Narasi Damai Aceh dalam Lintas Waktu Berkanal Steemit

in #history6 years ago (edited)

image

Dalam mitologi barat, angka 13 dianggap sebagai perlambangan sial, ketidakberuntungan, dan undangan malapetaka. Kemarin, Bangsa Aceh memperingati 13 tahun perdamaian antara Aceh dan pusat (Jakarta). 15 Agustus 2005 kesepakatan damai tersebut tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandantangani oleh utusan Pemerintah Republik Indonesia dengan perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) serta unsur ketiga, dsb.

Selama 13 tahun usia perdamaian, ada banyak hal positif yang dirasakan masyarakat, pun tidak sedikit hal negatif yang menjadi catatan Pekerjaan Rumah (PR) yang patut dibenahi.

Kali ini, peringatan perdamaian tak seheboh atau hikmat seperti yang lalu. Boleh jadi, pemerintahan provinsi sedang goyang lantaran rentetan kasus yang sedang menimpa, ditambah lagi berlabrakan dengan momen Pekan Kebudayaan Aceh (PKA)-7. Sepinya peringatan perdamaian harusnya menjadi cambuk bagi kita, bahwa (boleh jadi) sepi ini menjadi awal mula yang akan dilupakan di kelak waktu.

Tercapainya kesepakatan kedua belah pihak, dicatat harum dalam lintas sejarah. Sampai-sampai, Aceh menjadi role model bagi banyak daerah. Baik lokal hingga level internasional. Bahkan, salah satu inisiator MoU Helsinki, Mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari mendapatkan nobel perdamaian.

image

Sudah 13 tahun perjalanan perdamaian Aceh, isu ekonomi masih menjadi headline di lini massa. Kemiskinan yang masih tinggi, bahkan tertinggi kedua se-Sumatra, harusnya menjadi fokus yang tidak bisa disepelekan. Energi publik, tak boleh lagi terkuras hanya karena rangsangan untuk menggosipi elit politik Aceh ihwal berapa kali sudah menikah. Lebih dari itu, kontrol publik terhadap elit dengan segala program yang ada, harusnya berjalan dengan baik dan benar.

Kita ingin melihat Aceh marathon dalam hal prestasi dan prestise, sejauh ini dua hal itu terbilang kurang. Andaipun ada, predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terlalu remeh untuk dibanggakan. Kita ingin Aceh yang hebat, Aceh makmur dengan ladang pertanian yang stabil. Keluhan kekeringan, harusnya tak ada lagi, irigasi merupakan keniscayaan yang tak boleh ditawar. Selama ini, persoalan real di akar rumput hanya dibahas saat Pilkada dan Pileg menjelang. Lepas itu terlupakan.

Mungkin, PR lainnya adalah kita sudah berdamai dengan musuh, tapi masih susah berdamai dengan diri sendiri dan sesama Aceh. Kue'h bagian dari karakter orang Aceh dalam paket patologi sosial. Suka menggunting dalam lipatan dan sipak tumet rakan, masih marak di hadapan mata.

Aceh, tak boleh lagi mabuk dalam testimoni bangsa teulebeh ateuh rung donya (bangsa terbaik di atas muka bumi). Namun, realistis dan adaptif terhadap keadaan. Dunia berubah dengan segala dinamika yang ada, sejarah yang agung memang menyilaukan, namun bukan Paracetamol yang bisa meredakan demam kemarok yang Aceh banget.

image

Memaafkan diri sendiri juga bagian yang paling fundamental. Sebab, perkara besar sering lahir dan tumbuh manakala kita tidak tahu diri, tidak mengerti keadaan dan terlalu naif memilah persoalan. Merawat perdamaian tidak hanya bisa dilakukan dengan mengungkap korban kekerasan di masa lalu, pun perlu menata hati agar jiwa besar itu tumbuh.

Mentalitas lamiet (budak) sejak dahulu diperangi atau di-warning Hasan Tiro, hanya saja beberapa dari sebahagian kita, entah sadar atau tidak, masih punya sifat tersebut. Sebagai contoh, menghambakan diri di hadapan proyek adalah salah satunya.

Kerja-kerja intelektual penting. Tapi tidak lagi penting amat, saat kita dapati para intelektual kita hanya menjual narasi konflik untuk meng-goal-kan proposal penelitian demi kucuran dana penelitian. Selepas itu, pengetahuan memang terbantu, adanya jurnal, dsb yang dapat dijadikan referensi. Namun, efek berlebih, rasa-rasanya masih belum begitu terasa. Keilmuan kita, keintelektualan para pakar, acap kali gading dan hanya dapat dinikmati oleh sebahagian pemilik akses ataupun kuasa.

Untuk itu, rawatlah perdamaian ini dengan keikhlasan dan upaya masing-masing dengan dan di ranah tersendiri. Perdamaian bukanlah kebetulan, tapi ganjaran dari darah yang menyungai atas nama perjuangan pada masa itu. Belum lagi, tragedi gempa dan tsunami sebagai bahasa alam yang kita baca sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya. Damai Aceh merupakan anugerah Allah SWT yang tak terkira. Merawat perdamaian, berarti bersyukur atas rahmah dan kasih sayang Sang Maha.

image

Merawat perdamaian Aceh tidak cukup dengan seremonial belaka. Lebih jauh, berefleksi dari setiap gurat peristiwa sejarah maupun tenun realitas, adalah sehimpun modal bagi kelanggengan perdamaian. Damai tak akan awet hanya karena status di Facebook, WA, Twitter, dll. Tapi tidak-tanduk yang nyata dari segenap elemen ialah perisai untuk itu. Sedangkan menulis tentang perdamaian Aceh, menjadi bagian dari kerja sejarah dan tanggung jawab moral sebagai Aceh, bahwa peristiwa bersejarah ini akan dan harus terus dikenang oleh kita hingga generasi mendatang.

Dan menulis 13 tahun peringatan perdamaian Aceh di Steemit juga ikhtiar menyuarakan keberkahan ini kepada segenap steemians, terutama bagi non Aceh dan generasi muda. Sebab, narasi damai perlu terus ditulis berulang-ulang, di manapun dan kapanpun, agar ia tetap melekat di benak dan hati. Tanpa terkecuali di Steemit.

Bila lah hal ini putus, narasi perdamaian Aceh sungguh hanya bom waktu yang kelak meledak dan dilupakan. Bukankah dalam teori konflik, siklusnya berulang? Hanya saja, kita (manusia), punya kuasa untuk meminimalisir dan menjarakkan kemungkinan buruk tersebut. Akhirnya, selamat merayakan dan memperingati 13 tahun perdamaian Aceh.

Sort:  

Oma na geuh bg pitung lago.
Semoga beluah kubu ke mandum pejuang...

Amin ya Allah. Beu luah kubu keu mandum pejuang bansa.

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.031
BTC 62974.52
ETH 2679.49
USDT 1.00
SBD 2.55