Buku, BTS Meal, dan Identitas Kelas

in STEEM Literacy3 years ago (edited)

Ada beberapa sentilan saya di status Facebook yang tanpa diduga membuat sejumlah orang "baper". Salah satunya, status bebunyi: "Ada yang bilang: orang yang suka pamer buku atau bacaan, sesungguhnya ia tidak benar-benar membaca. Benar gak?" Satu-dua orang bahkan secara intens menyindir-nyindir status itu sambil memamerkan buku-bukunya. Saya senyum-senyum saja membaca sindiran-sindiran itu.

IMG20210616071730.jpg

Tentu tak salah memamerkan apa pun di media sosial. Seringkali orang menemukan, bahkan berusaha mencapai esksistensi tertentu, dengan memperlihatkan benda-benda yang ia punya. Tak terbatas pada benda-benda yang bernilai uang semisal perhiasan, mobil, rumah, pesawat pribadi, hingga aktivitas yang menggambarkan orang tersebut "berpunya" seperti makan di restoran mahal, liburan, dan seterusnya. Pun aktivitas yang ingin menunjukkan kelas sosial, seperti bertemu dan akrab orang-orang penting hingga berteman dengan orang-orang "terpilih".

Itu semua tidak hadir begitu saja, tapi ada alasan kuat di sana. Mirip dengan ungkapan Descartes, filsuf Perancis, "cogitu ergo sum" alias “Aku berpikir maka aku ada”. Benda-benda yang dipamerkan di media sosial itu ingin mengatakan: "Aku punya ini maka aku ada". Dalam bahasa semiotika, apa yang ditunjukkan seseorang di ruang publik tidak sekedar benda, tapi ia adalah wakil untuk menyatakan bahwa "aku ada" itu. Jadi benda-benda itu adalah simbol "ke-ada-an" seseorang.

Begitu pula aktivitas non benda, seperti liburan, makan di restoran mahal, akrab dengan orang penting, bergaul dengan orang-orang terpilih, dan seterusnya adalah statemen bahwa seseorang itu "ada". Dalam benda-benda dan aktivitas itu ada narasi kelas: Dadu bergaul dengan Badu sehingga kelas sosial Dadu berada di level Badu. Makin tinggi kelas sosial teman "nongkrong" seseorang maka seolah-olah makin tinggi pula kelas sosial orang tersebut. Badu berfoto bersama mobil barunya artinya ia ingin menegaskan bahwa ia makin sukses secara finansial.

Dengan kata lain, benda-benda dan aktivitas yang dilakoni bisa melambungkan harapan-harapan seseorang terhadap pencapaian sosial tertentu. Ada imaji yang diproduksi dari sana, yang menegaskan eksistensi orang tersebut. Hal ini tidak hanya dalam ranah benda dan aktivitas yang punya nilai material, tapi benda-benda yang mempunyai nilai substansial, semisal buku. Bagi sebagian orang, buku adalah simbol membaca, melek pengetahuan, tahu banyak hal, terpelajar, cerdik pandai, dan seterusnya.

FOTO MI - Arafat Nur Ayi Jufridar dll.jpg

Maka mengunggah buku di media sosial bukan saja menyatakan bahwa seseorang punya buku tersebut, tapi ia sedang berjuang untuk merebut identitas simbolik di atas. Apalagi, buku-buku itu banyak dicari orang atau memboncengi "narasi" tertentu, maka memilikinya -- apalagi dalam kesempatan pertama -- langsung melambungkan identitasnya. Itulah sebabnya buku-buku semisal Harry Potter membuat antrian luar biasa di berbagai belahan dunia untuk mendapatkannya dalam kesempatan pertama. Mereka bukan saja penasaran dan ingin segera membaca buku itu, tapi ada imaji simbolik tadi yang ingin dicapai: dengan memiliki terlebih dahulu maka ia ada dan eksis.

Hal serupa terjadi dengan pemburuan menu BTS Meal di restoran cepat saji McDonalds belum lama ini. Ada kepuasan dan penguatan identitas yang menyusup ke sana, tidak sekedar rasa cinta pada idola. Makin cepat seseorang penggemar BTS mendapatkan #BTSMeal maka makin kuat pula kepuasan sekaligus identitasnya. Kita tidak bisa memakai logika biasa untuk menganalisisnya: kenapa harus beli hari ini, besok-besok kan masih bisa. Sebab, ini wilayah persepsi, bukan wilayah utility. Ini wilayah "kepuasan" dan "identitas", bukan wilayah "kebutuhan".

ada_yang_jual_online_nugget_bts_meal_harganya_rp19_juta_210602e.jpg

FOTO: rri.co.id

Seseorang makin merasa penggemar berat jika ia bisa mendapatkan benda-benda tentang idolanya dalam kesempatan pertama. Maka apa pun mereka lakukan untuk itu. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh industri: melambungkan imajinasi seseorang tentang sebuah produk dengan memproduksi berbagai narasi, lalu mereka pun menambang untung besar dari sana. Beberapa brand dalam negeri (Indonesia) memakai bintang-bintang Korea untuk mempromosikan produk-produk mereka karena penggila K-Pop di Indonesia adalah pasar potensial.

Kembali ke soal buku, bagi kita -- saya dan Anda yang menggemari pengetahuan -- akan lebih berguna menemukan ulasan sebuah buku, atau setidaknya komentar hasil pembacaan sebuah buku, ketimbang foto seseorang yang berfoto dengan buku itu. Kita lebih ingin tahu isi buku itu ketimbang aktivitas seseorang membacanya. Mengungkapkan atau mengomentari Isinya menegaskan bahwa ia memang benar-benar membaca. Sementara foto-foto aktivitasnya membaca lebih menegaskan "identitas" tadi dan itu hanya ilusi.

Dengan kata lain, pamerlah karya, bukan gaya!

Depok, 16-06-21
MUSTAFA ISMAIL
Twitter & IG @ MOESISMAIL

Sort:  

Andai saja aku sempat ambil foto saat ketemu @mususmail dan bawa bukunya, tentu akan kupamerkan di steemit juga!
Bagiku Itu bukan sekedar soal eksistensi tapi promosi 😁 nggak punya jaringan distribusi soalnya.

ada bedanya pamer dengan promosi. Pamer untuk sekedar mendulang perhatian, promosi untuk menarik perhatian demi orang membeli. Cici masih tinggal di Pamulang kan, coba pakai jaringan para pegiat literasi di Tangsel, misalnya dengan bikin diskusi dan semacamnya.

nggak sempat bang, sibuk mengurus suami dan mertua, ini senang-senangnya cuma di steemit saja. nggak kuat cici berdiskusi serius-serius... hehehehe. Mungkin nanti kalau sudah gak ada pandemi saja, Insya Allah.

Btw, @cicisaja sering ketemu Bang @musismail nggak di Jakarta?

Nggak bang Ayi, jumpanya malah di solprem Banda Aceh😁

padahal jarak rumah cici selemparan batu dari rumahku hehe....

Iyaa .. hihi

Kebanyakan yang sering pamer buku cuma sundoku, Bang...

peue atra nyan?

Orang yang hobi beli buku tapi nggak dibaca.

nyan beutoi. Lon le chit buku manteng meubungkus plastik. Watee bloe sang han bungoh le. Cuma hana lon pamerkan hehe...

Saya paling suka pamer bang di media sosial, ada yang menyebut saya " Riya " tapi sebutan itu jadi lelucon juga sih, bahkan anak-anak di rumah juga sering bilang " Mamah kerjaanya riya teruuuuus, semua dipamerin, sampe upil juga dipamerin " ha-ha-ha

Bebas-bebas aja menampilkan apa saja di media sosial. Setiap orang perlu saluran untuk mengekspresikan dirinya. Caranya bisa bermacam-macam. Gumaman saya itu hanya untuk memberi perspektif dengan kaca mata semiotika.

Saya sedang nabung untuk buat antologi puisi lagi bang. Termasuk pamer gak ya komentar saya ini? Hehehehe......

Pamer karya harus. Tapi jangan semua isi buku diposting di media sosial, nanti orang tidak menemukan sesuatu yang baru ketika membeli buku.

Mas @imansembada, ayo kita ramaikan #SteemLiteracy dengan pameran psotingan dan komentar, hehehehe....

Saya sering melihat beberapa penulis memamerkan buku di sosmed. Bagi saya Bang @musismail, positif saja karena jadi tahu ada buku yang bisa saya cari dan baca di kemudian hari. Apalagi, jika penulis itu ikut meresensi sedikit isi bukunya.

Btw, jadi ingat foto di atas ketika berjumpa di Taufik Kupi, Lhokseumawe, beberapa tahun lalu. Semoga nanti bisa ketemu lagi, entah di Aceh atau Jakarta.

Kami menunggu postingan bergizi dari Bang Mus selanjutnya. Aktivitas moderator memengaruhi member yang lain.

Kalau penulis memamerkan bukunya sendiri tentu wajib. Itu adalah pamer karya. Sebab, karyalah yang seharusnya dipamerkan. Sekaligus promosi. Sebetulnya, yang dibutuhkan oleh pengguna medsos adalah informasi. Nah, apa pun yang dipamerkan, selipkan informasi di dalamnya. Misalnya, memposting buku, berikan informasi cukup tentang buku itu. Lebih bagus lagi ada sedikit ulasan atan komentar. Begitu pula jika kita memamerkan aktivitas kita -- entah makan, jalan-jalan, dan seterusnya - selipkan informasi di dalamnya (entah tentang lokasi, rasa (untuk makanan), kenyamanan, dan sebagainya. Sehingga pengguna medsos atau teman kita merasa berguna dengan apa yang kita "pamerkan". Dengan kata lain, kita bisa memberi nilai sesuatu yang kita "pamerkan" dengan sensitif terhadap "manfaat bagi orang lain". Bukankan sebaik-baiknya manusia bermnfaat bagi orang lain. Tanpa nilai guna bagi orang lain, apa yang kita pamerkan akan terasa sebagai ilusi belaka.

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 59111.01
ETH 2441.11
USDT 1.00
SBD 2.45