Minyak Lepas Pantai Pidie Jaya
"Kiban Pak Edi, neujak u laot tajak kalon tempat bor minyeuk nyan (Bagaimana Pak Edi, melaut kita lihat pengeboran minyak di sana [lepas pantai Meureudu]?" tanya Pawang Nazar.
Saya tersanjung dengan tawarannya. Dulu, semasa SMP dan SMA, saya pernah beberapa kali melaut. Baik dengan boat mesin 40 PK maupun dengan boat pukat. Sekitar 20 tahun lalu.
"Oke. Siap. Kapan aja siap diajak," jawab saya.
"Malam, indah. Kalau siang, gak indah," jelas Pawang Nazar.
Malam Minggu ini kami (saya, Pak Andre, Bang It, Pawang Nazar, Paman, Teungku Ary dan Bang Musa) bicara ke timur ke Barat di Kedai Kopi Bang It. Tapi ketika membahas topik pengeboran minyak di lepas pantai Meureudu, entah mengapa sekonyong-konyong perasaan menjadi tak karuan.
Saya bukanlah pengagum Hasan Tiro kelas berat (keterangan ini sengaja saya tulis sebagai penanda antisipatif di-su'uzankan negara). Namun, di saat berita bahwa minyak di lepas pantai di mana saya dilahirkan sedang dieksploitasi, saya membayangkan Tiro, dulu, di Boston sana. Apa yang dipikirkannya saat itu: berusaha menguasai cadangan minyak tersebut lewat perusahaan koneksinya ataukah yang selama ini menjadi cerita dari mulut ke mulut: muasal Tiro berniat memisahkan Aceh dari Indonesia karena Arun?
Tahun 1958 Tiro menulis sebuah buku berjudul "Demokrasi untuk Indonesia". Jelas saat itu ia masih seorang Indonesianis. Isi buku tersebut sangat blak-blakan. Mungkin demikian cara masa itu orang berpolemik. Kita bisa membaca polemik kebudayaan antara sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) misalnya atau esai-esai Soe Hok Gie yang dikumpulkan dalam satu buku. Tntu nada langsung judul macam 'Wajah Bopeng UI' takkan kita temukan lagi dimuat di media massa dewasa ini. Demikian juga Tiro. Nada tulisannya bahkan terkesan marah kepada Soekarno.
Dari sekian gagasan dalam tulisannya salah satu yang saya ingat adalah pernyataannya mengenai keadilan. Tiro mengatakan bahwa keadilan ekonomi dan sosial akan tercapai jika diawali oleh keadilan politik. Ia mengajukan beberapa negara besar yang menggunakan sistem pemilihan wakil daerah berdasarkan wilayah, bukan per kepala. Jika hal tersebut berlaku, wakil semua provinsi mendapatkan jumlah kursi yang sama DPR RI. Namun karena Indonesia menganut sistem per kepala yang terjadi adalah wakil dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur mengirimkan wakil terbanyak. Sehingga dominasi peran dikuasai oleh tiga wilayah tersebut.
Kalau Anda pernah ke Jawa, maka akan terlihat oleh mata siapa pun bahwa Tiro benar. Keadilan ekonomi dan sosial akan tercapai bila diawali keadilan politik. Bayangkan ke mana aspirasi para dewan dari tiga wilayah dengan penduduk terbesar tersebut? Tentu ke daerah pemilihan (dapil) sendiri. Mereka tentu akan akan membawa pulang 'remah-remah' demokrasi ke kampung sendiri. Mereka tentu akan menyampaikan saran dan pendapat yang menguntungkan daerah sendiri.
Di warung kopi, di tepi jalan Meureudu - Ulim, kami berdebat dan tertawa mengenai minyak di lepas pantai Meureudu. Pikiran kami secara tidak sadar, mungkin, akan terarah ke Lhokseumawe, kota yang punya obor api di pucuk menara tak pernah padam selama puluhan tahun. Kota petro dolar. Kota kiblat para bapak, ibu, anak dara dan anak muda mengukur keindahan berbusana. Namun, di balik itu semua apa yang terjadi? Lhokseumawe mungkin potret Kota Bandung di masa Hindia Belanda di mana orang kaya bukanlah pribumi, tetapi para pendatang dari Eropa.
Akankah Meureudu akan jadi Neo-Lhokseumawe? Ustad Am, wakil Partai PNA Pidie Jaya, dilansir Liputangampongnews.com menyayangkan ketidakterbukaan eksekutif Pidie Jaya mengenai minyak di lepas pantai Pidie Jaya. Sikap Ustad Am atau Nazaruddin Ismail, dalam hal ini, sudah benar meskipun ekses dari 'pernyataan' tersebut akan membuat beliau populis, tapi dikucilkan dari fraksi di DPRK di Pidie Jaya. Yang jelas, apa yang disampaikan Ustad Am, jika memang kenyataannya demikian, Bupati Pidie Jaya harus memberikan klarifikasi terkait minyak di lepas pantai Pidie Jaya. Minimal Pemkab Pidie Jaya dapat menginformasikan bahwa harta karun daerah tersebut akan dapat dinikmati masyarakat dengan beberapa cara. Masyarakat Pidie Jaya tidak akan menjadi 'buya teudöng-döng' terkini sebagaimana dialami masyarakat Lhokseumawe.
Kembali ke Tiro dan "Demokrasi untuk Indonesia" yang mungkin tak banyak dibaca orang Aceh sendiri. Pengalaman Lhokseumawe sebenarnya hanya muara dari keadilan politik yang timpang. Sehingga, jika boleh menebak, jangankan Pemkab Pidie Jaya, ada kemungkinan Pemda Aceh sendiri mungkin juga 'buya teudöng-döng' juga dalam hal pengobaran minyak di lepas pantai Pidie Jaya.
Namun, saya dan kita semua masyarakat Pidie Jaya, berharap mudah-mudahan itu sama sekali tidak benar. Kita berharap, mudah-mudahan, ada sekian persen hasil harta karun tersebut untuk Aceh dan Pidie Jaya dari hasil minyak tersebut. Ada sekian persen tenaga kerja dari Pidie Jaya yang direkrut perusahaan eksploitor minyak di lepas pantai Pidie Jaya.