Diary Luka

in Hot News Communityyesterday (edited)

IMG-20240711-WA0128.jpg

Oleh: Muslailati Rala Novila

Ketika Hanif mendatangiku dengan terburu-buru, aku tengah asyik membuat makalah Biologi, tugas dari Pak Andi—dosen killer kami. Wajah Hanif terlihat ceria.
“Ayo ke radio,” ajaknya. Ia langsung duduk di meja. Ini adalah kebiasaan Hanif yang sudah melekat sejak aku mengenalnya dua tahun silam, di awal perkuliahan kami.
“Aku sedang mengerjakan tugas dari Pak Andi,” jawabku tanpa membuang pandangan dari laptop. Dengan sigap, Hanif turun dari mejanya dan langsung menutup laptopku.
“Tugas Pak Andi, tugas Pak Andi. Kenapa sih di kampus ini, semua pada takut pada si Killer itu?” Hanif berujar kesal sembari bertolak pinggang di depanku.
“Ayo ke radio, ada penyiar baru.” Hanif mengajakku lagi, kali ini dengan nada yang tegas sekali.
Kalau sudah begini, berarti ajakan Hanif tidak mungkin kutolak. Aku terpaksa menurutinya, daripada harus kehilangan sahabat seperti dia. Hanif adalah seorang anak dari pengusaha, otaknya brilian, ganteng, dan selalu suka mentraktirku.
“Ya sudah, tunggu aku di luar. Aku bereskan buku-buku ini dulu,” jawabku sambil tersenyum dan beranjak membereskan semua buku dan kertas yang berantakan di meja dan mencabut charger laptopku dari stop kontak. Aku pun bergegas menyusul Hanif yang sudah berada di dalam mobil sport Ferrari-nya.
“Mobilku?” tanyaku.
“ Tinggalkan sajalah, nanti aku antar lagi,” teriaknya. Aku langsung menuju ke mobilnya.
“Seperti apa ya orangnya?” Hanif bertanya dengan suara lirih seraya bersiul. Tumben Hanif sepenasaran ini, biasanya ia cuek pada cewek-cewek yang ada di sekirarnya!
“Siapa sih?” tanyaku sambil menyandarkan tubuh ke jok mobil mewahnya.
“Namanya Adelia, penyiar baru di radio kampus kita. Ia anak Fakultas Hukum. Kamu sih, jarang dengar radio. Menurutmu, apakah suara lembut seseorang akan secantik dengan wajahnya?” tanya Hanif, tapi aku sengaja tidak menanggapinya, malah memejamkan mata dan berpura-pura tidur.
“Sampai ….” Hanif terlihat bersemangat. Tiba-tiba, aku terpaku pada seorang gadis yang sedang menuju ke mobil kami, terlihat sangat anggun.
“Nif, ada cewek tuh,” gumamku. Rupanya, Hanif sudah terlebih dulu turun dari mobil. Aku pun bergegas menyusulnya.
“Mau ke studio ya?” sapa gadis itu, suaranya terdengar sangat lembut. Ia tetlihat ramah, anggun, dan manis.
“Ini Adelia ya?” Suara Hanif terdengar seperti berteriak.
“Iya … Adelia,” jawabnya seraya mengulurkan tangannya.
Ada desiran aneh, saat aku menjabat tangannya. Ternyata, gadis ini yang membuat sahabatku penasaran, meski hanya mendengar suaranya lewat siaran radio kampus, batinku. Adelia memang terlihat mempesona. Di pertemuan pertama ini, Adelia mampu membuat hatiku bergetar. Hati yang selama ini tidak pernah mampu disentuh oleh siapa pun. Mungkin karena sikapku yang acuh tak acuh ini yang membuat para mahasiswi menjulukiku si Gunung Es.
Seiring berjalannya waktu, Hanif dan Adelia menjadi pasangan yang sangat serasi. Sementara aku, hanya menjadi penonton, penengah yang bijaksana, dan pendengar terbaik bagi mereka. Aku berada di antara jalinan kasih mereka.
Tanpa kusadari, aku menyukai Adelia dan mulai membangun kemunafikan. Aku berusaha menghilangkan dan memendam perasaan ini. Aku tidak ingin memupuskan keceriaan Hanif. Aku yakin, Adelia pun tidak akan pernah memilihku. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan Hanif. Saat ini, aku hanya bisa menjaga kepercayaan mereka.


Suatu hari, Adelia meneleponku dan mengajak bertemu di taman kampus, tempat di mana kami bertiga sering duduk bersama.
“Hanif mana?” sapaku sambil menatap wajah muramnya. Adelia tidak menjawab. Mata sayunya yang sangat kukagumi, menatap lurus ke depan seraya menggigit bibirnya. Kebiasaan Adelia yang sering kulihat saat ia sedang dalam masalah.
“Aku memutuskan pisah dengan Hanif.” Pernyataan Adelia membuatku sangat kaget. Aku mencoba untuk tetap tenang. Aneh, kenapa gemuruh ini makin menggelora?
“Apa yang terjadi?” Aku berhasil mengontrol suara.
Adelia masih diam dan menunduk. Entah keberanian dari mana, aku meraih jemari Adelia. Ia pun tidak berusaha menolaknya. Tiba-tiba, Adelia merebahkan kepalanya ke bahu kananku. Aku seperti melambung, gemuruh di dada semakin sulit untuk kukendalikan.
“Ssttt … jangan nangis, dong.” Aku berbisik lirih, menggapai bahu Adelia dengan tangan kiri dan menepuknya perlahan.
“ Hanif terlalu mengatur kehidupanku.” Tangan kiriku masih bertengger di bahu Adelia, bukan lagi menepuk, tapi membelai perlahan. “ Terlalu over protective. Hanif ingin, aku hanya menjadi miliknya. Kami baru jalan enam bulan, tapi setiap minggunya selalu saja ada masalah di antara kami. Hanif selalu harus ada di mana pun aku beraktifitas. Kamu tahu, Hans? Sekarang, banyak teman-teman yang menjauh dariku.”
“Seperti itukah?” tanyaku dengan nada yang terdengar lembut karena ingin memberikan kenyamanan padanya.
“Iya, Hans. Kata mereka, Hanif telah menemui dan memperingatkan mereka untuk tidak terlalu dekat denganku. Parahnya lagi, fans-fans radioku juga diperlakukan Hanif seperti itu.”
“Hanif sangat mencintai Adelia. Dihidupnya hanya ada kaamu, Adelia.”
“Ya tidak dengan cara seperti itu, Hans. Aku merasa sangat terbebani, Hans!” isak Adelia.
Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Apa Adelia terlalu larut dengan emosinya, sampai ia merebahkan kepalanya di bahuku selama ini? Aku jadi khawatir, andai Hans tiba-tiba datang dan melihat kami dalam posisi seperti ini.
“Del … lihat aku.” Aku beringsut dan mengalihkan posisi Adelia dari bahuku. Kini, kami saling bertatapan. “Aku telfon Hanif, ya. Kita bahas masalah ini bersama. Tidak baik bagi hubungan kalian, jika dibiarkan lama.”
Aku segera mengambil handphone, bemaksud hendak menelepon Hanif. Namun, tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Tampak nama Hanif tertera dalam layar gawai. Aku memberikan isyarat pada Adelia agar tidak mengeluarkan suara. Loudspeaker handphone pun aku aktifkan agar Adelia mendengar pembicaraan kami.
“Aku ingin kita ketemu. Adelia memutuskan hubungan kami. Aku tidak bisa, Hans. Kamu sangat tahu itu, bukan? Aku tidak bisa tanpa Adelia.” Terdengar suara Hanif kacau. “Tunggu aku di taman, Hans. Adelia pasti akan ke sana juga.”
Hanif langsung mematikan handphone-nya. Aku mengangkat bahu, meminta tanggapan Adelia.
“Aku pulang!” Adelia bersiap bangkit, tapi aku menariknya cepat.
Tiba-tiba tubuh Adelia terjatuh, tepat di pangkuanku yang masih dalam posisi duduk. Mungkin karena aku menariknya terlalu kuat atau posisi Adelia yang tidak seimbang. Sesaat, kami saling berpandangan. Adelia cepat-cepat melepaskan tubuhnya dari dekapanku dan.
“Ma-maaf, Del. Aku tidak sengaja.” Aku berkata dengan sedikit terbata. Adelia terlihat tersenyum tipis.
“Iya, tidak apa-apa,” jawabnya singkat dan berusaha bangkit kembali.
“Jangan pergi, Del. Hanif sedang menuju ke sini. Sebaiknya, aku coba bahas masalah kalian, ya. Aku akan menjadi penengah seperti biasanya. Oke!”
“Aku pulang saja! Kali ini, aku tidak ingin membahasnya. Hanif sudah keterlaluan. Cintanya buta, tahu gak sih!” Adelia benar-benar tidak bisa dicegah lagi. Ia segera mengambil tasnya dan menatapku. “Aku pulang ya, Hans. Terima kasih untuk waktu dan perhatianmu.”
Andai, Adelia dengan Hanif tidak bisa disatukan lagi, apa mungkin aku bisa menggantikan posisi Hanif? Tidak mungkin! Ah, khayalanku semakin tidak menentu, seolah aku sangat yakin bahwa Adelia akan menerima cintaku. Berulang kali, aku mengeja kalimat ini dalam hati.
Taman semakin sunyi. Tanpa kusadari, ada gerimis hujan yang sedari tadi mulai membasahi wajahku. Aku pun beringsut ke kiri, ke tempat yang terlindung dari hujan. Di sudut lain, kulihat ada beberapa mahasiswi dan mahasiswa tengah bercanda. Bahkan, ada juga yang saling berkejaran di antara hujan yang riuh sembari berteriak, seakan tidak peduli dengan tubuh mereka yang mulai basah.
Kulirik arloji di tangan, jarum jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Berarti sudah satu jam aku menunggu Hanif, tapi ia belum juga datang. Aku pun mengambil handphone, bermaksud menelepon Hanif. Astaga! Handphone-ku mati, ternyata baterainya habis. Aku memutuskan untuk beranjak meninggalkan taman kampus dan pulang ke rumah.
Tepat azan magrib, aku tiba di rumah. Berharap ada mobil Hanif sudah terparkir di halaman rumah, tapi nyatanya tidak ada. Ke mana Hanif? Tidak biasanya Hanif seperti ini.
“Kenapa lama sekali pulangnya, Hans?” Mama menyapaku. Beliau sudah mengenakan mukenanya.
“Menunggu Hanif, Ma. Katanya mau ke taman kampus, tapi Hanifnya gak datang juga. Ya, Hans pulang aja. Apa Hanif tadi ke sini, Ma?”
“Tidak ada. Yang ke sini sih, Adelia. Satu jam yang lalu,” kata Mama.
“Adelia? Sekarang Adelia di mana, Ma?” tanyaku tak sabaran.
Mamaku tersenyum arif. “Sudah pulang. Ayo, salat dulu. Mama sudah siap, nih.”
Aku mengangguk cepat, bergegas ke kamar mandi, dan mengambil air wudu.
“Yuk, Ma.” Kami melaksanakan salat dengan khusyuk. Selesai salat dan menyalami Mama, aku pamit ke kamar.
“Sebentar Hans, ada titipan dari Adelia.” Mama membuka lemarinya dan mengeluarkan sebuah kado berukuran kecil, berwarna pink bertuliskan “Selamat Ulang Tahun”.
“Hans lupa kalau hari ini Hans ulang tahun, Ma.”
Tiba-tiba, Mama memelukku erat. “Wajarlah, Hans. Kita memang tidak pernah merayakan momen itu sejak Papa meninggal. Adelia sangat perhatian, Hans, sampai sengaja ke sini untuk mengantarkan ini.”
“Hans ke kamar dulu, Ma.” Aku bergegas menuju ke kamar. Tak sabar, aku melemparkan tubuh ke tempat tidur. Sempat kulirik jam dinding di kamar, sudah pukul 19.00 WIB.
Perlahan, aku mulai membuka kado dari Adelia. Jujur, saat ini yang ada di benakku adalah wajah anggun Adelia, wajah yang selama ini sangat aku kagumi. Entah kenapa, ada getar yang semakin tidak sanggup kuredakan, dan aku membiarkannya merayap indah di setiap rongga sendi. Duh, Adelia. Kenapa tidak di taman kampus saja tadi memberikan ini, ucapku dalam hati.
Aku menemukan sebuah diari berwarna biru bermotif awan. Tak sabar, aku membuka lembar pertama diari tersebut. “For My Diary, Hans”, tulisan tangan Adelia membuatku melambung. Di lembar kedua, terpampang fotoku dengan Adelia yang sudah diedit dengan sangat indah. Semakin tidak sabar aku membuka lembar ketiga dan mulai menyusuri setiap kalimat yang ditulis Adelia dengan sangat rapi.
Terima kasih Hanif, sepupuku tersayang. Sudah mengenalkan Hans padaku! (Akhir April)
Hah? Hanif, sepupunya Adelia? Jadi? Ah! Tidak mungkin! seruku dalam hati Aku semakin penasaran dan dengan cepat membuka lembar berikutnya.
Medio, Oktober. Hans, entah kenapa hari ini aku ingin menulis di lembaran ini lagi. Setelah sejak pertemuan kita, kubiarkan diari ini tanpa cerita. Aku ingin mengakhiri sandiwara ini. Ini sudah enam bulan, aku mengikuti ide gilanya Hanif untuk berpura-pura menjadi kekasihnya. Kamu tahu Hans, untuk apa Hanif melakukan ide gila ini? Hanif sangat berharap kita menjadi sepasang kekasih. Namun, aku ingin semua mengalir begitu saja. Aku ingin mengenal kepribadianmu terlebih dahulu.
Ya Tuhan, Adelia! Hanif! Aku tidak menyangka sama sekali, jika pertemuanku dengan Adelia sudah diatur oleh Hanif. Kubuka lembar kelima.
Dan saat pertama kita bertemu di radio kampus waktu itu, aku sudah mulai menyukaimu, Hans. Segala hal tentangmu yang kudengar dari mulut Hanif, membuatku tertarik. Dan saat bersandiwara seperti skenario Hanif yang seolah kami menjadi sepasang kekasih, aku semakin menyukaimu. Selain itu, ternyata kamu sangat bijaksana dalam menyelesaikan setiap konflik yang kami buat.
Hingga akhirnya, di bulan kelima, Hanif memberitahuku jika kamu menyukaiku. Hanif mengetahuinya dari penuturan mamamu, Hans. Rasanya, aku sangat bahagia. Ternyata kamu menutup rapat-rapat rasa yang kamu miliki karena kamu tidak ingin mengkhianati Hanif. Begitu bijaknya dirimu, Hans.
Hans, sandiwara ini harus dihentikan. Aku, Hanif, dan mamamu telah merancang skenario terakhir, tepat di hari ulang tahunmu, Hans. Surprise ….
Benarkan dugaanku. Mama ikut andil dalam skenario ini! Aku membuka lembar berikutnya, ternyata kosong. Sepertinya, Adelia sudah tidak menulis lagi. Tapi … eits, ada tulisan Adelia lagi. Sepertinya, baru saja ditulisnya.
Hans … selamat ulang tahun, ya. Ini aku tulis setelah pertemuan kita di taman tadi. Aku hanya ingin bilang jika aku sangat bahagia. Aku ingin lebih dekat denganmu, Hans. Maaf untuk semua skenario ini, ya. I love you … My Diari.
“Ya Tuhan … Adelia. Aku sangat bahagia! Tunggu aku, aku akan ke rumahmu,” gumamku sembari menutup diari Adelia.
“Haannsss ….” Tiba-tiba, aku mendengar Mama berteriak. Saat membuka kamar, Mama sudah berada di pintu kamarku. Tampak wajah Mama berurai air mata. “Ha-hanif menelepon kamu tapi handphone-mu tidak aktif dan barusan dia telepon Mama. Tadi magrib sepulang dari sini, Adelia kecelakaan. Ini alamat rumah sakit di mana Adelia dirawat.”
Refleks, aku meraih kunci mobil di meja belajar. “Mama … aku ke rumah sakit, ya!”
“Mama ikut, Hans!” Tanpa menunggu persetujuan, Mama sudah berlari mengikutiku.
Di luar, hujan sangat deras. Aku melajukan mobil dengan sangat kencang. Beberapa pejalan kaki yang berjalan di bawah payungnya, sempat kecipratan air yang tergilas cepat oleh laju mobilku. Lampu lalu lintas di persimpangan dekat rumah sakit pun kuterobos, tidak peduli dengan bisingnya klakson yang mengarah padaku dari beberapa pengendara mobil yang terganggu oleh ketidaktertibanku sebagai pengguna jalan. Dalam waktu 15 menit, aku dan Mama sampai di lorong rumah sakit dan kami segera menuju ke IGD.
“Nif, mana Adelia?” Hanif tampak diam, menatapku layu. Aku membaca gelagat buruk. Mama menggenggam tanganku dengan tangan yang gemetar.
“Kamu terlambat, Hans. Adelia sudah pergi.” Suara Hanif terdengar sangat lirih, tapi membuatku terkejut seperti suara petir di telingaku.
Mama memelukku, sambil menangis. Aku terdiam mematung. Hatiku terasa sangat perih dan begitu kosong. Aku tidak mampu berkata apa-apa lagi. Aku mengikuti Hanif yang menarik tanganku, membawaku dan Mama ke sebuah ruangan. Tubuhku lunglai, seakan hilang seluruh kekuatan. Aku melihat Adelia terbaring damai.
“Ayo, Hans.” Mama menarik tanganku, membawaku ke tempat Adelia. Perlahan, kami mendekat. Aku berharap, ini masih bagian skenarionya Hanif. Namun, ada keluarga Adelia yang juga tengah terisak. Ini bukan skenario!
“Adelia.” Kugenggam kuat jemari Adelia yang sudah mulai dingin. “Kenapa harus dengan cara ini, Adelia? Kenapa engkau harus pergi secepat ini?”
Kini, genggaman kuat tanganku sudah tidak mampu lagi alirkan kehangatan pada tangan Adelia. Aku berharap rasa dingin tangan Adelia ini karena hujan yang belum juga reda sejak sore tadi. Adelia benar-benar telah tidur dengan damai, justru di saat aku baru saja membangun mimpi bersama Adelia.
Aku mendengar beberapa orang bercerita tentang kronologi kejadian pada polisi yang ada di ruangan. Mereka bercerita tentang bagaimana truk barang yang kehilangan kendali dalam derasnya hujan dan menghantam keras pada mobil Adelia. Aku sudah tidak bernafsu bertanya atau mendengarnya lagi. Aku hanya ingin memandang wajah Adelia lebih lama lagi. Sebelum jasad Adelia benar-benar hilang dalam timbunan tanah merah dan basah.
“Kenangan kita akan selalu abadi, Adelia. Pergilah, engkau akan selalu ada dalam kenangan dan doaku.”
--END--
Bagiku, hujan adalah tali rindu. Satu persatu ‘kan berjalin dan bergelut, sampai disimpul yang tak bisa dipisahkan lagi.
(Kota kelahiran, Meureudu, ketika hujan tanpa jeda)

Biodata penulis:
-Muslailati Rala Novila,
Lahir dan menamatkan SMA di Meureudu Pidie Jaya, Aceh. Setelah menyelesaikan pendidikan terakhirnya pada Universitas Syiah Kuala Jurusan FKIP Kimia, penulis terus berkecimpung dalam dunia pendidikan, merambah pengalaman sebagai guru, wakil dan Kepala sekolah , mulai dari Banda Aceh, Aceh Tengah dan hingga saat ini bertugas di MAN 4 Pidie Jaya. Selain menyabet beberapa kali penghargaan dalam dunia pendidikan, penulis juga aktif menulis karya fiksi dan non fiksi. Tulisannya yang sudah dibukukan yaitu beberapa antologi cerpen yang berjudul Senandung Kopi di Ujung Pena, BBC ( Bukan Budak Cinta), dan Varsha ( 1% Hujan dan sisanya kenangan) serta beberapa antologi puisi diantaranya Rencong aceh. Karya tulis non fiksi yang sudah dibukukan adalah Kolaborasi Metode Mengajar Kimia. Saat ini penulis sedang menyiapkan buku rancangan eksperimen sederhana dalam bidang kimia, dengan hanya memanfaatkan alam sekitar, sebagai alternatif untuk para guru Kimia tingkat SMP/MTS, SMA/MA yang bertugas di sekolah yang tidak memiliki sarana laboratorium. Saat ini juga penulis aktif mengelola proses pembimbingan anak anak berkebutuhan khusus/inklusi, sebagai Ketua Forum Pendidik Madrasah Inklusi Pidie Jaya. Untuk mengenal penulis lebih jauh, silakan kunjungi sosial medianya di FB/IG/Tiktok/Snac Video/Blogger : Muslailati Rala Novila Email : [email protected].

(CM)

Sort:  
 yesterday 

Thank you for publishing a post on the Hot News Community, make sure you :

  1. Join at least #club5050.
  2. Don't plagiarize.
  3. Use original photos or copyright-free images by linking the source.
Description
Action
Verified User✔️
Club Status#NC
steemexclusive✔️
Plagiarism Free✔️
AI Article Free✔️
Bot-Free✔️
Beneficiary Rewards
@𝘯𝘶𝘭𝘭 25%
@𝘩𝘰𝘵.𝘯𝘦𝘸𝘴

Verified by : @fantvwiki

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.14
JST 0.030
BTC 58668.45
ETH 3162.85
USDT 1.00
SBD 2.44