LARANGAN MERAYAKAN NATAL DAN TAHUN BARU MASEHI

Tahun baru masehi pada zaman kita ini dirayakan dengan besar-besaran. Suara terompet dan tontonan kembang api hampir menghiasi seluruh penjuru dunia di barat dan di timurnya. Tidak berbeda negara yang mayoritas penduduknya kafir ataupun muslim. Padahal, perayaan tersebut identik dengan hari besar orang Nasrani.

Kondisi Masyarakat Kota Lhokseumawe dan kebiasaan yang terjadi di setiap pergantian awal tahun Masehi di Kota Lhokseumawe khususnya dan Aceh pada Umumnya banyak yang melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan Budaya Islam yang menimbulkan berbagai kemungkaran dan kemaksiatan seperti hura-hura, meniup terompet, bakar marcon, berkumpul laki-laki dan perempuan (ikhtilath) dan sebagainya.

Sesungguhnya keyakinan-keyakinan batil tersebut diadopsi dari keyakinan batil Nasrani. Yang hakikatnya, mengadopsi dan meniru budaya batil ini adalah sebuah keharaman. Karena siapa yang bertasyabbuh (menyerupai) kepada satu kaum, maka dia bagian dari mereka.
45533-ulama-aceh-mengharamkan-ucapan-selamat-natal-bagi-umat-islam-092656.jpg
Haramnya Bertasyabuh Kepada Orang Kafir
Secara ringkas, bertasyabbuh di sini maknanya adalah usaha seseorang untuk menyerupai orang lain yang ingin dia sama dengannya, baik dalam penampilan, karakteristik dan atribut. Di antara perkara fundamental dari agama kita adalah memberikan kecintaan kepada Islam dan pemeluknya, berbara’ (membenci dan berlepas diri) dari kekufuran dan para ahlinya. Dan tanda bara’ yang paling nampak dengan berbedanya seorang muslim dari orang kafir, bangga dengan agamanya dan merasa terhormat dengan Islamnya, seberapapun hebat kekuatan orang kafir dan kemajuan peradaban mereka.

Walaupun kondisi orang muslim lemah, terbelakang, dan terpecah-pecah, sedangkan kekuatan kafir sangat hebat, tetap kaum muslimin tidak boleh menjadikannya sebagai dalih untuk membebek kepada kaum kuffar dan justifikasi untuk menyerupai mereka sebagaimana yang diserukan kaum munafikin dan para penjajah. Semua itu dikarenakan teks-teks syar’i yang mengharamkan tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir dan larangan membebek kepada mereka tidak membedakan antara kondisi lemah dan kuat. Dan juga karena seorang muslim -dengan segenap kemampuannya- harus merasa mulia dengan agamanya dan terhormat dengan ke-Islamnya, sehingga pun saat mereka lemah dan terbelakang.

Allah Subhanahu wa Ta'ala menyeru agar seorang muslim bangga dan terhormat dengan agamanya. Dia menggolongkannya sebagai perkataan terbaik dan kehormatan yang termulia dalam firmannya, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?".” (QS. Fushilat: 33)

Banyak sekali nash Al-Qur’an dan Sunnah yang melarang bertasyabbuh dengan mereka dan menjelaskan bahwa mereka dalam kesesatan, maka siapa yang mengikuti mereka berarti mengikuti mereka dalam kesesatan.
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah: 18).

Allah Ta’ala menyeru kaum mukminin agar khusyu’ ketika berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan membaca ayat-ayat-Nya, lalu Dia berfirman,
“Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hadid: 16)

Tidak diragukan lagi, menyerupai mereka termasuk tanda paling jelas adanya kecintaan dan kasih sayang terhadap mereka. Ini bertentangan dengan sikap bara’ah (membenci dan berlepas diri) dari kekafiran dan pelakunya. Padahal Allah telah melarang kaum mukminin mencintai, loyal dan mendukung mereka. Sedangkan loyal dan mendukung mereka adalah sebab menjadi bagian dari golongan mereka, -semoga Allah menyelamatkan kita darinya.

Orang-orang kafir – dengan berbagai macam agama dan sektenya- memiliki hari raya yang beraneka ragam. Di antaranya ada bersifat keagamaan yang menjadi pondasi agama mereka atau hari raya yang sengaja mereka ciptakan sendiri sebagai bagian dari agama mereka. Namun kebanyakannya berasal dari tradisi dan momentum yang sengaja dibuat hari besar untuk memperingatinya. Misalnya hari besar Nasional dan semisalnya. Lebih jauhnya ada beberapa contohnya sebagai berikut:

Hari untuk beribadah kepada tuhannya, seperti hari raya wafat Jesus Kristus, paskah, Misa, Natal, Tahun Baru Masehi, dan semisalnya. Seorang muslim terkategori menyerupai mereka dalam dua kondisi:
Pertama, Ikut serta dalam hari raya tersebut. Walaupun perayaan ini diselenggarakan kelompok minoritas non-muslim di negeri kaum muslimin, lalu sebagian kaum muslimin ikut serta di dalamnya sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Ibnu Taimiyah dan Imam Dzahabi. Realitas semacam ini tersebar di negeri-negeri kaum muslimin. Lebih buruk lagi, ada sebagian kaum muslimin yang bepergian ke negeri kafir untuk menghadiri perayaan tersebut dan ikut berpartisipasi di dalamnya, baik karena menuruti hawa nafsunya atau untuk memenuhi undangan orang kafir sebagaimana yang dialami kaum muslimin yang hidup di negeri kafir, para pejabat pemerintahan, atau para bisnismen yang mendapat undangan rekan bisnisnya untuk menandatangi kontrak bisnis. Semua ini haram hukumnya dan ditakutkan menyebabkan kekufuran berdasarkan hadits, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Pastinya, orang yang melakukan itu sadar bahwa itu merupakan bagian dari syi’ar agama mereka.

Kedua, Mengadopsi perayaan orang kafir ke negeri kaum muslimin. Orang yang menghadiri perayaan orang-orang kafir di negara mereka, lalu dengan kajahilan dan lemahnya iman, ia kagum dengan perayaan tersebut. kemudian dia membawa perayaan tersebut ke negara-negara muslim sebagaimana perayaan tahun baru Masehi. Kondisi ini lebih buruk dari yang pertama, karena dia tidak hanya ikut merayakan syi’ar agama orang kafir di Negara mereka, tapi malah membawanya ke negara-negara muslim.

Fatwa-MUI-haramnya-atribut-natal.jpg
Menyerupai Orang Kafir Dalam Merayakan Hari Besar Islam
Bentuk bertasyabbuh dengan orang kafir bisa terjadi juga dalam perayaan hari raya Islam, Idul Fitri dan Adha. Yaitu merayakan hari raya Islam dengan cara-cara yang bisa digunakan kaum kuffar dalam merayakan hari besar mereka.
Bahwa sesungguhnya, hari raya kaum muslimin dihiasi dengan syukur kepada Allah Ta’ala, mengagungkan, memuji dan mentaati-Nya. Bergembira menikmati karunia nikmat dari Allah Ta’ala tanpa menggunakannya untuk bermaksiat. Ini berbeda dengan hari raya kaum kuffar, dirayakan untuk mengagungkan syi’ar batil dan berhala-berhala mereka yang disembah selain Allah Ta’ala. Dalam perayaannya, mereka tenggelam dalam syahwat yang haram.

Himbauan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Lhokseumawe, Provinsi Aceh
Pemerintah Aceh secara lebih khusus memiliki nilai budaya keislaman dan jauh daripada budaya membesarkan hari raya agama lain, hal ini sangat jelasa diatur didalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA); Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh; Taushiyah MPU Aceh Nomot 6 Tahun 2008 Tentang Peringatan Tsunami dan Tahun Baru (Tahun Baru Hijriah dan Miladiyah), didalam himbauan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Kota Lhokseumawe, tanggal 23 Shafar 1436 H, bertepatan dengan 16 Desember 2014, MPU menghimbau kepada semua pemilik/penguasaha Hotel, Wisma, Rumah Penginapan, Cafe-cafe, Tempat Wisata dan Tempat-tempat lainnya agar tidak mengadakan acara pesta pora, Hura-hura dan acara lainnya yang bertentangan dengan Syari’at Islam;
Hal senada diharapkan Kepada seluruh masyarakat Muslim, dimohon untuk tidak ikut-ikutan merayakan acara apapun, dan dalam bentuk apapun dalam kaitannya untuk merayakan malam Natal dan Tahun Baru Masehi kepada seluruh masyarakat muslim tetap mengadakan aktivitas seperti memakmurkan Masjid, dan lain-lain dan tidak ikut serta merayakan Natal dan Tahun Baru;
Begitupun Kepada warga Non Muslim, dimohon kiranya dapat menghargai daerah yang memberlakukan Syari’at Islam dan dalam merayakan Natal dan Tahun Baru Masehi hendaknya dapat melaksanakan dengan tertib di dalam ruangan serta tetap menjaga kenyamanan masyarakat lainnya; dan kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe, agar tidak memberi izin dan dukungan atas segala kegiatan yang menimbulkan kemungkaran serta pesta pora, pembakaran marcon, kembang api, meniup trompet dan sejenisnya;
kepada Pemerintah dan Penegak Hukum agar dapat mengambil tindakan tegas terhadap pelaku dan pelanggar Syari’at Islam; sangat diharapkan kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe bersama masyarakat, hendaknya bertekat untuk menjadikan Lhokseumawe sebagai Kota yang bersih dari berbagai perilaku maksiat di awal tahun 2015;
Namun sangat disayangkan banyak kaum muslimin yang di penjuru dunia yang menyerupai orang kafir dalam kemaksiatan itu. Mereka merubah nuansa Idul Fitri dan Idul Adha sebagai musim ketaatan dan syukur menjadi musim bermaksiat dan kufur nikmat, yaitu dengan mengisi malam-malamnya dengan musik-musik, nyanyir-nyanyi, mabuk-mabukan, pesta yang bercampur laki-laki dan perempuan dan bentuk pelanggaran-pelanggaran lainnya. Semua ini disebabkan mereka meniru cara orang kafir dalam merayakan hari besar mereka yang diisi dengan menuruti syahwat dan maksiat.
Semoga Allah membimbing kita kepada kondisi yang lebih diridhai-Nya, tidak menyimpang dari aturan Islam dan tidak bertasyabbuh dengan kaum kafir dalam acara-acara mereka.

Coin Marketplace

STEEM 0.27
TRX 0.13
JST 0.032
BTC 61562.85
ETH 2891.34
USDT 1.00
SBD 3.43