Pelatihan menjadi ahli pers Indonesia di Tangerang.

---

SEVERAL articles in the Draft Criminal Code (RKUHP) have the potential to threaten press freedom, at least if the July 4 version of the draft is used as a reference. The struggle for the elimination of problematic articles must be carried out since the regulation is still an embryo before it is too late. The press must strengthen synergy and collaboration with various stakeholders.

In the inventory list of issues on the July 4, 2022 version of the Criminal Code Bill, at least 19 articles were found that endanger press freedom, based on the results of a study by the Alliance of Independent Journalists (AJI) with an expert from the Faculty of Law, Gadjah Mada University, Herlambang P. Wiratraman (www.aji.or.id) ). The findings are based on the results of the sweep conducted and are closely related to press freedom. Of course, there are still other problematic articles related to other aspects such as employment, the environment, and so on. No wonder there is a reaction from labor organizations and environmental activists.

Shared responsibility

This fact proves that the RKUHP is not going well and requires real action from all parties to stem the passage of these problematic articles. This responsibility does not only rest with the Press Council, journalists or mass media companies. All parties must bear this responsibility—including members of the DPR-RI—because freedom of the press is an important slice of the progress of democracy that we used to fight for together.

Article 188 in the RKUHP is an example of a problematic article that does not only relate directly to press freedom. Academic circles are also potentially entangled with the threat of a sentence of four years in prison. The phrase “spread and develop the teachings of communism, marxism/Leninism in public orally or in writing, including spreading or developing through any media”, has the potential to be interpreted biasedly.

The study of these teachings, which are actually included in the academic realm, has the potential to shift to criminal matters. The existence of a verse that states that a sentence will not be punished if the study is for the sake of science becomes fragile with several "incriminating" verses on it.

The criminal potential for the press is also contained in Article 218, Article 219, Article 220, Article 240, and Article 241 which are more political in nature because they involve the interests of the president/vice president and the government. These five articles want to smell like colonial heritage because they are very thick with haatzaai-articleen (hate-spreading articles). The use of these articles to curb press freedom is very large because it is included in the political sphere.

Similar conditions also exist in Chapter IX regarding criminal acts against public powers and state institutions. There are at least three articles in this chapter—according to AJI's notes—that have the potential to suppress press freedom. Other articles, such as insults, are also considered problematic for press freedom.

When viewed further, the problematic articles in the RKUHP are also substantially included in pre-existing regulations, such as the ITE Law, especially articles on defamation. These articles, if later passed and passed, will become a shackle to press freedom, and freedom of expression, and become poison for the growth of democracy.

The linkage between one article and another causes the work of the media and the general public to be entangled with multiple articles with higher legal threats. This is another reason why problematic articles in the RKUHP must be removed not only by mass media crews but all levels of society. Just like the Covid-19 virus, which "anyone can get it", this RKUHP also has the same tagline.

Synergy and collaboration between all stakeholders such as the Press Council, journalist organizations whether they are constituents of the Press Council or not, academics, workers, non-governmental organizations, all civil elements, are a necessity for the struggle to abolish these articles. Even if there is a neglect of the demands for the abolition of these articles by the DPR and the government, the language in the articles can be edited by the editor so that they are not biased in their interpretation.

Respect the Press Law

The emergence of problematic articles is a neglect of the existence of Law Number 40 of 1999 concerning the Press. Regardless of the pros and cons of the existence of the regulation as lex specialis or not, its existence must be respected by all parties, especially the government and the DPR-RI. The birth of freedom of the press is also the result of the struggle of members of the DPR in the past that should not be betrayed. It would be wrong if a member of the DPR-RI wants to build the authority of the state symbol and state institutions by curbing the freedom of the press and freedom of expression.

A member of Commission III of the DPR-RI from the PKS faction, Muhammad Nasir Djamil, in a discussion with AJI Bireuen, early last August, recommended that journalists' organizations take an inventory of all members of the council in Senayan who are journalists. Through these DPR members, journalists can express their aspirations even though some of them are outside Commission III.

There is nothing wrong with this suggestion, not the only path of struggle. The Sowan conducted by the Press Council to all factions in the DPR must also be carried out by other elements who want to maintain press freedom. Academics and other elements must also fight for the elimination of problematic articles in the RKUHP through various existing channels.[]

---

Para peserta.

---

Bersama Wira, ketua AJI Palembang yang putra Aceh Tamiang.

---

Sinergitas dan Kolaborasi untuk Penghapusan Pasal Bermasalah di RKUHP

SEJUMLAH pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi mengancam kebebasan pers, setidaknya bila rancangan versi 4 Juli dijadikan rujukan. Perjuangan untuk penghapusan pasal-pasal bermasalah harus dilakukan sejak regulasi masih berupa embrio, sebelum terlambat. Pers harus memperkuat sinergitas serta kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan.

Dalam daftar inventaris masalah RUU KUHP versi 4 Juli 2022, sedikitnya ditemukan 19 pasal yang membahayakan kebebasan pers, berdasarkan hasil kajian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dengan ahli dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang P. Wiratraman (www.aji.or.id). Temuan itu berdasarkan hasil penyisiran yang dilakukan dan berkaitan erat dengan kebebasan pers. Tentunya masih ada pasal bermasalah lain yang berkaitan dengan aspek lain seperti ketenagakerjaan, lingkungan, dan sebagainya. Tidak heran jika ada reaksi dan organisasi buruh serta pegiat lingkungan.

Tanggung jawab bersama

Kenyataan ini membuktikan bahwa RKUHP tidak baik-baik saja dan membutuhkan aksi nyata semua pihak untuk membendung lolosnya pasal-pasal bermasalah tersebut. Tanggung jawab itu bukan hanya berada di pundak Dewan Pers, jurnalis, atau perusahaan media massa. Semua pihak harus memikul tanggung jawab tersebut—termasuk anggota DPR-RI—karena kebebasan pers merupakan irisan penting dari kemajuan demokrasi yang dulu kita perjuangkan bersama.

Pasal 188 dalam RKUHP merupakan salah satu contoh pasal bermasalah yang tidak saja bersinggungan langsung dengan kebebasan pers. Kalangan akademis juga berpotensi terjerat ancaman hukuman empat tahun penjara. Frasa “menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme, marxisme/leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun”, berpotensi ditafsirkan secara bias.

Kajian terhadap ajaran tersebut yang sebenarnya masuk dalam ranah akademik, berpotensi bergeser ke pidana. Adanya ayat yang menyatakan tidak akan dipidana bila kajian untuk kepentingan ilmu pengetahuan, menjadi rapuh dengan beberapa ayat yang “memberatkan” di atasnya.

Potensi pidana bagi pers juga terdapat dalam Pasal 218, Pasal 219, Pasal 220, Pasal 240, dan Pasal 241 yang lebih bernuansa politis karena menyangkut kepentingan presiden/wakil presiden serta pemerintah. Kelima pasal ini mau berbau warisan kolonial karena sangat kental dengan haatzaai-artikelen (artikel penyebaran kebencian). Penggunaan pasal-pasal ini untuk mengekang kebebasan pers sangat besar karena masuk dalam ranah politik.

Kondisi serupa juga ada dalam Bab IX tentang tindak pidana terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Sedikitnya ada tiga pasal dalam bab ini—menurut catatan AJI—yang berpotensi memberangus kebebasan pers. Pasal-pasal lainnya seperti penghinaan, juga dinilai bermasalah bagi kebebasan pers.

Ditilik lebih jauh, pasal-pasal bermasalah di RKUHP secara substansial juga masuk dalam regulasi yang sudah ada sebelumnya, seperti UU ITE, terutama pasal-pasal pencemaran nama baik. Pasal-pasal ini, kalau kemudian lolos dan disahkan, akan menjadi belenggu bagi kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan menjadi racun bagi pertumbuhan demokrasi.

Keterkaitan antara satu pasal dengan pasal lainnya, menyebabkan pekerjaan media dan masyarakat umum dijerat dengan pasal berlapis dengan ancaman hukum yang lebih tinggi. Ini menjadi alasan lain mengapa pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP harus diwujudkan penghapusannya tidak hanya oleh awak media massa, tetapi seluruh lapisan masyarakat. Sama seperti virus Covid-19 yang “siapapun bisa kena”, RKUHP ini juga memiliki tagline sama.

Sinergitas dan kolaborasi antara semua pemangku kepentingan seperti Dewan Pers, organisasi jurnalis baik yang menjadi konstituen Dewan Pers atau belum, akademisi, buruh, lembaga nonpemerintah, seluruh elemen sipil, menjadi keniscayaan bagi perjuangan untuk menghapus pasal-pasal tersebut. Kalaupun ada pengabaian terhadap tuntutan penghapusan pasal-pasal tersebut oleh DPR dan pemerintah, bahasa dalam pasal-pasal bisa diedit redaksinya sehingga tidak bias dalam penafsirannya.

Hormati UU Pers

Munculnya pasal-pasal bermasalah merupakan pengabaian terhadap keberadaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terlepas dari pro dan kontra tentang keberadaan regulasi tersebut sebagai lex specialis atau bukan, tetapi keberadaannya harus dihormati semua pihak, terutama pemerintah dan DPR-RI. Lahirnya kebebasan pers merupakan juga hasil perjuangan anggota DPR di masa lalu yang tidak sepantasnya dikhianati. Adalah keliru jika ada anggota DPR-RI ingin membangun kewibawaan simbol negara dan lembaga negara dengan mengekang kebebasan pers dan kebebasan bereskpresi.

Anggota Komisi III DPR-RI dari Fraksi PKS, Muhammad Nasir Djamil, dalam diskusi dengan AJI Bireuen, awal Agustus lalu, merekomendasikan agar organisasi jurnalis menginventarisir semua anggota dewan di Senayan yang berlatar wartawan. Melalui anggota DPR tersebut, wartawan bisa menyampaikan aspirasi meski ada di antara mereka berada di luar Komisi III.

Saran tersebut tidak salahnya dilakukan bukan satu-satunya jalur perjuangan. Sowan yang dilakukan Dewan Pers ke semua fraksi di DPR juga harus dilakukan elemen lain yang ingin merawat kebebasan pers. Pihak akademisi dan elemen lainnya juga harus memperjuangkan penghapuasan pasal bermasalah dalam RKUHP melalui berbagai saluran yang ada.[]

---

Bersama Agus Perdana, mantan Ketua AJI Medan yang juga ahli pers Indonesia.