Abu-Abu dalam Spektrum Hayat nan Fana
Dulu, bayanganku soal menjadi orang matur (baca: dewasa) adalah tentang berdiri di kaki sendiri, bebas dari segala kukungan yang menggerayangi badan dan jiwa. Namun seiring berjalannya waktu, pandangan tersebut mulai berubah, meski belum sepenuhnya.
Saat kecil, kita kerap membayangkan dewasa sebagai kebebasan absolut. Tidak ada lagi yang akan memarahi kita karena tidak mencuci piring, tidak ada lagi yang akan menyuruh kita tidur lebih awal, atau melarang kita untuk berada di luar di saat-saat mentari berada di ufuk barat. Dewasa, dalam pandanganku yang polos dahulu adalah tentang kemampuan membuat keputusan secara otonom dan menjalani hidup sesuai kehendak diri.
Masa kanak-kanak dipenuhi dengan ambisi untuk segera tumbuh besar. Saat itu, kita menganggap bahwa menjadi dewasa adalah puncak dari segala impian. Memiliki rumah sendiri, pekerjaan yang menghasilkan uang, dan kebebasan untuk melakukan apa saja yang kita inginkan. Namun, kita tidak menyadari bahwa dewasa juga berarti tanggung jawab yang lebih besar, beban yang lebih berat. Dan itu menyiratkan sesuatu yang amat menyedihkan: hidup yang kian ruwet.
Nongkrong di kopisyop, nenteng mekbuk, sambil ditemani satu botol es kopi kekinian.
Sebuah anganku dulu tentang gambaran menjadi “dewasa” dulu.
Seiring bertambahnya usia, pandanganku tentang kedewasaan mulai bertumbuh. Aku mulai menginsafi bahwa menjadi dewasa bukan hanya tentang kebebasan pribadiku saja, tetapi ada tanggung jawab yang membarenginya. Tanggung jawab untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Tanggung jawab untuk membuat keputusan yang tepat, guna menghadapi konsekuensi dari keputusan tersebut.
Apa itu berarti aku mengamalkan keseluruhan tanggung jawab yang dibebankan padaku? Jawabannya belum tentu. Namun yang jelas, aku jadi lebih awas dengan konsekuensi yang akan mengejarku sampai ke lubang cacing jika sewaktu-waktu aku melanggarnya. Semakin banyak orang yang dirugikan dengan ketidakmampuanku dalam menjaga tanggung jawab itu, semakin besar pula konsekuensi yang akan aku tanggung.
Menafikan tanggung jawab dengan masyarakat bukan berarti mengabaikan tanggung jawab dengan diri sendiri. Terkadang kita harus mentransaksikan kebahagiaan diri dengan ekspektasi masyarakat, dan itu bukan berarti sebuah hal yang buruk.
Kebenaran absolut tak bisa ditetapkan hanya karena banyak orang yang yang mengatakannya. Kini aku paham kenapa beberapa orang memilih untuk pindah negara atau yang lebih ekstrin, bergabung ke kultus-kultus tertentu ketika dia ditolak oleh komunitasnya. Ini tentu terlepas dari benar tidaknya apa yang mereka lakukan.
Dalam kehidupan orang dewasa, tak ada hitam dan putih. Sebagian besar spektrum antara kedua corak tersebut berganti jadi abu-abu, sebagaimana definisi kedewasaan itu sendiri yang tak bisa diukur dari seberapa lamanya seseorang telah hidup. Banyak orang yang sudah dewasa secara umur, tetapi masih belum matang secara emosional atau sosial. Sebaliknya, ada juga orang yang masih muda secara usia, tetapi sudah menunjukkan tingkat kedewasaan yang tinggi.
Ada satu hal yang membarengi sebuah tanggung jawab. Sebuah ihwal yang keberadaannya tak terpisahkan dengan tanggung jawab itu sendiri. Yap, benar, jawabannya adalah P-E-N-G-O-R-B-A-N-A-N.
Salah satu aspek kedewasaan yang sering kali terlupakan adalah pengorbanan. Menjadi dewasa berarti harus siap untuk berkorban demi kebaikan yang lebih besar. Kadang-kadang, kita harus mengesampingkan keinginan pribadi demi kepentingan keluarga atau orang-orang di sekitar kita.
Namun tetap perlu diingat bahwa pengorbanan ini tidak boleh dibiarkan menggerogoti independensi kita. Beberapa orang diciptakan untuk jadi benalu, dan tugas kita adalah menghindari orang-orang semacam ini demi menjaga kewarasan dalam hidup.
Saat masih remaja, kudapati diriku amat sulit beradaptasi dengan perubahan. Perubahan fisik, emosional, dan sosial yang terjadi begitu cepat membuatku kerap kali merasa kewalahan. Dulu, aku mengira kedewasaan adalah sesuatu yang bisa dicapai dengan instan dalam kurun waktu tertentu, sebagaimana seorang siswa lulus dari program wajib belajar sepanjang 12 tahun lamanya. Namun, kini kusadari bahwa kedewasaan adalah sebuah proses yang berlangsung seumur hidup.
Proses ini sebangun dengan sebuah pembelajaran yang tidak pernah berhenti. Setiap hari adalah kesempatan untuk belajar sesuatu yang baru, baik dari pengalaman pribadi maupun dari orang lain. Kedewasaan berarti menerima bahwa kita tidak tahu apa-apa, dan bahwa selalu ada ruang untuk tumbuh dan berkembang.
Upvoted. Thank You for sending some of your rewards to @null. It will make Steem stronger.
Thank you for publishing a post on the Hot News Community, make sure you :
Verified by : @fantvwiki
We invite you to continue publishing quality content. In this way you could have the option of being selected in the weekly Top of our curation team.