**Indonesia**
Dikemukimanku Kruenggeukeuh - Kecamatan Dewantara ada sebuah Komplek makam yang sunyi dari kunjungan peziarah, sepi pula dari cerita orang-orang disana tentang keberadaan makam itu, baik asal usulnya, riwayatnya bahkan legenda apa gerangan yang menjadi latar belakang makam itu, tiada yang tahu.
Inilah bagian dari pembiaran "matinya" sejarah disekitarku, lalu beberapa Tahun yang lalu saya pernah menulis tentang tempat ini diakun facebook saya, namun dengan kisah tidak sempurna dan justru ada yang salah dalam penulisan saya ketika itu.
Maka dengan bantuan para komentator di facebook saya, yang juga punya hubungan keluarga dengan pemilik makam ini, yaitu Safrizal dan saudaranya Tuanku hanif, saya menemukan sedikit kisah tentang makam yang berhubungan sejarah dengan Kemukiman Kruenggeukueh.
Inilah kisahnya....
Tuanku Muhammad Thaher bin Tuanku Raja Cut Zanal Abidin adalah nama lengkap dari Almarhum yang makamnya saat ini ada di Dusun 2 Tambon Baroh, Dewantara - Aceh Utara.
Tuanku Muhammad Thaher adalah putra dari Tuanku Raja Cut Zainal Abidin bin Sultan Mahmud Alaidinsyah I, Raja Kesultanan Aceh yang memerintah pada Tahun 1764-1763.
Setelah Sultan Mahmud Alaidinsyah meninggal dunia, seharusnya Tuanku Raja Cut Zainal sebagai anak tertua dari dua Putra Sultan Mahmud Alidinsyah didaulat menjadi raja, namun karena penyakit cacar yang pernah beliau miliki dan meninggalkan bekas (katarak) pada matanya,maka Tuanku Raja Cut Zainal batal menjadi Sultan dan adiknya Tuanku Muhammad diangkat menjadi Raja dengan gelar Sultan Alaidin Muhammadsyah.*)
Berselang 94 Tahun kemudian, ketika Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Alaidin Ibrahim Mansursyah 1857-1870 saat hubungan Belanda dan Aceh memburuk dan pada masa itu Belanda mengancam akan segera melakukan penyerangan ke Aceh.
Maka dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi perang dengan Balanda, Sultan Alaidin Ibrahim Mansuryah meminta ajudannya yang sangat mahir mengatur siasat perang yaituTuanku Hasyem Banta Muda untuk mempersiapkan taktik perang, persiapan logistik rakyat dan pejuang, kesiapan perekonomian demi menunjang perang dan sebagainya.
Source Image
Tuanku Hasyem Banta Muda
Salah satu siasat dalam bidang mempersiapkan perekonomian, Tuanku Hasyem Banta Muda adalah memulihkan kembali hubungan dengan kaum dan keluarga Tuanku Raja Cut Zainal Abidin yang gagal menjadi Sultan akibat penyakit katarak, namun keluarga dari Sultan Raja Cut Zainal Abidin adalah seorang yang cerdas dalam perdagangan yaitu putra beliau Tuanku Muhammad Thaher bin Raja Cut Zainal Abidin.
Maka atas saran Tuanku Hasyem Banta Muda, pihak Kesultanan Aceh menganugerahkan tanah bebas atau tanah yang belum digarap siapapun kepada Tuanku Muhammad Thaher yang berbatasan dengan Blang Lancang di sebelah Timur, Kuala Bungkah disebelah Barat, Selat Malaka disebelah Utara dan Negeri Nisam disebelah Selatan.*)
Lalu Tuanku Hasyem Muda meminta Tuanku Muhammad Thaher yang juga pamannya itu untuk menggarap tanah tersebut dengan membuka ladang pertanian, perkebunan dan melakukan perdagangan disana, untuk kemudian sebagian dari hasil usaha tersebut digunakan untuk dana perang dengan Belanda dan hal ini disetujui oleh Tuanku Muhammad Thaher.
Berangkatlah Tuanku Muhammad Taher dengan beberapa pengikutnya yang beliau bawa dari Aceh Besar dan Pidie ke lokasi tanah yang diberi oleh Kesultanan Aceh itu dengan membuka usaha perkebnan lada, pala, padi dan sebagainya.
Tuanku Muhammad Taher dengan modal pengetahuan dan tenaga-tenaga yang dibawanya dari Aceh Besar dan Pidie, menebas hutan, menggali sungai (Kueh Krung) yang melahirkan nama Krueng Geukeuh) membuat irigasi, sawah dan ladang, kebun, menanam padi, lada, kelapa dan sebagainya lalu membuat pelabuhan dan melakukan hubungan dagang dengan Penang - Malaysia.*)
Usaha Tuanku Muhammad Thaher berkembang gemilang dan memberikan hasil yang besar dari sektor pertanian Lada, kelapa dan sebagainya lalu diangkut ke Penang dengan kapalnya sendiri dan kapal-kapal yang disediakan Tuanku Hasyem.
Hasil pertanian tersebut ditampung oleh T.Paya untuk diuangkan dan sebagian dikirim ke Kesultanan Aceh sebagai infaq dan sedekah untuk membantu perang Aceh.
Di Krueng Geukueh Tuanku serta pengikutnya tinggal di suatu kuta (benteng pertahanan) yang berpupaleh (dinding) batu, yakni suatu menara beton (mirip mercusuar sekarang) sampa beliau meninggal dunia dan dimakamkan disana.
Tanah perkuburan almarhum itu dikenal umum di Krueng geukueh ketika itu dengan nama Kanang Tuanku (tepatnya di Gampong Pasie Timu) yang saat ini telah menjadi loaksi pabrik PT AAF,
Saat ini perkuburan Kanang Tuanku telah dipindahlkan ke Tambon Baroh dengan dibangun kembali menara beton sebagai kenang kenangan kepada pupaleh batu (Mercusuar) yang ada dalam benteng yang dahulu ditempati Tuanku di Pasi timu.
Duplikat mercusuar Pupaleh
Sepeninggal Tuanku Muhammad Taher, usahanya diteruskan oleh anaknya Tuanku Raja Lhok Ali Syamsul bahri sementara urusan dagang dipercayakan kepada Tuanku Manyak anak dari pang sikureng dari Batee Pidie.
Tidak ada sejarah tentang pengikut Tuanku Muhammad Thaher yang juga terlibat perang saat Belanda menyerang Aceh Pada Tahun 1873, sebagian mereka masih hidup dan telah membaur dengan masyarakat pendatang dan ada juga yang syahid di tanah yang dahulunya digarap Tuanku Muhammad Thaher.
Keluarga adan keturunan Tuaku Muhammad Thaher saat ini ada yang menetap di Lhokseumawe, Nisam dan Sawang bahkan ada yang di jakarta dan luar Negeri.
Kesimpulan :
Untuk menjadi Sultan Aceh tidak boleh cacat phisik apalagi cacat mental
Sultan Aceh mempersiapkan perang dengan musuh, pada segala bidang
Pada masa kerajaan Aceh sudah ada perdagangan eksport import di Pelanuhan Kruenggeukueh
Nama Krunggeukueh telah ada sejak tahun 1870 dan dicetuskan Tuanku Muhammad Thaher
Tanah yang menjadi lokasi Kruenggeukueh atau Kecamatan Dewantara sekarang telah ada sejak Tahun 1870
**English**
My residence Kruenggeukeuh - Dewantara sub-district there is a tomb complex that is silent from the visit of pilgrims, deserted also from the stories of people there about the existence of the tomb, whether its origin, history and even what legend that the background of the tomb, no one knows.
This is part of the abandonment of the "death" of history around me, then a few years ago I once wrote about this place of my facebook account, but with the story is not perfect and there is something wrong in my writing at that time.
So with the help of commentators on my facebook, who also have family relationships with the owner of this tomb, namely Safrizal and his brother Tuanku Hanif, I found a little story about the tomb relating history to the Kruenggeukueh Settlement.
Here's the story ....
Tuanku Muhammad Thaher bin Tuanku Raja Cut Zanal Abidin is the full name of the deceased whose grave is currently in Dusun 2 Tambon Baroh, Dewantara - Aceh Utara.
Tuanku Muhammad Thaher is the son of Tuanku Raja Cut Zainal Abidin bin Sultan Mahmud Alaidinsyah I, King of Aceh Sultanate who ruled in 1764-1763.
After Sultan Mahmud Alaidinsyah died, should King Tuanku Cut Zainal as the eldest son of the two sons of Sultan Mahmud Alidinsyah was asked to be king, but because of the smallpox he had had and left a mark (cataract) in his eyes, Tuanku Raja Cut Zainal canceled Sultan and his sister Tuanku Muhammad was appointed King with the title of Sultan Alaidin Muhammadsyah. *)
Over the next 94 years, when the Sultanate of Aceh was led by Sultan Alaidin Ibrahim Mansursyah 1857-1870 when Dutch and Aceh relations deteriorated and at that time the Dutch threatened to immediately attack Aceh.
So in order to prepare for the war with Balanda, Sultan Alaidin Ibrahim Mansuryah asked his aides who are very adept at setting war stratagems that is My Hasyem Banta Muda to prepare war tactics, preparation of people's logistics and fighters, economic readiness for the sake of war and so on.
One of the tactics in the field of preparing the economy, Tuanku Hasyem Banta Muda is to restore the relationship with the people and family of Tuanku Raja Cut Zainal Abidin who failed to become the Sultan due to cataract disease, but the family of Sultan Raja Cut Zainal Abidin is a savvy man in the trade of his son Tuanku Muhammad Thaher bin Raja Cut Zainal Abidin.
Source Image
Tuanku Hasyem Banta Muda
So on the advice of Tuanku Hasyem Banta Muda, the Sultanate of Aceh conferred the free land or land untapped by anyone to Tuanku Muhammad Thaher which borders Blang Lancang on the East, Kuala Bungkah to the West, the Malacca Strait to the North and Nisam State to the South.
Then Tuanku Hasyem Muda requested my master Muhammad Thaher to work on the land by opening the fields of agriculture, plantations and trading there, and then some of the proceeds were used to fund the war with the Dutch and this was approved by Tuanku Muhammad Thaher.
Go Tuanku Muhammad Taher with some of his followers whom he brought from Aceh Besar and Pidie to the land given by Aceh Besar Sultanate by opening a business of pepper, nutmeg, rice and so on.
Tuanku Mohammed Taher with his knowledge and manpower from Aceh Besar and Pidie, slashed the forest, dug a river (Kueh Krung) that gave birth to the name of Krueng Geukeuh) made irrigation, rice fields and fields, gardens, planted rice, pepper, coconut and so on then create a port and conduct trade relations with Penang - Malaysia. *)
Tuanku Muhammad Thaher's efforts flourished and brought great results from the agricultural sector of Pepper, coconut and so on and then transported to Penang with his own ships and ships provided by Tuanku Hasyem.
The agricultural products were collected by T.Paya for cash and some were sent to the Aceh Sultanate as infaq and alms to help the Aceh war.
In Krueng Geukueh, my lord and his followers live in a stone wall of stone, which is a concrete tower (like a lighthouse now) until he dies and is buried there.
The burial ground of the deceased was commonly known in Krueng geukueh when it was named Kanang Tuanku (precisely in Pasie Timu village) which has now become a factory of PT AAF.
Currently the Tomb of Kanang Tela's cemetery is moved to Tambon Baroh by rebuilding the concrete tower as a memory of the pupaleh (Mercusuar) stone that is in the fort that was once occupied by Tuanku in Pasi timu
After the death of Tuanku Muhammad Taher, his efforts continued by his son Raja Lhok Ali Syamsul bahri while trade affairs entrusted to Tuanku Manyak child of pang sikureng from Batee Pidie.
There is no history of the followers of Tuanku Muhammad Thaher who was also involved in war when the Dutch attacked Aceh In 1873, some of them are still alive and have mixed with the immigrant community and there are also martyrs in the land that was formerly worked on Tuanku Muhammad Thaher.
The families of Tuaku Muhammad Thaher's descendants are currently living in Lhokseumawe, Nisam and Sawang even in Jakarta and abroad.
Conclusion:
To be the Sultan of Aceh should not be physically deformed much less mentally handicapped
The Sultan of Aceh prepares for war with the enemy, on all fronts
At the time of the kingdom of Aceh there has been an import export trade in Pelanuhan Kruenggeukueh
The name Krunggeukueh has existed since 1870 and triggered Tuanku Muhammad Thaher
Land that became the location of Kruenggeukueh or Dewantara District has now existed since Year 1870
Menyoe na steem power 100.000 lon vote bang Ki.
Hehe ok silahkan
Hai @marzukidewantara, apa kabar? Kami upvote..
Ok semoga selalu begitu
mantap bang . telusuri sejrah
Terimakasih ya @faroel