Melawan (K)otak Kosong! | Fighting against Empty Brains in Single Candidate Elections
Fenomena kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia bukanlah hal baru karena sudah terjadi dalam beberapa pilkada sebelumnya. Namun, khusus Aceh baru dalam Pilkada 2024 ini munculnya calon tunggal. Tidak ada satu daerah, tetapi di dua kabupaten, yakni Aceh Utara dan Aceh Tamiang.
Di Kabupaten Aceh Utara, pasangan Ismail A. Jalil dan Tarmizi yang notabene adalah kader Partai Aceh, didukung 15 partai politik yang memperoleh 44 dari 45 kursi yand ada di Aceh Utara atau setara dengan 98,4 persen suara sah.
Sedangkan di Kabupaten Aceh Tamiang, pasangan Armia Fahmi dan Ismail didukung oleh semua partai politik yang mendapatkan kursi di kabupaten paling timur Provinsi Aceh tersebut. Bahkan partai yang tidak mendapatkan kursi tetapi memperoleh suara seperti PKB, PDI Perjuangan, dan PSI, juga ikut mendukung pasangan tersebut.
Fenomena pasangan calon tunggal dalam pilkada tahun ini bisa dilihat dari berbagai sisi. Bagi Aceh yang sebagai daerah yang pertama kali membuka ruang calon kepala daerah melalui jalur perseorangan (independen), situasi ini bisa dilihat sebagai sebuah kemunduran demokrasi. Tidak ada lagi pertarungan program dan ideologi dari masing-masing pasangan calon.
Lebih aneh lagi ketika melihat ada sejumlah partai politik yang berbeda secara ideologis, tiba-tiba satu suatu dalam mengusung pasangan calon. Berbagai program dan pendidikan politik yang selama ini mereka suarakan, ternyata harus berkompromi untuk kepentingan politik.
Tidak ada lagi partai idealogis, semua menjadi seragam, menjadi partai pragmatis.
Muncul pertanyaan, kalau semua partai akhirnya berpikir pragmatis untuk pembagian kekuasaan, di mana letak nilai ideologi partai. Semua partai menjadi seragam. Lantas, masih layakkah sistem multipartai seperti sekarang dipertahankan?
Kekhawatiran lain yang muncul dari calon tunggal melawan kotak kosong adalah tidak adanya perimbangan kekuasaan di parlemen. Daya kontrol menjadi lemah karena kepala daerah terpilih diusung oleh semua partai politik yang mendapatkan kursi.
Masyarakat pemilih tidak memiliki pilihan dari meski pasangan calon yang ada memiliki rekam jejak buruk atau program yang ditawarkan tidak merefleksikan kebutuhan daerah.
Tidak ada lagi pertarungan ide dan program. Tidak ada debat kandidat untuk mengukur kualitas calon kepala daerah. Pilihannya, mencoblos kotak kosong atau memenangkan pasangan calon yang tidak sesuai hati nurani.
Saatnya, sistem pasangan calon tunggal ini dievaluasi kembali meski dulu sempat menjadi perdebatan sampai di Mahkamah Konsitusi.[]
Fighting against empty brains in single candidate elections
The phenomenon of empty boxes in regional head elections in Indonesia is not new because it has occurred in several previous regional elections. However, specifically in Aceh, only in the 2024 Pilkada has a single candidate emerged. Not in one region, but in two districts, namely North Aceh and Aceh Tamiang.
In North Aceh Regency, the pair Ismail A. Jalil and Tarmizi, who are cadres of the Aceh Party, are supported by 15 political parties that won 44 of the 45 seats in North Aceh or equivalent to 98.4 percent of valid votes.
Meanwhile, in Aceh Tamiang Regency, the pair Armia Fahmi and Ismail are supported by all political parties that won seats in the easternmost district of Aceh Province. Even parties that did not win seats but won votes such as PKB, PDI Perjuangan, and PSI, also supported the pair.
The phenomenon of single candidate pairs in this year's regional elections can be seen from various sides. For Aceh, which is the first region to open up space for regional head candidates through individual (independent) channels, this situation can be seen as a setback for democracy. There is no longer a battle of programs and ideologies from each candidate pair.
It is even stranger when you see a number of political parties that differ ideologically, suddenly one in carrying a candidate pair. The various programs and political education that they have voiced so far, have to compromise for political interests.
There is no longer an ideological party, all become uniform, become a pragmatic party.
The question arises, if all parties finally think pragmatically about the division of power, where is the value of the party's ideology. All parties become uniform. So, is it still appropriate to maintain the current multiparty system?
Another concern that arises from a single candidate against an empty box is the absence of a balance of power in parliament. The power of control becomes weak because the elected regional head is carried by all political parties that get seats.
The voting public has no choice even though the existing candidate pair has a bad track record or the program offered does not reflect the needs of the region.
There is no longer a battle of ideas and programs. There is no candidate debate to measure the quality of regional head candidates. The choices are to vote for an empty box or to win a candidate pair that is not in accordance with one's conscience.
It is time for this single candidate pair system to be re-evaluated even though it was once a debate all the way to the Constitutional Court.[]