyataannya hanya akan berubah jika kemudian hari wujud dharurat, hajat atau hal lainnya yang telah ditakar dalam fikih.