The story of the struggle of Abu Cot Plieng Bayu, North Aceh /^\ Kisah perjuangan Abu Cot Plieng Bayu, Aceh Utara.

in #history6 years ago

image
Source


Dear Steemians.



Cot Plieng Monument, located on the outskirts of state road Medan -Banda Aceh, about 12 kilometers east of Lhokseumawe city. This location is included in the area of ​​Kec. Syamtalira Bayu, North Aceh. Here, there was a heroic turn of the clerics of North Aceh, a relationship with Japan, to the extent that the birth of the slogan. "Talet bui, tapeutamong asei." (Bahasa Aceh-red). That is, chase away the pig, Receive the dog. To revive our memories, Be alerted to Prof. A. Hasjimy (deceased), according to the book "Spirit of Independence" which this history was written by him during his lifetime. In general, the compilation of ulema in Aceh is divided into two components. First PUSA (Association of Ulama All Aceh) called by young scholars, while the second component. That is, non-PUSA scholars called the old ulama (Abu) who are all the leaders of dayah / pesantren. Young clerics fight against Japan with politics, while elderly clerics fight against Japan, with a hard expression or opposition enough to confuse the Japanese to deal with it.

Monumen Cot Plieng, terletak di pinggir jalan negara Medan -Banda Aceh, sekitar 12 kilometer arah timur kota Lhokseumawe. Lokasi ini termasuk dalam wilayah Kec. Syamtalira Bayu, Aceh Utara.
Di sini, dulu terjadi peristiwa heroik para ulama Aceh Utara, menentang kerjasama dengan Jepang, sampai-sampai lahirnya semboyan. "Talet bui, tapeutamong asei." (Bahasa daerah Aceh-red). Artinya, mengusir babi, menerima anjing. Untuk menyegarkan kembali ingatan kita, Waspada menjadikan narasumber Prof. A. Hasjimy (almarhum), sesuai buku "Semangat Merdeka" yang sejarah ini disusun beliau semasa hayatnya.
Secara umum, ketika itu ulama di Aceh terbagi dalam dua komponen. Pertama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang disebut dengan ulama muda, sedang komponen kedua. Yaitu, ulama non PUSA yang disebut dengan ulama tua (Abu) yang kesemuanya pimpinan dayah/pesantren. Ulama muda melawan Jepang dengan politik, sementara ulama tua melawan Jepang, dengan oposisi keras atau perlawanan bersenjata yang cukup memusingkan Jepang untuk menghadapinya.

image
Source

he reaction of this old cleric helped the political struggle of the young cleric (PUSA), in order to urge Japan to give wider opportunities for the ulama to sit in the government. This strategy (politics), or the first step towards the seizure of Indonesia is from the hands of the invaders. The PUSA struggle succeeded, with the Japanese provision giving the ulama right to form the Sharia Court throughout Aceh, including the personnel of the District Court (PN) filled with the scholars. Also PUSA / Kasysyafatul Islam youths, accepted to be trained as officers in the Gyugun and Tokubetsu peace organization. The famous old cleric in North Aceh, Tgk.Abdul Jalil, from Buloh Blang Ara, is very aggressive against the Japanese. He (kharismatic cleric) graduated from some famous dayah in Aceh, and then went home to Tliek's Cot Plieng (Bayu) chairman. Ahmad who finally married with one of Tgk's daughter. Ahmad (Tgk Asiah), as well as the leader of this dayah submitted to Tgk. Abdul Jalil, with Tgk's nickname. Chik.

Reaksi ulama tua ini sangat membantu perjuangan politik ulama muda (PUSA), dalam rangka mendesak Jepang agar memberi kesempatan yang luas kepada para ulama untuk duduk seiring di dalam pemerintahan. Ini siasat (politik), atau langkah awal ke arah perebutan Indonesia ini dari tangan penjajah.
Perjuangan PUSA berhasil, dengan uluran Jepang memberi hak kepada ulama untuk membentuk Mahkamah Syariah seluruh Aceh, termasuk personil Pengadilan Negeri (PN) diisi para ulama. Juga para pemuda PUSA/Kasysyafatul Islam, diterima untuk dilatih menjadi perwira dalam organisasi ketenteraman Gyugun dan Tokubetsu.
Ulama tua di Aceh Utara yang terkenal namanya, Tgk.Abdul Jalil, asal Buloh Blang Ara, sangat agresif melawan Jepang. Ia (ulama kharismatik) jebolan beberapa dayah terkenal di Aceh, lalu pulang kedayah Cot Plieng (Bayu) pimpinan Tgk. Ahmad yang akhirnya kawin dengan salah seorang putri Tgk. Ahmad (Tgk. Asiah), sekaligus pimpinan dayah ini diserahkan kepada Tgk. Abdul Jalil, dengan panggilan akrab Tgk. Chik.

image
Source

Tgk. Abdul Jalil and his friends secretly engage in anti-Japanese preaching, with the call of fisabilillah jihad from village to village in North Aceh District. At the end of 1942 the tacit propagation turned out to be overt. This propagation was quickly ignited, because of the cruel, rude and barbaric attitude of Japan down the kirei (respect) command to Tenno Haika facing east. The crystallized jihad spirit is known by Japanese intelligence, and they attempt to extinguish the fire through Hulubalang (Ampon-ampon), their apparatus of the Acehnese tribe, called Gunco (wedana) and Sonco (camat). Japan also with his intellect to persuade the young scholars of the organization PUSA to do counter da'wah, against dakwah Tgk.Abdul Jalil, but PUSA with various tactics refused. Failure of amphibious efforts (Hulubalang) to persuade Tgk. Abdul Jalil, Japan finally took the decision to quell Tgk. Abdul Jalil with his followers, by sending a large Japanese military force to Bayu, 6 November 1942 as well as a stronghold, surrounded the day of Cot Plieng. Long story short, a fierce battle happened that day until the afternoon of Tgk. Abdul Jalil and his followers fled to the interior.

Tgk. Abdul Jalil dan kawan-kawan secara diam-diam melakukan dakwah anti Jepang, dengan seruan jihad fisabilillah dari desa ke desa dalam Kabupaten Aceh Utara. Akhir tahun 1942 dakwah diam-diam itu berubah jadi terang-terangan. Dakwah ini cepat tersulut, karena sikap Jepang yang kejam, kasar dan biadab turun perintah kirei (hormat) kepada Tenno Haika dengan menghadap ke timur.
Semangat jihad yang sudah mengkristal ini diketahui oleh intelijen Jepang, lalu merekapun berupaya untuk memadamkan api lewat Hulubalang (Ampon-ampon), aparat mereka dari jenis suku Aceh, disebut Gunco (wedana) dan Sonco (camat). Jepang pun dengan akal bulusnya membujuk ulama muda dari organisasi PUSA untuk melakukan dakwah tandingan, melawan dakwah Tgk.Abdul Jalil, tapi PUSA dengan berbagai siasat menolak.
Gagalnya upaya ampon-ampon (Hulubalang) untuk membujuk Tgk. Abdul Jalil, akhirnya Jepang mengambil keputusan untuk menumpas Tgk. Abdul Jalil bersama para pengikutnya, dengan cara mengirim pasukan militer Jepang dalam jumlah besar ke Bayu, 6 November 1942 sekaligus kubu pertahanan, mengepung dayah Cot Plieng. Singkat cerita, pertempuran sengit terjadi hari itu sampai pada sore hari Tgk. Abdul Jalil bersama pengikutnya menyingkir ke pedalaman.

image
Source

On a retreat while composing power, this great cleric stopped in Meunasah Baro, stopping at Alue Badee Village. Friday, November 9, 1942 (three days later), Tgk. Abdul Jalil took to Meunasah Blang Buloh Village, 10 kilometers from Bayu to perform the Friday prayers. This is where the battle is quite fierce (after the Friday prayer), until there is one on one with a sword and rencong. Similarly, Japan, against Teungku with a sharp weapon, because the spirit of the heroes of the cleric is quite burning and inflamed crashing with the cries of Allahu Akbar, so that Japan can no longer use firearms. In this battle, about 109 Acehnese martyrs were martyred. Also on the Japanese side, no less than that number because of the one-on-one heroic battle, by logic, how the Acehnese hero is martyred as well as the dead Japanese soldiers.
Tgk. Abdul Jalil joined the martyr in this battle, with other famous colleagues in the history record, among others Tgk. Muhammad Hanafiah, Tgk. Muhammad Abbas Punteuet, Tgk. Storm, Tgk. Bidin, Tgk. Husen Hasyem, Tgk. Young Joseph and Tgk. Nyak Mirah.

Dalam perjalanan mundur sambil menyusun kekuatan, ulama besar ini singgah di Meunasah Baro, berhenti di Desa Alue Badee. Jumat, 9 November 1942 (tiga hari kemudian), Tgk. Abdul Jalil turun ke Desa Meunasah Blang Buloh, 10 kilometer dari Bayu untuk melaksanakan shalat Jumat.
Di sinilah terjadi pertempuran cukup dahsyat (usai shalat Jumat), sampai terjadi satu lawan satu dengan pedang dan rencong. Demikian pula Jepang, melawan Teungku dengan senjata tajam, karena semangat para pahlawan ulama cukup membara dan meradang menerjang dengan pekikan Allahu Akbar, sehingga Jepang tidak mungkin lagi menggunakan senjata api. Pada pertempuran ini, sekitar 109 orang mujahid Aceh syahid. Juga di pihak Jepang, tidak kurang pula dari angka tersebut karena pertempuran heroik satu lawan satu, dengan logikanya, seberapa pahlawan Aceh yang syahid demikian juga serdadu Jepang yang mati.
Tgk. Abdul Jalil ikut syahid dalam pertempuran ini, dengan rekan-rekan lainnya yang terkenal dalam catatan sejarah, antara lain Tgk. Muhammad Hanafiah, Tgk. Muhammad Abbas Punteuet, Tgk. Badai, Tgk. Bidin, Tgk. Husen Hasyem, Tgk. Muda Yusuf dan Tgk. Nyak Mirah.

Active Link Reverence :
Source



image

image

Sort:  

Postingan yang sangat bagus terutama buat anak-anak jaman sekarang jangan sampai lupa dengan pahlawan dan sejarah aceh.

Alah hai nyak meutuwah.
Tiep uroe katem yak saweu kuh.
Pue kakapeugot upvote otomatis pue.
Man jeut chit awak laen pih han jitem vote.
Pue laen na meu $0.005.

nyan di tameng karena postingan tanyoe hana original, ata ta copy-paste pat laen, secara otomatis cheetah akan menemukan postingan yang bersifat plagiat dari website lain.

Omman rayeuk that gelar neujok keu long, han sesuai ngen asoe dompet long.. :D

Hahahahaha.
Hana meudaleh.
Yg penteng olah.

Bereh saleum seujahtra syedara. :)

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 56422.84
ETH 2981.82
USDT 1.00
SBD 2.19