Sejarah Panjang Penggunaan " Terorisme "
Pada 17 tahun yang lalu, gedung kembar World Trade Center (WTC) di United State (AS) runtuh ditabrak pesawat terbang yang dibajak kelompok militan Al-Qaeda. Serangan ini dibalas AS dengan mengirim pasukan militernya ke jantung pertahanan kelompok tersebut di Afghanistan dengan dalih "perang melawan terorisme".
Seruan yang sama juga bergema 100 tahun sebelum tragedi yang dikenal dengan nama Peristiwa 9 Oktober itu. Pada September 1901, seorang Anarkis membunuh Presiden AS William McKinley. Dalam The United States, International Policing and the War against Anarchist Terrorism, 1900–1914, Richard Bach Jensen mencatat setelah Theodore Roosevelt dipilih menggantikan McKinley, dia langsung menyerukan pemberantasan terhadap para anarkis di manapun mereka berada.
Theodore Roosevelt President AS ke 26
“Anarki adalah kejahatan terhadap seluruh umat manusia dan seluruh umat manusia harus bersatu padu melawan kaum anarkis,” ujar Theodore di dalam pesan pertamanya kepada Kongres AS, Desember 1901.
Teroris yang mulanya di identikkan dengan kaum Anarkis, 100 tahun kemudian identik dengan Islam. Direktur The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Ryantori menegaskan bahwa sebenarnya tidak sembarangan untuk mengidentifikasikan kelompok-kelompok yang disebut teroris.
Dalam seminar "Jejaring ISIS: Regional dan Global", Senin (9/11/2017), Ryantori menjelaskan ada perbedaan cara pandang terhadap kelompok penebar teror melalui tindak kekerasan bila dikaitkan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Ketika kegiatan teror dilakukan oleh kelompok tertentu bermaksud memerjuangkan keadilan, mereka justru dianggap sebagai "kelompok pejuang".
“Dulu waktu kita dijajah, Belanda menganggap pejuang-pejuang kita, kan, teroris atau ekstremis. Tapi, kan, kita menganggap mereka pahlawan,” ujar Ryantori.
Sedangkan istilah "terorisme negara" berkembang sejurus dengan munculnya aksi-aksi penebaran teror yang dilakukan negara. Misalnya, ketika Israel melakukan serangkaian kekerasan terhadap warga Palestina atau pembantaian etnis Bosnia pasca runtuhnya Yugoslavia.
“Kalangan Islam di Timur Tengah juga memiliki istilah sendiri mengenai terorisme, yakni 'irhab',” ujar Ryantori.
"Irhab" merujuk tindakan aniaya kepada manusia yang dilakukan perorangan, kelompok atau negara. “Bahwa aniaya tersebut tidak hanya pada fisik tetapi juga memengaruhi jiwa agama dan kehormatan. Menurut saya yang menimpa Rohingya juga merupakan suatu teror,” tegas Ryantori.
Dari Romawi Kuno ke Al-Qaeda
Jauh sebelum era modern ini, aksi-aksi teror sudah dilancarkan pada zaman Romawi Kuno. Aksi teror tersebut, berdasarkan tuturan seorang filsuf bernama Xenophon yang hidup pada 430-349 SM, digunakan untuk mengintimidasi dan mendemoralisasi masyarakat luas. Saat itu, teror juga menjadi modus penguasa guna mematikan perlawanan dan pemberontakan. Alasannya? Tentu saja untuk mempertahankan kekuasaan yang ada.
Kata terorisme itu sendiri berasal dari bahasa Perancis "le terreur" yang jamak digunakan untuk menyebut tindakan pemerintah Perancis pasca-Revolusi yang memenggal 40.000 orang yang tertuduh anti pemerintah. Salah satu tokoh revolusi Perancis, Maximilian Robespierre, mengesahkan penggunaan teror untuk menghadapi musuh-musuh politik (alias mereka yang kontra Revolusi Perancis). Dalam pertemuan Konvensi Nasional pada 5 Februari 1794, Robespierre berkata, “Teror is nothing but justice, prompt, severe and inflexible.”
“Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa konsep terorisme kemudian meluas dan melibatkan juga kelompok-kelompok subnasional dan kelompok primordial dengan membawa elemen radikalisme (seperti agama atau agenda politik lain), yang menciptakan rasa tidak aman, tidak hanya pada lingkup domestik namun juga melampaui batas-batas wilayah kedaulatan negara,” sebut Ryantori.
Di era modern, David C. Rappoport dalam Four Waves of Teror meneliti bahwa gelombang aksi terorisme muncul dalam empat babak. Selama kurun waktu 1880 hingga 1920-an, kelompok teroris gelombang pertama muncul dengan tujuan memenangkan reformasi politik sipil dari tindasan pemerintahan otoriter. Contohnya dapat dilihat pada kasus penggulingan Tsar Rusia.
Aksi-aksi teror dilakukan oleh kelompok revolusioner terhadap keluarga Tsar. Macam-macam bentuk teror yang dilakukan. Salah satunya bahkan sudah menggunakan metode bom bunuh diri. Salah satu kelompok revolusioner yang melakukan teror kepada keluarga Tsar dipimpin oleh Boris Savinkov, yang kisahnya ditulis ulang menjadi naskah lakon Les Justes oleh Albert Camus.
Kemudian, kelompok teroris gelombang kedua marak bermunculan pada kurun waktu 1920-an sampai 1960-an. Pada masa ini berkembang kelompok-kelompok yang berusaha memperjuangkan kedaulatan nasional, seperti Irish Republican Army (IRA) di Irlandia, dan Front Liberation Nationale (FLN) di Aljazair.
Gambaran apik dari masa ini dapat dilihat dalam film neo-realisme The Battle of Algiers yang mengisahkan perlawanan FLN terhadap rezim kolonial Perancis. Film yang diadaptasi dari memoar pimpinan FLN Saadi Yacef ini memuat adegan para anggota FLN menembak mati para polisi Perancis yang sedang bertugas, bahkan mengirim tiga perempuan untuk menaruh bom di tiga tempat berbeda di kota Casbah, Aljazair.
Menurut Rapoport, masa gelombang kedua ini berlangsung hampir 40 tahun dan surut ketika imperium kolonial bubar.
Gelombang ketiga kelompok teroris mulai bermunculan pada 1970-an. Kelompok yang muncul para era berideologi kiri revolusioner, seperti Brigade Merah Italia (Red Brigades) dan Japanese Red Army. Kelompok teroris gelombang ketiga ini menganggap dirinya sebagai pembela kepentingan negara Dunia Ketiga melawan kekuatan kapitalisme global.
Sementara itu, menurut Rapoport kelompok teroris gelombang keempat digerakkan ideologi revolusioner serta dorongan religius. Contoh kelompok tersebut adalah Al-Qaeda. Yang menjadi karakteristik terpenting dari kelompok gelombang keempat adalah mereka tidak ragu menjadikan warga sipil sebagai korban atau target kekerasan.
“Jangan heran kalau di pasar tiba-tiba ada ledakan bom, atau bahkan di ruangan ini,” ujar Ryantori mengilustrasikan fenomena terorisme gelombang keempat.
Hal ini tentu berbeda dengan tiga generasi sebelumnya yang membutuhkan dukungan masyarakat luas sebelum melancarkan aksi teror. Tiga generasi sebelumnya cenderung sangat berhati-hati dalam melakukan teror. Mereka berusaha tidak melibatkan atau menjatuhkan korban dari kalangan masyarakat sipil tak berdosa.
Selain itu, karakteristik lain pada gelombang keempat adalah terbentuknya jaringan terorisme internasional yang terorganisir dan meluasnya level gerakan menjadi tataran global (baca: Ransomware, WannaCry, Peran NSA dan Terorisme Siber).
Apapun bentuk dan zamannya, yang jelas terorisme melahirkan kecemasan dan penderitaan. Berdasarkan data resmi lembaga internasional pemerhati terorisme, kelompok terorisme pada 2016 saja telah melancarkan 1141 aksi bom bunuh diri. Artinya, ada 95 kali aksi bom bunuh diri setiap bulannya. Bukan mustahil, jika tidak ada penanganan serius dari negara kawasan dan lembaga internasional seperti PBB jumlah ini akan terus bertambah.
Sumber :
https://tirto.id/empat-generasi-dalam-sejarah-terorisme-cwpb