Bahasa Ulama Dan Pejabat
Hamdun Al-Qashshar pernah ditanyai, “Kenapa tutur kata para ulama salaf lebih bermanfaat dari tutur kata kita?”
Dengan tegas beliau menjawab,
“Karena mereka berbicara demi kemulaiaan agama Islam, keselamatan diri dari azab Allah, demi keridhaan Allah. Sedangkan kita, berbicara agar pribadi kita dimuliakan, diberi harta, disegani masyarakat”.
Tidak ada sejarah yang membahas sejak kapan bahasa itu muncul. Tidak ada para ahli yang melakukan penelitian sehingga mendapatkan kesimpulan awal mulanya bahasa tercipta.Sebagai Muslim kita wajib mempercayai bahwa Allah SWT itu berkata-kata, hanya saja Bahasa Allah itu itu bersuara, tidak berbentuk, tidak berhuruf dan tidak apapun. Tapi kita berpikir bahwa Adam dan Hawa juga dulu berbicara, tentunya terdapat bahasa di sana. Pertanyaannya Adam dan hawa menggunakan bahasa apa?
Para ahli tidak menemukan bukti autentik awal penggunaan bahasa, bahkan Pada tahun 1866, Société de Linguistique de Paris bahkan melarang perdebatan mengenainya, dan akhirnya sepakat untuk lagi membahas hal tersebut.
Kembali pada riwayat di atas, seorang ulama sangat menjaga tutur katanya, sehingga apapaun kalimat yang muncul dari mulut seorang ulama dipastikan mempunyai nilai positif yang dapat dipetik. Mereka para ulama sangat ketakutan jika bahasa yang dikeluarkannya sia-sia, terlebih untuk kepentingan pribadinya. Sering kita mendengar “Jika berbicara itu perak, maka diam itu adalah emas”, esensinya adalah hendaklah berbicara atau bertutur mempunyai makna positif bagi kita dan lawan bicara.
Pada dasarnya bahasa itu hadir dengan netral, boleh digunakan oleh siapa saja dan dimana saja tanpa ada yang mengklaim kepemilikan perorangan. Dengan bahasa, manusia dapat menyampaikan pesan yang ingin dikabarkan. Dengan bahasa juga terlihat identitas seseorang. Dengan demikian kita memahami bahwa fungsi utama dari bahasa adalah media komunikasi antara seorang dengan lainnya.
Namun semakin lama di tangan manusia, bahasa bukan sekadar alat untuk berkomunikasi, tetapi dapat pula dimanipulasi sedemikian rupa untuk memaksimalkan kepentingannya. Lihatlah bagaimana para pejabat negara dan politisi pandai berpidato dan mensugesti pendengarnya dengan janji-janji dan embel-embel yang menggiurkan. Susunan kata-kata yang dirangkai membentuk kalimat indah dengan intonasi dan nada suara yang membius sehingga pendengarnya mau bertindak sesuai dengan isi pesan yang disampaikan.
Kita di Indonesa dapat menilai bahwa bahasa versi pejabat terselip keinginan besar dalam dirinya, sehingga banyak bahasa yang dikeluarkannya disusun sehingga mengaburkan realita yang terjadi. Tak jarang kita menemukan bahasa yang samar sehingga terkesan ambigu. Hal ini tentunya sudah menyeleweng dari makna bahasa yang sebenarnya.
Bahasa sebagai alatkuasa juga bisa keluar dalam bentuk kata-kata nasehat bijak yang dikhotbahkan oleh orang yang justru melanggar apa yang dikhotbahkannya. Contohnya coba dicari sendiri pada tokoh- tokoh terkenal yang sering tampil di TV atau tokoh-tokoh tidak terkenal di sekitar kita. Ada tidak orang yang pandai berkhotbah, tapi perilakunya tidak sejalan dengan yang dikhotbahkannya. "Laen ji peugah laen ji pubut" (Cakap Tak Serupa Bikin).
Semakin banyak tipe orang yang hanya pandai berkhotbah tetapi tidak mengimplementasikan apa yang dikhotbahkannya akan membuat bahasa mengalami inflasi. Istilah atau konsep-konsep religius apabila menjadi bahasa politik akan mengalami kemerosotan makna dan menjadi sekadar jargon atau slogan.
Kunjungi Medsos saya