Duka Lara Wanita Takzim
Tatapan ku menuju ke arah seorang wanita paruh baya, yang duduk di sudut tangga bagian kanan depan sebuah Bank. Tatapannya kosong, lurus ke hadapan, tanpa menoleh kiri atau kanan, jemarinya memainkan kain batik yang dibuatnya sebagai pengganti kerudung. Akupun menghampirinya, karena aku mengenalnya, tetapi ada yang sedikit aneh, kali ini dia tidak menegurku sama sekali. Telah lama memang kami tidak bersua, setahun lebih jika aku tak salah. Fikir ku, bisa jadi telah lupa dia kepadaku. Ku sapa dia, "Sendirian saja, buk?," Ucapku mengawali pembicaraan. Jawabannya membuatku terkejut, " Siapa ya?," Tanpa sedikitpun dia menoleh ke arah ku, apa lagi menatapku. "Sudah lupakah Ibu kepada ku? karena lama sudah kita tidak bertemu?," Tanyaku keheranan. "Maaf, maaf, suaramu memang seperti tidak asing, nak. Tapi, maafkan Ibu, penglihatan Ibu tidak seperti dulu lagi, sekarang gelap, padam tanpa cahaya sedikitpun apalagi warna, kalau saya boleh tebak, kamu si Garang, kan? Yang dulu pernah mendampingi kelompok kami saat Pelatihan Pemantapan Ekonomi Keluarga (P2Ega)?,"
Sepertinya ingatannya masih tajam. Tapi, lagi dan lagi dia membuatku bingung dengan jawabnya. Tapi sekarang aku mengerti kenapa dia tidak menegurku, bahkan tidak menoleh kearah ku. Aku: "Iya Buk, Ibu lagi menunggu seseorang, kah?,"
Si Ibu: Lagi nunggu si Leman membelikan Obat untuk mata Ibu,"
Setelah bercerita panjang lebar kali tinggi, dan karena dulunya Kelompok yang ku bina itu sudah seperti keluarga, dia mulai menanyakan perihal matanya yang sekarang tidak bisa melihat lagi. "Jika terkena benturan di kepala bisa membuat buta kah, nak?," Saya yang awam karena bukan ahlinya, memberikan jawaban "Bisa jadi, Bu,"
"Jangan pernah engkau pukul Istrimu atau anak-anakmu di kepala, ya, Nak. Semarah apapun engkau, kamu pasti mulai menebak, kan, iya Nak, beliau selalu marah padaku, tapi sampai detik ini, dalam kebutaan ku, aku selalu takzim padanya, melayaninya seperti dahulu, menyiapkannya piring, air cuci tangan, minum, memasak semampu ku, meski tak sesempurna dan secepat dulu. Saya senang Nak, Beliau sekarang telah berubah, bahkan mencintaiku seperti kami baru menikah saja, namun, apalah daya nasi telah menjadi bubur," Mataku mulai berlinang air, sedih dan marah bercampur aduk. Ku tinggalkan dia untuk membuang air ingus karena sesaknya dadaku karena sedih. Lalu ku kembali lagi. Tak lama kemudian anaknya Leman pun tiba, sembari menyapaku dan berpamitan bersama Ibu serta pesannya yang akan ku simpan sampai bila-bila.
Siapa sih kita (kaum adam), sehingga merasa begitu pantas menghayunkan tangan kepada seorang wanita?
Raja kah engkau yang hanya berani kepada seorang wanita dan anak kecil yang tak berdaya?
Lupakah kau akan takzimnya kepadamu?
Dimasakkannya engkau, disuapkan, dibelai engkau ketika sakit?
Lupakah dulu ketika engkau baru menikahinya?
Seberapapun perihnya cobaan menghadang, dari segi ekonomi kah, sangat lelah kah kau banting tulang, jangan kau lampiaskan kepada makhluk berhati mulia yang senantiasa mengurus mu dan anak-anak mu!
Penyesalan selalu datang terlambat.
Ketika semua datang, kau bermunajat sampai masuk ke dalam tanah pun tidak akan mengubah kondisi.
Emosi dan kekerasan tak akan menyelesaikan masalah rumah tangga, jika telah kusut pikiranmu dengan realita kehidupan yang terlalu banyak garamnya, bernostalgialah dalam kesendirian, agar bisa membuatmu paham betapa besarnya cinta kalian saat itu.
Semoga di bulan yang suci dan penuh berkah ini kita mampu mengontrol nafsu juga emosi.
Salam kasih & sayang @jubagarang