The Diary Game (11 Juni 2024): Perjalanan

Tepatnya pada dini hari, saya memesan tiket bus shuttle Banda Aceh-Lhokseumawe melalui aplikasi mobile. Sebenarnya saya sudah berencana memesannya sejak malam tadi namun kerap kali distraksi datang dan menggagalkannya. Tidak disangka-sangka, di musim liburan ini, masih ada beberapa seat yang tersisa untuk keberangkatan pukul 12 siang nanti.

Tanpa ragu saya memilih seat di row paling belakang yang memang dikhususkan untuk penumpang yang sendirian. Saya sedang tidak punya cukup tenaga untuk bersosialisasi dengan banyak orang saat ini, dan memilih duduk sendirian di angkutan umum agaknya jadi opsi yang paling tepat.

Jam 7 pagi, saya mulai bersiap-siap untuk packing. Proses kemas-kemas kali ini agak ribet karena liburan setelah Idul Adha nanti akan memakan waktu lumayan lama, sekitar tiga bulan.

Pukul 10 pagi tiba-tiba ada kabar dari pihak travel. Mobil untuk keberangkatan jam 12 sedang dalam proses perbaikan. Saya diberikan dua opsi: pengembalian dana dengan konsekuensi batal berangkat, atau pindah ke jadwal keberangkatan lain. Karena sudah siap dan tinggal menunggu dijemput, akhirnya saya mencoba mengajukan keberangkatan pukul 11. Sayangnya, hanya tersedia bus menuju ke Medan untuk estimasi keberangkatan di jam tersebut, dan mereka menawarkan saya untuk turun di jalan provinsi.

Setelah diskusi alot nan panjang, kami sepakat dengan win-win solution, berangkat pukul 2 dengan tujuan Kota Lhokseumawe. Alhamdulillah, saya masih punya sedikit waktu lagi untuk bersantai sejenak. Namun, kegembiraan saya tidak bertahan lama, sebab tepat di ba’da zuhur, drama baru terjadi.

Pihak travel menelepon, mengabarkan bahwa mereka ingin menjemput saat ini juga. Saya menginformasikan alamat lengkap di mana saya berada saat ini, dan mereka bilang, “aduh jauh banget dek, kami nggak bisa jemput.” Saya berkilah, sebelumnya saya selalu dijemput dari sini, kenapa tiba-tiba tidak bisa. Ternyata saya diinformasikan bahwa batas terbaru untuk penjemputan di daerah Darussalam adalah masjid Tungkop, dan mereka tidak mentolerir lebih jauh dari itu. Kebijakan perusahaan, katanya.

Ya sudah, batin saya. Segera saya memesan taksol (taksi online) dari aplikasi terkenal Grb dan Gjek. Namun, tidak ada satu pun driver yang bersedia menjemput. Alasannya klasik, terlalu jauh. Akhirnya, saya mendownload aplikasi lain yang terkenal dengan harga yang lebih murah. Sebelumnya, saya tidak pernah memakai jasa driver taksol dari aplikasi ini karena banyaknya laporan track record yang tidak mengenakkan dari pengguna jasa lain. Tak ada rotan akar pun jadi.

Sebuah notifikasi muncul, yang menyatakan bahwa ada satu sopir yang bersedia menjemput saya dan akan sampai dalam lima menit lagi. Saya segera mengeluarkan koper serta beberapa barang lain ke teras sembari menunggunya di sana. Syukurnya, saya dapat driver yang baik, seorang bapak-bapak paruh baya dengan kacamata baca yang disangkutkan ke kepala.

Beliau bahkan bersedia memuat koper dan barang bawaan saya ke dalam bagasi mobilnya. Kami melaju ke basis JRG shuttle yang berada di Lambhuk. Sesampainya di sana, dengan baik hatinya bapak yang satu ini, dibantu oleh petugas travel, memuat barang saya ke bagasi van High Ace yang akan mengantar saya menuju Kota Lhokseumawe dalam beberapa jam ke depan.

Pukul 02.30, bus melaju dengan kecepatan kencang. Drama lain datang ketika salah satu anggota KKN menghubungi saya via WA. Sebelumnya, kegiatan Desa Energi Berdikari yang saya ikuti telah diresmikan sebagai kegiatan KKN dan telah mendapatkan persetujuan dari rektor. Namun, tetap saja ada prosedural yang harus dipenuhi dalam proses konversinya, seperti mendaftar via web KKN USK sekaligus mengupload berkasnya di sana.

Entah mengapa, saya sudah mencobanya berkali-kali namun selalu error, sementara anggota tim lain sukses dalam proses mendaftar secara daring. Saya bersama satu orang lainnya belum kunjung mendaftar sehingga menghambat mahasiswa lain di dalam satu tim untuk mengupload berkas. Saya sampai mencoba mengubah setting DNS agar proses pendaftarannya kelar secepatnya.

Anggota lain memburu saya untuk cepat-cepat menyelesaikan proses pendaftaran, padahal tenggat waktu pendaftarannya sendiri masih empat hari lagi. Salah satu anggota tim yang merupakan mapres 1 USK (yang sudah pasti bisa dibayangkan seberapa besar ambisinya), adalah yang paling gencar memburu bahkan cenderung mengopresi saya dengan caranya menerapkan deadline sampai pukul 3.

Saya memberikan alasan bahwa saat ini sedang terus menerus mencoba mendaftar sembari mengatakan kecurigaan bahwa ada masalah pada akun saya di servernya. Namun, dengan jumawanya dia menyatakan bahwa dia tidak mau tahu, bahkan mencecar saya dengan mengatakan bahwa saya adalah beban baginya dan teman-teman yang lain.

Tentu saya membantah, bagaimana dia bisa mengeluarkan kata-kata yang nyelekit seperti itu sedangkan saya sendiri tidak punya akses ke servernya. Yang lebih membuat bingung adalah kok bisa mahasiswa dengan tingkat kecerdasan intelegensi seperti dia tidak memiliki empati sama sekali. Menjadi nomor 1, dari keluarga berada, mempublish jurnal-jurnal internasional bereputasi tidak menjamin bahwa seseorang akan punya perasaan seperti manusia.

Akhirnya, masalah ini selesai ketika sahabat saya, Yodha, yang saya mintai tolong untuk terus mencoba mendaftarkan menggunakan NPM dan password saya. Saya menangis haru karena jarang-jarang ada orang yang berbuat baik tanpa motif apapun seperti ini. Kalau kita pakai sudut pandang optimis, sebenarnya di luaran sana masih banyak manusia di dunia ini yang tidak hanya pintar, tetapi juga berhati malaikat. Kualitas IQ dan EQ yang tinggi ternyata bisa saya temui pada satu orang yang sama.

Ba’da magrib, saya akhirnya sampai di Lhokseumawe setelah sang sopir menurunkan saya tepat di depan pagar. Sambutan hangat datang dari keluarga terutama dari kedua adik laki-laki saya yang kocak menggelikan. Kami menghabiskan waktu bercengkerama di teras sebelum akhirnya saya masuk ke rumah.

---