Obama, Penerang Sejarah Hitam, dan Kedekatan Kita
"20 Januari 2009, Barack Obama menciptakan sejarah baru; sebagai Presiden AS pertama berkulit hitam. Obama, menjadi anti tesis ditengah tesis mitos, bahwa tak akan pernah akan ada Presiden Amerika berkulit hitam. Tapi, kenyataan, malah sebaliknya".
Dari Illinois, sebuah negara bagian dari Amerika, segalanya bermula. Lelaki berambut pendek dengan kulit gelap, adalah (yang) kelak ditakdirkan sebagai orang nomor satu di negeri adidaya; Amerika Serikat (AS).
Pri kelahiran Hawaii ini, mulanya adalah pengajar di bidang Hukum di Universitas Chicago. Barack Obama, mulai meroket namanya saat ia terpilih menjadi senat AS.
Bahkan, ia memenanginya lebih dari satu kali. Setelah kenyang pengalaman menjadi senat, Obama yang sudah cukup dikenal dan merasa mendapatkan dukungan serta kepercayaan diri yang ada, memantapkan diri untuk maju sebagai calon Presiden Amerika, 10 Februari 2007.
Singkatnya, setelah berbagai persaingan politik yang sengit dengan segala intrik yang ada, Obama yang diusung Partai Demokrat, keluar sebagai pemenang dengan mengalahkan pesaing beratnya McCain dari Partai Republik.
4 November menjadi hari yang bersejarah untuk Obama dan rakyat AS. Obama yang awalnya tidak begitu diunggulkan bahkan diserang isu rasisme keluar sebagai pemenang. Obama yang besar dari rahim Partai Demokrat, langsung berpidato di hadapan pendukungnya:
Pidato Obama cukup menyentak. Mengingat, Amerika yang selama ini mendewakan diri sebagai pemilik demokrasi terbaik di dunia, justru, merekalah yang merusaknya! Bila memang tak ingin dikatakan munafik. Peperangan dengan invansi ke negara lain, rasisme di dalam negeri, ketimpangan, dsb, adalah sekumpulan bukti bahwa banyak yang keliru dari AS sendiri.
Maka, setelah kemenangan 4 November. Tepat pada tanggal 20 Januari 2009, Barack Obama "resmi" dilantik sebagai presiden Amerika Serikat (AS) yang ke 44. Yang paling istimewa dan menyita perhatian dunia adalah, Obama berhasil memecahkan mitos; bahwa belum ada satupun presiden dari kalangan kulit hitam yang menjadi presiden AS. Dengan segala fakta di atas, Obama tak ubahnya sebentuk ketidakmungkinan yang menjadi kenyataan, pahlawan bagi kaum berkulit hitam, sejarah terang bagi kelamnya rasialisme. Obama dan dunia pada hari itu (22 Januari 2009), tak ubahnya "hansaplas" yang menutupi sebahagian wajah demokrasi AS yang terlanjur luka.
Lantas, bagaimana Obama dan kita? Kita, baik di Indonesia maupun regional Asia Tenggara, memiliki ikatan yang relatif cukup baik dengan Obama. Sebagaimana yang telah kita ketahui, Obama, menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Indonesia. Ia tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Salah satu daerah tempat Obama bersekolah ialah di Menteng Dalam, Jakarta. Obama kecil, layaknya anak-anak pada umumnya, kerap menghabiskan waktu bermain bola di antara gang-gang. Juga, bermain layang-layang bersama teman-temannya yang lain.
Selain Jakarta, ada beberapa daerah lain yang istimewa dalam tumbuh-kembangnya Obama. Dua diantarnya adalah Yogjakarta dan Bali. Hal ini, kembali terkuak ke publik, manakala Obama setelah selesai dari jabatannya sebagai presiden, berlibur ke Indonesia.
Di Jogja, tepatnya di Bulaksumur, merupakan rumah paman tirinya, Imam Soetiknjo. Setiap kali musim libur datang, Obama bertandang ke rumah pamannya. Konon kabarnya, tempat tersebut sudah dijadikan museum dan resmi dibuka tanggal 12 Juni 2012 yang lalu. Saat kunjungan kemarin waktu, Obama mengunjungi beberapa tempat bersejarah di Jogja, salah satunya adalah Candi Prambanan. Selain itu, Bali juga istimewa bagi Obama. 2017 adalah kali terakhir Obama berlibur bersama keluarga di sana.
Sesungguhnya, Obama dan kita tak ubahnya sebentuk mozaik bagaimana akulturasi kebudayaan, nasib, dan diaspora menemukan momentum untuk menjadi "sesuatu" yang hebat. Orang-orang boleh jengkel lalu berceloteh; "Orang kita, suka kali baper, mentang-mentang udah jadi orang, udah ngaku-ngaku Indonesia". Tak ada yang salah memang, tapi, ada satu pertanyaan mendasar yang patut direnungkan; "Selain Soekarno dan John F. Kennedy, adakah yang lebih mengeratkan antara Indonesia dan AS dari sisi akses dan kemudahan?". Kita bisa berdebat panjang, dengan segala argumentasi dan data yang ada, sekalipun di antara benci dan suka, bukankah selalu ada manfaat disetiap kemudharatan, ataupun, sebaliknya.
Bakso, sate, tempe menjadi simbol bahwa ada rasa Indonesia di lidahnya. Masa lalu di Menteng dengan ayah tiri Indonesia, adalah alasan bahwa di hatinya Indonesia bukanlah sekadar basa-basi belaka. Kunjunganya yang lebih dari satu kali bahkan setelah ia tak lagi menjabat, tak ubahnya bukti bahwa ada kemauan untuk mengingat dan merenda lagi dan lagi hubungan yang sudah ada, yang mungkin, sempat renggang sebelumnya.
Obama, dibalik segala lebih dan kurangnya, adalah sebentuk telapak tangan yang kerap membuka lebar untuk bergenggaman dengan kita. Bahkan merangkul dunia. Tentu, ada banyak cacat di sana-sini. Tapi, singkat kata, menginggat Obama dan membandingkannya dengan Trump, dunia sepakat; keduanya, bagaikan langit dan bumi. Entahlah.
Setiap pemimpin ada hal yang dikedepankan, di tanah air kita perbandingan SBY dengan Jokowi.
Benar sekali.
Mengingat tentang Obama aku jadi teringat dengan sebuah kelompok kecil bernama "Birthers". Mereka meragukan kewarganegaraan Obama. Mereka bilang, Obama sebenarnya lahir di Kenya atau Indonesia. Hahaha
Haha so pasti. Untung lahirnya gak di Lamtumen. Wkwk