sumber
Bibir merah itu seumpama lukisan yang terpampang rapi di sanggar seniman ulung. Kala mereka tersenyum, warna merah itu cukup membuat siapa saja susah berpaling, sekalipun temaram malam mencoba menutupi kecantikan mereka, tapi tetap saja bisa terlihat oleh mata-mata yang menyimpan selaksa hasrat. Madun si Pemilik Toko Kelontong begitu latah menyaksikan tubuh-tubuh molek itu. Tak peduli meski istrinya Khadijah sering cemburu dengan tingkah nakalnya. Pernah sekali waktu secara tak sengaja aku mendengar Khadijah mengomel tingkah Madun yang berlebih terhadap dara-dara Kelayu. Ia kerap mendamprat Madun dengan kata-kata najis bila melihat suaminya itu sedang berbalas pantun dengan para pemilik bibir merah itu, tapi saat berhadapan dengan lelaki tampan, perempuan muda kolot ini seketika aktingnya berubah, lunak dan lembut bukan main. Aku terkadang kasihan tatkala melihat Lelaki Kondet kurus itu tak berkutik kala istrinya mengomel. Dia hanya cenge-gesen, lalu menyingkir. Tak ingin bila petaka besar terjadi di dalam rumah tangga mereka. Namun, bila giliran Khadijah memperhatikan lelaki tegap dan berbulu yang kerap datang ke tokonya buat membeli rokok. Madun hanya membatu, pura-pura tak melihat akan tingkah istrinya yang lebih latah darinya.
Masih di toko Madun, Dara-dara itu masih betah bercengkrama dengan para lelaki pencandu. Tubuhnya seakan ditawarkan bulat-bulat buat lelaki yang memang kekeringan nalar. Aku berada di antara lelaki-lelaki itu yang leluasa tercerca sikap tak menentu kala mataku terporosok ke lekuk tubuh dara-dara itu, seketika membuat otakku lumpuh, melongo seperti tersambar bayang aneh. Dadaku berdegup kencang, jakun kecilku naik turun lantas kebisuan mengambil alih. Aku mengalih ke perempuan beranak itu, Khadijah yang juga kerap nimbrung dengan dara-dara Keulayu berlagak seperti seorang gadis remaja.
“Jangan coba-coba kau dekati cucu pelaut ni.” Khadijah mengingatkan Rabumah saat mendekatiku.
Dia berhenti mengumbar kata-kata yang menggoda birahi. Andai saja Khadijah tidak menegurnya, maka bisa kupastikan aku akan takluk dalam pelukan rayuannya. Kutoleh ke arah jam, sudah menunjukkan pukul 10 malam. Sementara dara-dara aduhai itu masih betah di kedai Madun bermerek Indah Malam. Tubuhnya seakan tak pernah jenuh menampakkan lekukannya. Bibirnya seakan tak pernah diam terusap. Alamak! Gayanya begitu menggoda. Aku memperhatikan begitu awas setiap gerak mulut Rabumah, yang kian menit kian membuatku terjebak dalam imajinasi, namun apa daya. Sang perempuan tegas itu telah melarang Rabumah untuk duduk di dekatku, terpaksa kubiarkan potret kecantikannya menyiksa kepolosanku.
Malam itu begitu riuh. Entah dara-dara atau sering kupanggil mereka dengan bahasa Barat _the fantastic girls_ itu telah mengambil alih kemelut malam. Yang jelas kebisingan terdengar di setiap kedai. Dari jauh suara lantang Syeh Amad terdengar begitu jelas. Entah siapa yang kena damprat di kedai kopi Bang Ja kali ini.Setelah menyaksikan bongkah-bongkahan tertutup salju itu, aku pamitan kepada mereka dan beranjak ke depot Muslem.
“Jangan coba kau merokok lagi.” Ancam Muslem.
Aku mengangguk, dan mengambil tempat di sisinya. Lelaki Berambut Lurus itu kemudian bercerita perihal dara-dara itu yang kerap membuatnya jengkel. Pasalnya suara-suara yang keluar dari mulut seksi itu sering membuatnya terganggu di saat ia hendak rehat. Dia lelaki yang berprinsip. Prinsipnya itu yang mengubah dari pedagang ganja antar Kabupaten menjadi penjual ikan. Jadi, dia sudah muak dengan hidup yang bergelimang dosa. Setelah ayahnya meninggal, dia sudah berjanji bahwa dia tidak akan menyentuh barang haram itu lagi.
Kembali ke dara-dara itu. Muslem bercerita bahwa si Rabumah, anak Pang Hasan sering keluyuran tengah malam. Aku meragukan hal itu, namun di saat terlihat raut muka Muslem nampaklah kebenaran.
“Apa salahnya?” tanyaku bimbang.
Dia tidak menjawab. Tangan panjangnya memainkan pemantik sesekali dia sulut rokok kreteknya yang mengeras.
“Celaka ini rokok.”
Aku terperanjat. Sejurus kemudian dia tarik isi rokok, terdapatlah ranting cengkeh yang mengeras. Pantas saja kenapa pemantik itu kerap ia nyalakan. Dia melanjutkan ceritanya setelah menyumpahi rokok kretek miliknya sendiri. Di malam itu sekitar pukul 12. Ketika dia merebahkan badannya di atas tikar pandan. Tiba-tiba terdengar suara yang begitu asing. Sambil berpura-pura batuk dia menguntit lewat celah lobang papan depotnya. Batuk palsunya itu tak membuahkan hasil, yang dilihat oleh Lelaki Pendiam ini adalah seorang perempuan yang bertubuh sintal sedang mengendap di balik pohon kelapa. Sinar yang redup membiaskan wajah perempuan itu. Namun lewat gerak latahnya karena terinjak tahi manusia. Nampaklah wajah yang memutih itu yang tak lain milik Rabumah.
Lelaki Pendiam itu memperhatikan secara seksama. Dia ketawa kecil di kala kaki Rabumah menginjak kotoran manusia dan tidak lama kemudian, terlihatlah seorang lelaki bertubuh sedang. Namun wajahnya samar akibat cahaya lampu yang makin menyusut.
“Di pohon itu,” Kata Muslem sambil menunjukkan tempat Rabumah memberikan tubuhnya kepada lelaki yang belum dikenal oleh Muslem.
Aku menoleh ke arah telunjuknya. Memang, di samping pohon kelapa terdapat sebuah miniatur hutan yang dibentuk oleh ranting-ranting muda sehingga terlihat seperti gundukan bukit kecil. Rupanya disitulah tempat yang paling strategis untuk melampiaskan hajat birahi dara Keulayu itu.
“Lalu…?” Aku bertanya penuh semangat seakan aku akan mati penasaran bila cerita ini tidak ada endingnya
Dia menghembuskan asap rokok yang makin menebal seolah sengaja membuatku lena. Aku hanya melihat saja asap itu sambil mengurut dada.
“Kau jangan merokok. Nanti kubilang sama Paman.” Katanya bangga terhadap siksaanku menahan ketagihan cengkeh yang berbalut itu.
Lelaki itu lalu merapat ke gundukan semak belukar. Sesekali Muslem melihat hidung lelaki celaka itu ditutup. Dia ketawa lagi, pasti karena bau najis yang masih melekat di sandal jepit Rabumah belum bersih benar. Namun, nampaknya bau itu tidak menggoyahkan hajat birahi Lelaki yang sedang asyik melumat tubuh Rabumah.
“Lantas?” Aku menyela.
Muslem diam sejenak. Hisapannya makin kencang. Lantas, tangan lelaki itu meraba bukit tak berpenghuni itu secara lembut. Sesekali Rabumah mengusap punggung lelaki asing itu. Dadaku berdegup kencang, kepalaku makin tak tenang. Batang itu makin menembus pagarnya. Setelah beberapa menit kemudian, mereka bubar sambil membersihkan pantat mereka yang dipenuhi pasir.
“Kenapa Bang Muslem tidak menegur?”
Lelaki Pendiam ini terdiam tak tenang. Lantas dia menjawab.
“Adegan itu membuatku kaku, Riq...” Jawabnya datar.
Seketika itu, jiwaku menjelma menjadi semacam bola api. Cerita Lelaki Berambut Lurus itu seakan sengaja menikam hasratku yang masih liar ini. Padahal Rabumah seorang dara Keulayu yang sempat menggodaku tadi. Aduh! Kegairahan segera muncul diikuti dengan pikiran liar akan aksi Rabumah yang begitu dramatis dan erotis. Selain Rabumah, Aida juga tak kalah cantiknya. Terakhir kudengar dara itu sempat menjalin hubungan dengan Rahman, kawanku. Entah kenapa jalinan liar mereka berakhir begitu cepat. Belum sempat pula kutanya perihal hengkangnya hubungan mereka. Aku kenal betul dara itu. Bagaimana tidak! Aida konconya Rabumah. Di mana ada Rabumah, maka bisa dipastikan Aida sedia di sampingnya. Penampilannya juga tak kalah fantastiknya dengan Rabumah. Rambut yang berjuntai berwarna kekuningan dibiarkan saja terurai hingga ke pantatnya yang montok itu. Parasnya yang cantik sering membuatku iri pada Rahman. Dan bersyukur kalau Rahman tidak lagi menyentuh tubuh sintal Aida.
Setelah kisah Rabumah berhasil diperdengarkan oleh Muslem. Aku meluncur pulang dengan kepala terhuyung akibat terlalu banyak menghirup asap rokok kreteknya. Dadaku berdegup tak tenang manakala kupikirkan Rabumah yang melakukan adegan birahi dengan Lelaki Misterius itu seperti yang diceritakan Muslem. Sampailah aku di kamar yang tak begitu luas, bentuknya pun ala kadarnya saja. Aku berbaring, seluruh isi otakku dihuni oleh adegan Rabumah sembari menebak-nebak apa yang terjadi selanjutnya. Apakah si Lelaki Misterius itu berhasil menumpahkan birahinya? Atau hanya sekedar iseng saja. Ah! Mereka hanya bermain-main saja! Kataku menghibur diri.
Lantas, aku mengalihkan pikiranku ke sosok Aida dan mulai menghitung tiap lekuk tubuhnya, rambutnya, bibirnya, jemari lentiknya. Lalu kuserahkan malam itu untuknya bulat-bulat. Sesekali membandingkannya dengan Rabumah, apakah peragainya sama dengan Rabumah? Sungguh tubuh-tubuh itu telah memenuhi pikiranku di malam itu.
Yang unik dari setiap cerpen Bang @abduhawab bagi saya adalah nama tokoh selalu identik dan Aceh banget. Suatu hal yang sangat jarang dilakukan penulis populis jaman now.. Tabikkk.. :)
Hana pat lawan meunyo cerita..haha
Bereuh
hahah...cerita manyang2
payah tabeuk ke adun menyoe coloteh...super sekali bang @abduhawab dalam membuat narasi cerita.
hehehehe
fiksi yg asik @abduhawab
saya suka
Waw,,, ceritanya menghanyutkan bg @abduhawab
Mantapp barang,,,, :)
Mata Teugoh teugeut teublet Lom wate tabaca cerita nyo bg @abduhawab , memang sep mantap.
Fiksi yang bagus bang... Alur yang susah ditebak... Dan terlalu banyak ancaman..hehe.. sukses terus bg
Memang keren kali kalau abang bikin cerita fiksi. Lengkap, plus lucu. Kasian kali si madun itu, namun salut gak pernah nyerah meski sering di romelin khadijah. 😂😂. Lelaki yang tangguh.
Kebayang betapa sialnya injak itu tai. 😂😂😂
Haaaa....
Semoga panjang umur bang, sehat selalu.
Luar biasa ternyata pak guru yang satu ini seorang penulis fiksi yang bagus juga. Semangat kreatif salam KSI. thanks @abduhawab
duhhhhhhh nama pelakonnya asli dari aceh. ini mengingatkanku akan masa-masa indah disalah satu cafe ternama di lhokseumawe bang. pinggir pantai dan godaan birahi itu. ahsudahlah berhenti mengingat kesitu. kwkwkwkwkwkw
hahha...that na teuh..thank you
siap bang, kembali kasih. nyo betoi-betoi celoteh anak muda. tak jauh-jauh dari ego dan birahi hehehehe