Tata Pamong saja Tidak Cukup
Di sudut Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala, sebuah ruangan prodi menyimpan berbagai cerita tentang perjalanan Program Studi Sosiologi—yang bisa dibilang panjang, namun tak begitu panjang. Baru-baru ini, prodi ini berhasil memperbarui akreditasinya dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Meskipun ini adalah pencapaian yang patut diapresiasi, akreditasi tersebut tidak beranjak dari status sebelumnya yaitu 'Baik Sekali'.
Betapapun manis bunyinya, akreditasi 'Baik Sekali' sebenarnya tak lebih dari sekadar eufemisme dari “cukup baik, tetapi belum cukup luar biasa”. Hanya berselisih beberapa poin saja untuk meraih akreditasi 'Unggul' dari BAN-PT. Beberapa berspekulasi bahwa asesornya sengaja mengganjal lonjakan status ini. Ada benarnya, sih. Jika saja kesempurnaan terlalu mudah digapai, maka dunia akan kehilangan maknanya. Yaelah.
Di balik status 'Baik Sekali' ini, prodi Sosiologi tak bisa disangkal telah menanam banyak benih unggulan. Kaprodi dan jajarannya telah melakukan berbagai upaya signifikan untuk meraih predikat tersebut. Visi dan misinya tegas, tata pamong dan tata kelola solid, sementara para mahasiswanya kerap menjadi permata yang berkilauan di pelbagai ajang. Penelitian dan pengabdian masyarakat yang dilakukan pun tidak kalah baiknya.
Salah satu batu sandungan terbesar adalah komposisi tenaga pengajar. Mayoritas dosen di prodi ini masih bergelar magister, dan hanya ada satu yang telah mencapai jenjang doktoral. Profesor? Yang dulu ada saja kini telah raib entah ke mana.
Dulu pernah ada dua orang profesor yang mengajar di sini. Bisa jadi mereka sudah pensiun, dimutasi, atau mungkin ‘dibumihanguskan’ karena terlalu vokal dalam mengkritisi para elit. Skenario terakhir mungkin terdengar aneh, tetapi—di negeri yang kerap menolak kebenaran jika tidak sejalan dengan kepentingan—tidak bisa dipinggirkan begitu saja.
Kehilangan tenaga pengajar berpengalaman ini jelas menjadi masalah besar bagi prodi Sosiologi dalam upaya meraih predikat 'Unggul'.
Aku tahu semua ini karena beberapa bulan lalu aku dilibatkan dalam proses reakreditasi sebagai perwakilan dari pihak mahasiswa. Kala itu, aku dilibatkan dalam sebuah forum dengar dan berdialog dengan para asesor. Mereka tidak hanya melihat aspek-aspek formal seperti dokumen dan laporan, tetapi juga mencoba memahami kondisi riil yang kami—para mahasiswa—alami sehari-hari.
Kuperhatikan detilnya para asesor ini bertanya ini-itu, aku sampai pada kesimpulan bahwa mereka datang dengan harapan untuk menemukan kilauan emas di antara tumpukan debu—atau sekadar memastikan bahwa debu-debu itu tidak berhamburan kemana-mana.
Ruang prodi yang kuabadikan itu adalah semacam ruang multifungsi bagi para dosen dan mahasiswa. Di dekat pintu masuk, ada sebuah meja tenaga operator yang selalu ramai disinggahi mahasiswa dengan berbagai keperluan. Ruang prodi itu menjadi tempat bertemunya segala kebutuhan yang mendesak dan yang tidak.
Aku sering berpikir, betapa beratnya tugas si ibu operator yang harus mengurus segala administrasi satu jurusan dengan jumlah mahasiswa yang tidak sedikit. Mulai dari surat penelitian mahasiswa hingga keperluan birokrasi lainnya.
Keterbatasan jumlah dosen juga menjadi isu tersendiri bagi kawan-kawan mahasiswa. Tak jarang kami berhadapan dengan situasi pelik di mana satu dosen yang sama harus mengajar di dua atau tiga mata kuliah berbeda yang kami ambil. Bagaimana mungkin satu kepala bisa membagi fokusnya pada beberapa bidang ilmu yang berbeda tanpa mereduksi kedalaman materi yang diajarkan? Kurasa itu hampir impossibble
Tentu saja, dalam benak kami—para mahasiswa—ada harapan besar bahwa suatu saat prodi ini bisa mencapai keunggulan yang sebenar-benarnya. Bukan hanya status “Unggul” atau “Baik Sekali” di atas kertas.
Upvoted. Thank You for sending some of your rewards to @null. It will make Steem stronger.
Thank you for publishing a post on the Hot News Community, make sure you :
Verified by : @fantvwiki