Catatan Lapangan tentang Aspirasi Rakyat: Ketika Politik Uang Menjadi Penentu Pilihan

in Steem SEAlast month

IMG_1875.jpeg

Ada beberapa perbedaan signifikan yang kutemui antara masyarakat kelas bawah dan menengah ketika menunjukkan pandangannya kepada pemerintah. Fakta lapangan ini tampak ketika aku berkesempatan menemani temanku yang ditugaskan sebagai enumerator di salah satu lembaga survei yang namanya sudah tak asing lagi di Indonesia. Temanku ini memilih untuk menjadi surveyor untuk menambah uang jajan dan mengisi waktu luang di masa libur kuliahnya.

Lembaga survei tempat temanku bekerja paruh waktu ini memiliki reputasi baik dan sering digunakan sebagai rujukan dalam menentukan kebijakan publik maupun peta politik nasional. Namun, bukanlah sebuah rahasia umum badan-badan semacam ini juga ditunggangi oleh segelintir pihak yang ingin menaikkan elektabilitasnya atau mencapai tujuan politik tertentu (who knows?)

Aku bisa mengatakan lembaga yang satu ini sekelas dengan Poltracking dan Charta Politika secara reputasinya, dan ya, aku tak akan dengan gamblang menyebut merek dagang sebab ini menyangkut reputasi perusahaan orang lain.

Yang jelas, lembaga survei perannya amat krusial dalam membentuk opini publik dan bagaimana data yang dihasilkan bisa dimanipulasi demi kepentingan tertentu.

IMG_1871.jpeg

Survei yang dijalani kali ini bertemakan persepsi masyarakat terhadap pemerintah kota dan provinsi. Meski temanya terkesan netral, fakta berkebalikan kutemukan ketika pertanyaan demi pertanyaan wawancara kami utarakan ke para responden. Pertanyaan-pertanyaan ini mengerucut ke beberapa nama-nama sentral dari salah satu partai paling dominan di Aceh.

Amat jelas kelihatannya bagaimana masyarakat miskin dan menengah memiliki paradigma berbeda dalam memandang isu-isu politik dan pemerintahan. Orang miskin cenderung memilih opsi-opsi kebijakan yang cenderung menyelesaikan masalah mereka di detik ini juga.

Orang miskin lebih banyak bicara soal harga kebutuhan pokok yang kian melambung, sulitnya mendapatkan pekerjaan, dan bantuan langsung tunai (BLT) yang belakangan tinggal secolek. Tak jarang kami dikira orang partai yang datang untuk memberikan bantuan. Maklum, namanya juga musim politik.

Satu hal yang paling membuatku terhenyak adalah ketika orang-orang ini ditanyai, "Siapa calon walikota/gubernur yang akan anda pilih di Pilkada 27 November nanti?"

Tebak apa jawabannya?

"Siapa yang kasih duit, lah."

GODDAMN IT!!!

IMG_1873.jpeg

Hampir sama edan-nya. Mereka juga dengan gamblang menjawab "ya" saat dilontarkan pertanyaan, "Apakah anda bersedia menerima serangan fajar (vote buying)?"

Jawaban-jawaban ini menjadi representasi bahwa bagi masyarakat kelas bawah, isu-isu politik bukanlah prioritas utama. Yang lebih krusial bagi mereka adalah pemenuhan kebutuhan sehari-hari, meskipun harus terlibat dalam praktik-praktik politik uang yang tak etis semacam serangan fajar tadi.

Di situ aku sadar bahwa permasalahan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) bukanlah perkara enteng untuk diberantas. Budaya ini telah berawal dari akar rumput masyarakat Indonesia itu sendiri.

Sebaliknya, masyarakat kelas menengah memperlihatkan pendekatan yang lebih diplomatis dan analitis. Mereka cenderung mengkaji permasalahan dengan sudut pandang yang lebih luas. Masyarakat kelas menengah yang lebih terdidik bukannya tak merasa frustrasi dengan sistem yang ada, hanya saja suara mereka belum cukup kuat untuk mengubah tatanan yang sudah mengakar.

Isu-isu seperti transparansi pemerintah, korupsi, dan kebijakan ekonomi makro menjadi topik utama yang sering mereka dengungkan saat proses wawancara berlangsung. Kudapati ini berkorelasi dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan hidup yang lebih layak, sehingga orang-orang ini mampu menyampaikan kritik dengan argumen yang terstruktur dan data yang mendukung.

Mereka lebih cenderung memilih calon pemimpin berdasarkan rekam jejak dan program kerja yang ditawarkan, bukan sekadar janji-janji populis atau iming-iming materialis.

Bagaimanapun, suara rakyat bukanlah alat ukur tetap yang semata-mata berasal dari satu perspektif saja. Setiap kelas sosial punya caranya sendiri dalam menyuarakan aspirasi, dan semua masukan sama vitalnya dalam rangka membangun negeri ini menjadi lebih baik lagi.

Di sinilah lembaga survei memiliki peran krusial dalam menangkap realitas sosial dan menyuarakannya ke tingkat yang lebih tinggi. Integritas sebuah lembaga survei harus dijaga agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sempit. Transparansi dalam metodologi survei, keterbukaan dalam publikasi data, dan keberanian untuk tetap netral adalah beberapa hal yang harus dijunjung tinggi oleh lembaga survei.

Meunan lah kira-kira…

Sort:  

Upvoted. Thank You for sending some of your rewards to @null. It will make Steem stronger.

 last month 

Thank you;)

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.15
JST 0.031
BTC 60860.94
ETH 2672.87
USDT 1.00
SBD 2.62