GAGAL Sebagai PEMBELAJARAN : Pengalaman Seleksi Doktor di SIMAK UI
Salam rekan-rekan Steemian semua. Pada kesempatan kali ini, saya ingin berbagi cerita tentang pengalaman saya mengikuti seleksi program doktor di Universitas Indonesia beberapa bulan yang lalu.
Ini adalah kali pertama saya ikut seleksi doktor setelah 5 tahun mengabdi sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Aceh. Tuntutan karir sebagai dosen, mengharuskan saya untuk dapat lanjut studi ke jenjang yang lebih tinggi sebagai bentuk kompetensi saya sebagai seorang dosen. Lima tahun bekerja dan mengabdi, tentu saja ada masanya saya butuh sesuatu yang baru. Ilmu perlu diupgrade, begitu pula dengan suasana belajar. Keinginan untuk lanjut kuliah selalu ada dan memang sudah menjadi kesenangan saya untuk dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Apalagi, keluarga saya juga sangat mendukung agar setiap anggota dalam keluarga dapat sekolah setinggi-tingginya. Ditambah, tahun 2021 ini juga beasiswa yang ditawarkan oleh pemerintah juga sedang gencar-gencarnya. Jadi semakin bersemangatlah saya memantapkan hati untuk segera lanjut kuliah.
Pilihan saya jatuh ke seleksi doktor di Universitas Indonesia pada Program Studi Ilmu Komunikasi. Hal ini setelah saya mempertimbangkan beberapa hal : pertama, Program Doktor Ilmu Komunikasi hanya ada di beberapa kampus saja yaitu UI, UNPAD, USU, UNHAS, UGM dan doktor Ilmu Komunikasi UI sudah termasuk ke yang terbaik di Indonesia dan terakreditasi (memenuhi syarat pendaftaran program beasiswa); kedua, timing penerimaan, seleksi dan pengumuman hasil untuk gelombang 1 lumayan lebih cepat dibandingkan yang lain, yaitu pada Februari 2021 sehingga pertimbangan saya dapat memudahkan untuk pendaftaran beasiswa yang juga dibuka dalam waktu dekat; dan ketiga, berdasarkan beberapa masukan pembidangan Ilmu Komunikasi di UI sesuai dengan minat saya, yaitu pada teori murni, kajian media dan politik. Sehingga dari sini saya cobalah untuk mendaftar ke doktor Ilmu Komunikasi UI.
Persiapan Pendaftaran
Penerimaan doktor di UI dibuka sebanyak dua gelombang. Untuk gelombang 1 pada tahun ini adalah pada Februari-Maret 2021, dengan jadwal testnya adalah pada 24 Maret 2021. Untuk proses pendaftaran, dibandingkan kampus lain, persyaratan seleksi doktor di UI melalui jalur SIMAK saya angggap tidak terlalu memberatkan. Informasi terkait seleksi dapat ditemukan langsung di web https://penerimaan.ui.ac.id/. Di sana, ada beberapa pilihan jenjang dari S1 hingga S3. Untuk mendaftar S3, cukup langsung mengakses ke menu yang disediakan.
Sebelum mendaftar dan membuat akun, saya membaca terlebih dahulu segala informasi yang disediakan di menu. Dari jadwal penerimaan, persyaratan penerimaan, kuota per program studi dan berkas-berkas wajib yang diperlukan. Dari sana, saya mengetahui bahwa proses seleksi tergantung pada program studi yang dituju. Untuk doktor Ilmu Komunikasi ada dua tahapan test yang harus dilalui yaitu pertama harus lulus test bahasa inggris dan TPA, kemudian dapat lanjut ke tahap dua yaitu wawancara. Untuk pemberkasan tahap 1, tidak banyak berkas yang perlu dipersiapkan untuk diunggah dalam sistem. Saya hanya perlu mempersiapkan ijazah dan transkrip S2, serta surat rekomendasi dari dua akademisi yang kompeten (doktor/professor). Sedangkan untuk berkas lainnya sebagai persyaratan di tahap kedua, meskipun belum dianggap lulus tahap awal saya juga harus mempersiapkan daftar publikasi ilmiah, motivational letter dan rencana riset maksimal 10 halaman yang nantinya dikirim via email jika undangan wawancara diberikan. Hal yang sangat saya sayangkan di sini adalah, program studi yang saya tuju yaitu doktor Ilmu Komunikasi hanya menerima sebanyak 3 lulusan saja. Jumlah yang sangat sedikit dibandingkan prodi lainnya (Pesimis saya. Tapi tetap ikut, karena pilihan terbatas).
Setelah membuat akun, saya diminta untuk mengisi data dan informasi program studi yang akan dipilih. Jangan sampai salah pilih, karena tidak dapat diganti nantinya. Setelah itu, berkas-berkas yang diminta dapat diupload langsung. Kemudian setelah memastikan pemberkasan sesuai, saya melakukan pembayaran sebanyak Rp.1500.000 (lumayan juga jumlahnya kalau diingat-ingat T___T). Biaya registrasi di sini lumayan dua kali lebih mahal dibandingkan kampus lainnya. Mungkin karena mempertimbangkan persyaratan UI yang mengharuskan test TPA dan Inggris secara langsung oleh mereka, yang berbeda dari kampus lainnya yang membolehkan peserta hanya melampirkan dokumen TPA dan bahasa dari lembaga lainnya yang kredibel. Bisa saja, UI lebih mempercayai hasil test pesertanya secara langsung dan pribadi dibandingkan dokumen sertifikat dari lembaga luar. Yah, menurut saya sih.
Setelah pembayaran dikonfirmasi, barulah saya dapat mencetak kartu peserta ujian dan menunggu sampai jadwal seleksinya tiba.
Hari Test
Akhirnya hari test tahap 1 pun tiba. Untuk tahap 1, saya harus mengikuti test TPA dan Bahasa Inggris yang dilakukan secara online melalui website penerimaan UI yang dicantumkan di kartu peserta, selama dua sesi. Sesi pertama, adalah test TPA selama dua jam (08.00-10.00) dan sesi kedua Bahasa Inggris selama dua jam setengah (10.30-12.00). Rasanya bagaimana? Ya deg-degan. Karena ini adalah kali pertamanya saya ikut seleksi penerimaan kampus secara online. Bahkan, UI pun sepertinya juga baru kali pertama juga mengadakan seleksi doktor secara online. Karena biasanya seleksi langsung dilakukan di tempat. Bagi saya ini agak memudahkan, karena tidak mengharuskan saya untuk terbang dari Aceh ke Jakarta untuk sekadar test. Tapi rasanya tetap mengkhawatirkan, karena saya bertaruh dengan jaringan dan teknis lainnya seandainya saja di tengah-tengah ujian terjadi kesalahan.
Bismillah, saya positive thinking dan berupaya untuk tenang. Langsung saja saya log in ke akun, dan kemudian sistem meminta verifikasi data dan persiapan hal-hal teknis seperti video laptop nyala atau tidak sebagai bentuk pengawasan mereka. Setelah selesai, test dimulai tepat waktunya.
Saya agak gugup karena berdasar informasi yang saya googling, ujian TPA dan Bahasa Inggris di SIMAK UI ini dianggap susah. Bahkan lebih susah dari test-test yang dibuat oleh Bappenas. Dan...memang benar!. Soal-soal TPA SIMAK sama seperti test yang pernah saya temukan ketika ikut CPNS atau TKDA PLTI. Rasanya susah, susah, gampang. Susah karena soalnya banyak dan waktunya sedikit. Gampang karena saya Alhamdulillah sudah sedikit terbiasa dengan pola soal, karena sudah beberapa kali ikut test sejenis ini. Pola soal yang sama, berkisar seputar test nalar, logika, silogisme, deret, antonim, sinonim, pola ruang, dsb.
Untuk test Bahasa Inggris, menurut saya juga lumayan susah. Meskipun tidak ada test listening, tapi untuk bagian structure dan reading sangat lumayan memusingkan. Bahkan menurut saya lebih berat daripada test TOEFL ITP, karena pilihan bahasa dan ceritanya lebih ke hal-hal yang ilmiah dan akademis. Dan jujur saya kekurangan waktu di bagian reading, sehingga saya fokus pada soal yang pertanyaannya lebih ke persamaan kata, maksud, atau ide inti. Sisanya banyak yang nebak. :(
Pengumuman Tahap 1 dan Seleksi Wawancara
Alhamdulillah, setelah menunggu selama tiga minggu akhirnya ada email yang masuk dan pesan di WA dari panitia seleksi yang mengabari saya telah lulus seleksi tahap 1 dan diundang untuk mengikuti wawancara bersama tim penyeleksi dari prodi. Senang, tapi panik. Bagaimana saya tidak panik, karena meskipun saya tau bahwa untuk wawancara harus mempersiapkan dokumen-dokumen. Tapi saya tidak menyangka, jadwalnya diinformasikan secara tiba-tiba. Malam saya diinformasikan lulus, dan diberikan waktu satu hari saja untuk mempersiapkan dokumen list jurnal, motivational letter, dan rencana riset. Sedangkan proses wawancaranya dilakukan keesokan harinya lagi. Intinya, hanya diberikan waktu dua hari saja untuk mempersiapkan diri. Wah.
Kesalahan saya yang tidak benar-benar meluangkan waktu untuk mempersiapkan berkas dengan maksimal. Apalagi rentang waktu yang lama, membuat saya terlena dan disibukkan dengan aktifitas saya di kampus. Sehingga rencana riset tidak dibuat dengan maksimal. Jujur, saya buram akan ide riset. Apalagi sudah lama saya tidak ikut perkuliahan, dan mengupdate otak saya dengan materi-materi yang baru. Sehingga ini yang paling saya khawatirkan ketika wawancara nanti. Rencana riset saya tidak sesuai dengan minat studi saya. Ntah kenapa saya memilih mengkaji ke arah komunikasi politik dan perempuan, sedangkan minat saya adalah pada kajian media. :(
Dan, kekhawatiran saya pun terjadi. Di hari wawancara, melalui zoom meeting saya dihadapkan oleh tiga pewawancara. Ketiga-tiganya ini adalah pakar dibidang media dan perempuan. Sesuai dengan isian di profil keminatan saya. Otomatis, meskipun wawancara berlangsung santai, tapi saya banyak dihujani oleh pertanyaan-pertanyaan yang saya tidak terpikirkan sebelumnya. Yak, berasa sedang di ujian tugas akhir. Bahkan saya rasa lebih dari itu, huhuhu.
Di awal, saya ditanyakan tentang alasan dan motivasi mengapa memilih UI. Kemudian pertanyaan berikutnya semakin spesifik membahas substansi dari rencana riset saya, yang akhir, apa yang saya khawatirkan muncul. Pertanyaan cenderung mempersalahkan rencana riset saya yang tidak sesuai dengan minat saya. Bahkan pembahasan hingga kepada topik bimbingan skripsi saya, judul jurnal dan penelitian saya, serta mata kuliah yang saya ampu.
Fiks, meskipun saya dapat menjawab pertanyaan mereka, tapi dari ekspresi tampak ketidakpuasan di wajah mereka karena rencana riset saya yang tidak matang dan ketidaksesuaian dengan minat saya. Saya gagal menarik perhatian mereka. :((
Wawancara 20 menit itu pun berakhir. Bagi saya, itu menjadi pengalaman pertama saya yang paling berharga. Ternyata, seleksi doktor itu tidak segampang apa yang dipikirkan. Meskipun tahap satu terlewatkan, namun poin utamanya adalah pada wawancara dan kematangan rencana riset yang akan dilakukan ketika kuliah nanti. Riset harus menarik dan sesuai dengan minat. Juga jelas kebaruan kasus dan permasalahannya. Saya gagal meramu itu dengan baik, dalam rencana riset yang hanya 10 halaman itu.
Kegagalan itu terbukti ketika pengumuman seleksi ditampilkan. Saya tidak lulus.
Rasanya seperti dunia runtuh. Harapan dapat kuliah doktor di UI, harus tertunda. Begitupula harapan untuk dapat mengikuti program beasiswa dengan ketersediaan LoA. Kegagalan saya untuk ikut seleksi doktor yang pertama kalinya ini menjadi pengalaman berharga untuk persiapan seleksi berikutnya. Terutama persiapan pada rencana riset, benar-benar harus dibuat secara matang dan serius. Jika tidak, jangan terlalu yakin untuk mengikuti seleksi S3. Apalagi jika targetnya adalah ke kampus yang bergengsi.
Baiklah. Itu cerita saya terkait dengan pengalaman pertama mengikuti seleksi S3. Apakah saya kapok? Tentu saja tidak.
Saat ini saya sedang berproses untuk mengikuti seleksi doktor di kampus lainnya, dan sedang menunggu jadwal wawancara. Alhamdulillah juga, hari ini saya mendapatkan kabar baik bahwa saya telah lulus tahap administrasi di program beasiswa Doktor dalam negeri yang ditawarkan oleh pemerintah Aceh. Mohon doanya rekan-rekan steemian semua, semoga ada harapan dan hasil yang baik atas niat dan usaha yang saya lakukan. Insya Allah, saya yakin di penghujung jalan nanti ada hasil yang indah setelah segala usaha. Amin yra.
Semangat Bu @putrimaulina90. That's great experience and motivation story
Pastinya Akin. Amin juga, jangan pantang menyerah untuk lanjut studi. Apalagi sekarang beasiswa juga lagi terbuka luas..