Secret (2) #Part 11

Hi Guys, kita kelarin Bab 5. Hati Yang Lemah, hari ini yuk ;)

“Kamu mau ngelukis sunset lagi?” tanyaku saat menghampiri Ben yang sedang menjepit kanvas pada easel.

“Selain kamu, hal lain yang begitu indah di mata saya ... ya, matahari terbenam ini.” Ia menghentikan sejenak kesibukannya dan melirikku dengan senyuman manis.

Seperti biasa, aku memilih duduk di satu-satunya bangku kayu yang ada, sembari menatap punggungnya yang kokoh. Lelaki di hadapanku ini belum pernah sekalipun menyakiti hatiku. Tapi ... apa memang itu semua karena dia mencintaiku? Bukankah ... bisa saja ini hanya masalah waktu, toh, aku baru mengenalnya dalam hitungan bulan.

Ah, aku udah janji nggak akan lagi berprasangka pada Ben, sejak terakhir kali membuktikan bahwa dia bukan playboy. Aku sudah harus berhenti menduga-duga akan seperti apa dia nantinya, lebih baik kujalani saja ini semua dengan apa adanya.

Kutatap sosoknya yang berbalik dan melangkah mendekatiku. Palet-nya ternyata masih berada di atas bangku, tepat di samping tanganku. Tak kuduga, bukannya kembali ke dekat kanvas yang sudah siap untuk dilukis, ia justru memilih untuk duduk di sampingku.

“Kamu kenapa?” tanyanya lembut.

“Aku nggak kenapa-napa. Ada apa memangnya?”

“Sejak pulang dari Central Coast, kamu kelihatan beda. Apa yang kamu pikirkan?”

Aku menghela napas panjang. Melempar tatapan ke arah danau yang bermandikan cahaya matahari sore. Warnanya masih kuning cerah, belum menjadi jingga, masih sejam lagi hingga warna senja yang indah itu muncul.

“Kamu khawatir didesak nikah, ya?” Dia coba menebak.

Aku tertawa kecil. Mulutku masih terkunci, berat rasanya mengeluarkan apa yang ada di hati ini kepadanya.

“Jangan terlalu banyak pikiran! Nanti cepat tua,” ucapnya sembari berdiri dan mengacak-acak rambutku.

Cukup lama kuperhatikan kesibukan Ben yang hanya berada dua meter di hadapanku. Dia memang lelaki yang unik, semakin aku mengenalnya, semakin banyak hal yang menarik perhatianku tentangnya.

“Ben ....” Aku melingkarkan tangan di pinggangnya dan bersandar pada punggungnya.

“Ya. Ada apa?”

Kurasakan tangannya terhenti dari kesibukan mengayunkan kuas di atas kanvas.

“Kuliah lagi, yuk,” mulaiku.

“Aih, tentang itu lagi.” Dia melepaskan pelukanku dan berbalik menghadapku dengan posisi badan yang sedikit membungkuk.

Ini memang bukan yang pertama kalinya aku membujuk Ben agar menyelesaikan kuliahnya yang hanya tersisa empat unit lagi. Baginya yang biasa mengambil satu mata kuliah saja di setiap semester, tentu akan berpikir masih butuh waktu lama untuk selesai. Tapi, bagiku yang sudah menyelesaikan empat unit hanya dalam satu semester, tentunya semua terlihat berbeda. Belum lagi ada Nathan di semester ini. Aku masih sulit membayangkan akan menjalani empat unit di semester ini dengan bertemu Nathan di setiap pertemuannya.

“Ayolah ... kalo kamu ambil dua unit aja di dua semester ke depan, kita akan sama-sama wisuda nantinya,” bujukku lagi.

“Saya kan sudah pernah cerita, Grace. Satu unit per semester saja sudah terasa berat. Tak ada kesempatan untuk melukis, tak bisa fokus pada toko, dan harus begadang pula untuk menyelesaikan essay. Ah, saya sudah menyerah dengan itu semua.”

“Itu kan dulu ... belum ada aku. Sekarang kita coba lagi, yuk. Jangan lupa, waktu ketemu mami dulu, kamu ngakunya teman kuliah aku, loh. Pasti nanti mami akan cari kamu di saat aku wisuda.”

“Oh my God! You are right, my dear. Tapi, bagaimana kalo satu unit saja semester ini, satu unit di winter term, dan sisanya di semester berikutnya?”

“Aku malah pengennya ... kamu ambil empat unit semester ini.”

“Four units? It’s a big no!” Dia mundur beberapa langkah. “Ya sudah, dua unit akan saya ambil di semester ini,” ucapnya kemudian.

“Thank you.” Kali ini aku memeluknya dari depan dan membenamkan wajah di dada bidangnya. Semoga semua akan baik-baik saja nantinya ....

***

---

Posted from my blog with SteemPress : https://endanghadiyanti.com/2018/07/11/secret-2-part-11/

---